
Bye LPG, Indonesia Akan Hijrah ke Gasifikasi Batu Bara
Gustidha Budiartie & Taufan Adharsyah & Arif Gunawan, CNBC Indonesia
18 January 2019 15:34

Jakarta, CNBC Indonesia- Di tahun politik, dua BUMN sekonyong-konyong meneken kesepakatan hilirisasi batu bara, dengan membangun fasilitas pengolahan dimethyl ether (DME), gas dari batu bara yang menggantikan liquid petroleum gas (LPG).
Adalah PT Bukit Asam Tbk dan PT Pertamina serta perusahaan asal Amerika Serikat (AS) Air Product and Chemicals Inc yang meneken nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/ MoU) untuk membangun fasilitas hilirisasi batu bara tersebut.
DME diolah dari batu bara, yang mana produksinya memang jauh lebih murah daripada lifting minyak dan gas alam. Bahkan, batu bara yang akan dipakai merupakan batu bara berkalori paling rendah yang "kurang menguntungkan" jika dijual di pasar batu bara dunia.
Apakah rencana tersebut realistis secara ekonomis? Dalam arti harga DME bakal lebih rendah dari harga LPG (subsidi) seperti yang dijanjikan oleh Menteri BUMN Rini Soemarno dalam konferensi pers penandatanganan MoU tersebut? Mari kita timbang.
Menurut Direktur Utama Bukit Asam, kapasitas produksi DME pada unit pengolahan yang sedang direncanakan adalah sebesar 1,4 juta ton/tahun. Dalam setahun, untuk menghasilkan DME dengan jumlah 1,4 juta ton, dibutuhkan batu bara sejumlah 5,6 juta ton.
Bila diasumsikan batu baranya adalah merek dagang LIM 3000 yang memiliki kalori terkecil yakni hanya 2.995 kilokalori (kcal), maka harga patokan batubara (HPB) nya US$23,37/ton (berdasarkan Harga Batu Bara Acuan US$ 92,41/ton pada 17/1/2019).
Dengan memakai kurs 14.500, maka harganya setara dengan Rp 338.865/ton. Artinya, harga total batu bara yang dibutuhkan untuk memproduksi 1,4 juta ton DME adalah Rp 1,89 triliun. Harga inilah yang bisa didapat PTBA jika menjual batu baranya secara langsung hari ini juga.
Di sisi lain, jika 5,6 juta ton batu bara itu diolah menjadi DME dengan harga yang sama dengan harga LPG non subsidi (kisaran Rp 13.000/kg), maka total nilai jual 1,4 juta ton DME mencapai Rp 18,2 triliun.
Artinya, nilai produk yang dijual tersebut naik hingga 10 kali lipat. Nilai tambah dari proses pengolahan batu bara menjadi DME itu setara dengan Rp 16,302 triliun, yang merupakan selisih dari nilai penjualan DME dibandingkan penjualan batu bara dengan volume yang sama.
Harap dicatat, perhitungan ini belum memasukkan komponen biaya investasi awal dan biaya produksi untuk mengolah batu bara menjadi DME. Jika nilai investasi yang besar bisa disiasati dengan memperpanjang break event period, lain halnya dengan ongkos produksi DME.
Jika ingin DME dilepas ke masyarakat dengan harga yang sama dengan LPG, maka ongkos produksinya harus efisien mengingat harga murah LPG sekarang juga karena adanya faktor subsidi. Dan inilah yang sekarang masih dikaji oleh PTBA lewat feasibility study.
NEXT
Hanya saja, perlu ada satu faktor yang perlu dipertimbangkan lagi, yakni faktor politik. Secara historis, lemahnya komitmen politik untuk menjalankan kebijakan hilirisasi membuat realisasi program ini bertele-tele.
Indonesia menginisiasi program hilirisasi pertambangan ketika Susilo Bambang Yudhoyono menduduki kursi presiden pada 2004. Namun realisasinya berlarut-larut dan perlu 5 tahun hingga lahirnya Undang-Undang Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Implementasi amanat UU itu di lapangan pun sangat lambat. Realisasi pembangunan smelter jauh panggang dari api, dan bahkan pemerintahan SBY terpaksa mengakomodir pelaku usaha dengan memberikan pelonggaran kewajiban smelter lewat Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tentang peningkatan nilai tambah mineral, yang memberi kelonggaran pembangunan smelter hingga 2017.
Kini jelang hajatan politik akbar di penghujung putaran pertama Presiden Joko Widodo, fasilitas DME mengemuka. Di tengah tahun politik, ini tentu bisa menjadi komoditas politik untuk menunjukkan kuatnya komitmen Petahana terhadap hilirisasi tambang yang selama ini dikenal lamban.
Dugaan tersebut tentu sah-sah saja mengemuka mengingat sebelumnya pemerintah tidak pernah melirik teknologi ini ketika teknologi gasifikasi batu bara sudah muncul sejak tahun 1930-an. Bahkan, perusahaan AS yang menjadi mitra PTBA dan Pertamina telah beroperasi sejak tahun 1940 dan menawarkan jasa gasifikasi batu bara ke China pada 2010.
Artinya, pemerintah bisa saja meneken kontrak ini sewindu yang lalu, ketika kenaikan BBM membuat subsidi migas, termasuk LPG, terus meningkat. Setiap tahunnya, Pertamina mengimpor 5,5 juta ton LPG setiap tahunnya, setara dengan 70% kebutuhan nasional.
Secara fundamental, pembangunan fasilitas DME milik PTBA ini merupakan terobosan besar, karena baru kali inilah Indonesia yang merupakan eksportir terbesar batu bara di Asia Tenggara mendirikan fasilitas peningkatan nilai tambah produk batu bara. Pasalnya, Indonesia telah berpuluh-puluh tahun menjadi negara yang memproduksi batu bara dan mengekspor nyaris 80% darinya setiap tahun.
Publik tentu berharap MoU tersebut berakhir dengan implementasi, mengingat besarnya ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar LPG sebagai sumber energi rumah tangga utama nasional.
Jangan sampai program yang strategis tersebut berakhir seiring dengan berakhirnya hajatan politik pemilu alias “hangat-hangat tahi ayam” yang kemudian dilupakan lagi ketika harga batu bara meningkat dan membuat pengusaha batu bara santai berjualan pasir hitam minim nilai tambah. ***
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags) Next Article Siap-siap! Ini Saingan Baru LPG
Adalah PT Bukit Asam Tbk dan PT Pertamina serta perusahaan asal Amerika Serikat (AS) Air Product and Chemicals Inc yang meneken nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/ MoU) untuk membangun fasilitas hilirisasi batu bara tersebut.
DME diolah dari batu bara, yang mana produksinya memang jauh lebih murah daripada lifting minyak dan gas alam. Bahkan, batu bara yang akan dipakai merupakan batu bara berkalori paling rendah yang "kurang menguntungkan" jika dijual di pasar batu bara dunia.
Menurut Direktur Utama Bukit Asam, kapasitas produksi DME pada unit pengolahan yang sedang direncanakan adalah sebesar 1,4 juta ton/tahun. Dalam setahun, untuk menghasilkan DME dengan jumlah 1,4 juta ton, dibutuhkan batu bara sejumlah 5,6 juta ton.
Bila diasumsikan batu baranya adalah merek dagang LIM 3000 yang memiliki kalori terkecil yakni hanya 2.995 kilokalori (kcal), maka harga patokan batubara (HPB) nya US$23,37/ton (berdasarkan Harga Batu Bara Acuan US$ 92,41/ton pada 17/1/2019).
Dengan memakai kurs 14.500, maka harganya setara dengan Rp 338.865/ton. Artinya, harga total batu bara yang dibutuhkan untuk memproduksi 1,4 juta ton DME adalah Rp 1,89 triliun. Harga inilah yang bisa didapat PTBA jika menjual batu baranya secara langsung hari ini juga.
Di sisi lain, jika 5,6 juta ton batu bara itu diolah menjadi DME dengan harga yang sama dengan harga LPG non subsidi (kisaran Rp 13.000/kg), maka total nilai jual 1,4 juta ton DME mencapai Rp 18,2 triliun.
Artinya, nilai produk yang dijual tersebut naik hingga 10 kali lipat. Nilai tambah dari proses pengolahan batu bara menjadi DME itu setara dengan Rp 16,302 triliun, yang merupakan selisih dari nilai penjualan DME dibandingkan penjualan batu bara dengan volume yang sama.
Harap dicatat, perhitungan ini belum memasukkan komponen biaya investasi awal dan biaya produksi untuk mengolah batu bara menjadi DME. Jika nilai investasi yang besar bisa disiasati dengan memperpanjang break event period, lain halnya dengan ongkos produksi DME.
Jika ingin DME dilepas ke masyarakat dengan harga yang sama dengan LPG, maka ongkos produksinya harus efisien mengingat harga murah LPG sekarang juga karena adanya faktor subsidi. Dan inilah yang sekarang masih dikaji oleh PTBA lewat feasibility study.
NEXT
Hanya saja, perlu ada satu faktor yang perlu dipertimbangkan lagi, yakni faktor politik. Secara historis, lemahnya komitmen politik untuk menjalankan kebijakan hilirisasi membuat realisasi program ini bertele-tele.
Indonesia menginisiasi program hilirisasi pertambangan ketika Susilo Bambang Yudhoyono menduduki kursi presiden pada 2004. Namun realisasinya berlarut-larut dan perlu 5 tahun hingga lahirnya Undang-Undang Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba).
Implementasi amanat UU itu di lapangan pun sangat lambat. Realisasi pembangunan smelter jauh panggang dari api, dan bahkan pemerintahan SBY terpaksa mengakomodir pelaku usaha dengan memberikan pelonggaran kewajiban smelter lewat Peraturan Menteri (Permen) Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tentang peningkatan nilai tambah mineral, yang memberi kelonggaran pembangunan smelter hingga 2017.
Kini jelang hajatan politik akbar di penghujung putaran pertama Presiden Joko Widodo, fasilitas DME mengemuka. Di tengah tahun politik, ini tentu bisa menjadi komoditas politik untuk menunjukkan kuatnya komitmen Petahana terhadap hilirisasi tambang yang selama ini dikenal lamban.
Dugaan tersebut tentu sah-sah saja mengemuka mengingat sebelumnya pemerintah tidak pernah melirik teknologi ini ketika teknologi gasifikasi batu bara sudah muncul sejak tahun 1930-an. Bahkan, perusahaan AS yang menjadi mitra PTBA dan Pertamina telah beroperasi sejak tahun 1940 dan menawarkan jasa gasifikasi batu bara ke China pada 2010.
Artinya, pemerintah bisa saja meneken kontrak ini sewindu yang lalu, ketika kenaikan BBM membuat subsidi migas, termasuk LPG, terus meningkat. Setiap tahunnya, Pertamina mengimpor 5,5 juta ton LPG setiap tahunnya, setara dengan 70% kebutuhan nasional.
Secara fundamental, pembangunan fasilitas DME milik PTBA ini merupakan terobosan besar, karena baru kali inilah Indonesia yang merupakan eksportir terbesar batu bara di Asia Tenggara mendirikan fasilitas peningkatan nilai tambah produk batu bara. Pasalnya, Indonesia telah berpuluh-puluh tahun menjadi negara yang memproduksi batu bara dan mengekspor nyaris 80% darinya setiap tahun.
Publik tentu berharap MoU tersebut berakhir dengan implementasi, mengingat besarnya ketergantungan Indonesia terhadap bahan bakar LPG sebagai sumber energi rumah tangga utama nasional.
Jangan sampai program yang strategis tersebut berakhir seiring dengan berakhirnya hajatan politik pemilu alias “hangat-hangat tahi ayam” yang kemudian dilupakan lagi ketika harga batu bara meningkat dan membuat pengusaha batu bara santai berjualan pasir hitam minim nilai tambah. ***
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ags) Next Article Siap-siap! Ini Saingan Baru LPG
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular