
Bye LPG, Indonesia Akan Hijrah ke Gasifikasi Batu Bara
Gustidha Budiartie & Taufan Adharsyah & Arif Gunawan, CNBC Indonesia
18 January 2019 15:34

Hanya saja, perlu ada satu faktor yang perlu dipertimbangkan lagi, yakni faktor politik. Secara historis, lemahnya komitmen politik untuk menjalankan kebijakan hilirisasi membuat realisasi program ini bertele-tele.
Indonesia menginisiasi program hilirisasi pertambangan ketika Susilo Bambang Yudhoyono menduduki kursi presiden pada 2004. Namun realisasinya berlarut-larut dan perlu 5 tahun hingga lahirnya Undang-Undang Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Implementasi amanat UU itu di lapangan pun sangat lambat. Realisasi pembangunan smelter jauh panggang dari api, dan bahkan pemerintahan SBY terpaksa mengakomodir pelaku usaha dengan memberikan pelonggaran kewajiban smelter lewat Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tentang peningkatan nilai tambah mineral, yang memberi kelonggaran pembangunan smelter hingga 2017.
Kini jelang hajatan politik akbar di penghujung putaran pertama Presiden Joko Widodo, fasilitas DME mengemuka. Di tengah tahun politik, ini tentu bisa menjadi komoditas politik untuk menunjukkan kuatnya komitmen Petahana terhadap hilirisasi tambang yang selama ini dikenal lamban.
Dugaan tersebut tentu sah-sah saja mengemuka mengingat sebelumnya pemerintah tidak pernah melirik teknologi ini ketika teknologi gasifikasi batu bara sudah muncul sejak tahun 1930-an. Bahkan, perusahaan AS yang menjadi mitra PTBA dan Pertamina telah beroperasi sejak tahun 1940 dan menawarkan jasa gasifikasi batu bara ke China pada 2010.
Artinya, pemerintah bisa saja meneken kontrak ini sewindu yang lalu, ketika kenaikan BBM membuat subsidi migas, termasuk LPG, terus meningkat. Setiap tahunnya, Pertamina mengimpor 5,5 juta ton LPG setiap tahunnya, setara dengan 70% kebutuhan nasional.
Secara fundamental, pembangunan fasilitas DME milik PTBA ini merupakan terobosan besar, karena baru kali inilah Indonesia yang merupakan eksportir terbesar batu bara di Asia Tenggara mendirikan fasilitas peningkatan nilai tambah produk batu bara. Pasalnya, Indonesia telah berpuluh-puluh tahun menjadi negara yang memproduksi batu bara dan mengekspor nyaris 80% darinya setiap tahun.
Publik tentu berharap MoU tersebut berakhir dengan implementasi, mengingat besarnya ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar LPG sebagai sumber energi rumah tangga utama nasional.
Jangan sampai program yang strategis tersebut berakhir seiring dengan berakhirnya hajatan politik pemilu alias “hangat-hangat tahi ayam” yang kemudian dilupakan lagi ketika harga batu bara meningkat dan membuat pengusaha batu bara santai berjualan pasir hitam minim nilai tambah. ***
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags)
Indonesia menginisiasi program hilirisasi pertambangan ketika Susilo Bambang Yudhoyono menduduki kursi presiden pada 2004. Namun realisasinya berlarut-larut dan perlu 5 tahun hingga lahirnya Undang-Undang Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Implementasi amanat UU itu di lapangan pun sangat lambat. Realisasi pembangunan smelter jauh panggang dari api, dan bahkan pemerintahan SBY terpaksa mengakomodir pelaku usaha dengan memberikan pelonggaran kewajiban smelter lewat Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tentang peningkatan nilai tambah mineral, yang memberi kelonggaran pembangunan smelter hingga 2017.
Dugaan tersebut tentu sah-sah saja mengemuka mengingat sebelumnya pemerintah tidak pernah melirik teknologi ini ketika teknologi gasifikasi batu bara sudah muncul sejak tahun 1930-an. Bahkan, perusahaan AS yang menjadi mitra PTBA dan Pertamina telah beroperasi sejak tahun 1940 dan menawarkan jasa gasifikasi batu bara ke China pada 2010.
Artinya, pemerintah bisa saja meneken kontrak ini sewindu yang lalu, ketika kenaikan BBM membuat subsidi migas, termasuk LPG, terus meningkat. Setiap tahunnya, Pertamina mengimpor 5,5 juta ton LPG setiap tahunnya, setara dengan 70% kebutuhan nasional.
Secara fundamental, pembangunan fasilitas DME milik PTBA ini merupakan terobosan besar, karena baru kali inilah Indonesia yang merupakan eksportir terbesar batu bara di Asia Tenggara mendirikan fasilitas peningkatan nilai tambah produk batu bara. Pasalnya, Indonesia telah berpuluh-puluh tahun menjadi negara yang memproduksi batu bara dan mengekspor nyaris 80% darinya setiap tahun.
Publik tentu berharap MoU tersebut berakhir dengan implementasi, mengingat besarnya ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar LPG sebagai sumber energi rumah tangga utama nasional.
Jangan sampai program yang strategis tersebut berakhir seiring dengan berakhirnya hajatan politik pemilu alias “hangat-hangat tahi ayam” yang kemudian dilupakan lagi ketika harga batu bara meningkat dan membuat pengusaha batu bara santai berjualan pasir hitam minim nilai tambah. ***
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular