Sawit Kembali Diserang, RI Mau Gugat Uni Eropa ke WTO

Samuel Pablo, CNBC Indonesia
28 January 2019 19:32
Pemerintah berencana menggugat kebijakan Arahan Energi Terbarukan Uni Eropa ke WTO.
Foto: Ilustrasi Kelapa Sawit (REUTERS/Luis Echeverria)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah berencana menggugat kebijakan Arahan Energi Terbarukan (Renewable Energy Directive II/ RED II) Uni Eropa beserta aturan teknisnya (delegated act) ke Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body) WTO.

Hal ini diungkapkan oleh Staf Khusus Menteri Luar Negeri, Mahendra Siregar ,melalui pernyataan resminya, Senin (28/1/2019).

Sebagai informasi, RED II adalah kebijakan Uni Eropa terkait produksi dan promosi energi terbarukan yang akan berlaku pada 2020-2030. Kebijakan ini menetapkan Uni Eropa wajib memenuhi 32% dari total kebutuhan energinya melalui sumber yang terbarukan pada 2030.

Untuk mendukungnya, Uni Eropa akan menerbitkan delegated act pada 1 Februari 2019 mendatang, yang isinya menetapkan kriteria tanaman pangan yang berisiko tinggi dan berisiko rendah terhadap perubahan fungsi lahan dan deforestasi. Kriteria ini dikenal sebagai konsep ILUC (indirect land use change/perubahan penggunaan lahan secara tidak langsung).

Tanaman pangan yang dianggap berisiko tinggi akan dibatasi penggunaannya dan dihapuskan secara bertahap dari pasar bahan bakar nabati Uni Eropa. Sayangnya, UE dipastikan menetapkan kelapa sawit sebagai tanaman pangan berisiko tinggi terhadap ILUC. Di sinilah letak diskriminasi tersebut.



Mahendra yang juga menjabat sebagai Direktur Eksekutif Dewan Negara Produsen Minyak Sawit (CPOPC) menyatakan, pemerintah Indonesia berencana menggugat kebijakan RED II ke WTO segera setelah ILUC dirilis secara formal oleh Uni Eropa.

Pemerintah disebutnya juga akan meninjau ulang berbagai kerja sama dengan Uni Eropa hingga kebijakan diskriminatif terhadap minyak sawit dicabut.

"Berdasarkan pertimbangan tersebut, Indonesia dan negara-negara ASEAN lainnya sepakat menunda peningkatan hubungan ASEAN-Uni Eropa menuju kemitraan strategis, yang semula dijadwalkan pada 21 Januari 2019," kata Mahendra dalam pernyataan tertulisnya, Senin (28/1/2019).

Kendati demikian, saat coba dikonfirmasi, Direktur Jenderal Perundingan Perdagangan Internasional, Iman Pambagyo, mengatakan pernyataan ini belum menjadi pernyataan resmi pemerintah karena perlu dibahas dan diputuskan di pertemuan tingkat Menteri terlebih dahulu.

"Pak Menteri bertanya ke saya, apakah hal ini sudah dirapatkan antar Menteri. Saya katakan belum," kata Iman kepada CNBC Indonesia.
(wed/wed) Next Article Potret Industri Sawit di Saat Tarif Pungutan Ekspor Berubah

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular