
Efek Perang Dagang, Bos Perusahaan di China Mulai Pesimistis
Wangi Sinintya, CNBC Indonesia
20 December 2018 20:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Meningkatnya risiko perdagangan menyeret kepercayaan para pejabat keuangan senior pada perusahaan yang beroperasi di China.
Demikian hasil survei yang dirilis oleh Deloitte pada Rabu (19/12/18).
Deloitte memberikan konsultasi kepada eksekutif keuangan dua kali dalam setahun. Konsultasi tersebut tentang sikap mereka terhadap perdagangan dan bisnis untuk Survei CFO China. Ketika diminta untuk menggambarkan perubahan sentimen selama enam bulan terakhir, 82% responden mengatakan, pandangan ekonomi mereka menjadi kurang optimistis.
Itu menandai perubahan signifikan dari jajak pendapat sebelumnya, di mana hanya 30% yang mengatakan harapan mereka telah berkurang.
"Telah ada perubahan tajam dalam sentimen," William Chou, mitra pengelolaan nasional dari Program CFO Deloitte China, mengatakan dalam rilis Deloitte yang dikutip dari CNBC International.
Saham-saham telah terdampak pada perang dagang yang sedang berlangsung antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut. Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping awal bulan ini mengumumkan gencatan senjata 90 hari dalam konflik yang menunggu negosiasi lebih lanjut, tetapi sejumlah tarif yang sudah diberlakukan oleh kedua pihak tetap di tempat dan prospek untuk resolusi masih belum jelas.
Deloitte menerima 108 tanggapan terhadap jajak pendapat dari para eksekutif pada berbagai perusahaan multinasional, milik negara dan milik pribadi yang beroperasi di daratan China, Hong Kong dan Macau. Survei dilakukan antara bulan September dan November 2018.
Deloitte mengatakan sebanyak 69% responden memegang posisi di tingkat CFO atau direktur keuangan, sementara 8% adalah wakil presiden.
Peluang yang Tidak Terduga
Survei juga menemukan bahwa 59% responden berpikir volume perdagangan akan menurun di tahun depan, sementara 56% mengatakan perusahaan mereka sudah atau diperkirakan akan terpengaruh oleh kenaikan tarif.
Ketika ditanya apakah negara atau daerah akan mendapat manfaat dari pola perdagangan yang bergeser, 53% dari eksekutif mengatakan, Asia Tenggara akan melihat peningkatan terbesar dalam volume ekspor, dengan hanya 9% memilih China.
"Asia Tenggara telah mengembangkan diri sebagai pusat manufaktur dan perubahan dapat memberikan peluang tak terduga," kata Deloitte.
"Kawasan ini juga dapat mengambil manfaat dari perusahaan-perusahaan yang mengalihkan kemampuan manufaktur untuk menghindari beberapa tindakan proteksionis perdagangan," tambah konsultan tersebut."
Dan mengenai prospek mata uang China, 74% responden mengatakan mereka memperkirakan yuan akan melemah lebih lanjut terhadap dolar di tahun mendatang.
Chou dari Deloitte mengatakan para eksekutif lapar akan resolusi positif terhadap konflik, "Jika (AS dan Cina) pada akhirnya dapat mencapai kesepakatan, sentimen bisnis akan meningkat dengan cepat."
(dru) Next Article Konkret! Buntut Kasus SNP, Kantor Akuntan Ini Disanksi OJK
Demikian hasil survei yang dirilis oleh Deloitte pada Rabu (19/12/18).
Deloitte memberikan konsultasi kepada eksekutif keuangan dua kali dalam setahun. Konsultasi tersebut tentang sikap mereka terhadap perdagangan dan bisnis untuk Survei CFO China. Ketika diminta untuk menggambarkan perubahan sentimen selama enam bulan terakhir, 82% responden mengatakan, pandangan ekonomi mereka menjadi kurang optimistis.
![]() |
Itu menandai perubahan signifikan dari jajak pendapat sebelumnya, di mana hanya 30% yang mengatakan harapan mereka telah berkurang.
"Telah ada perubahan tajam dalam sentimen," William Chou, mitra pengelolaan nasional dari Program CFO Deloitte China, mengatakan dalam rilis Deloitte yang dikutip dari CNBC International.
Saham-saham telah terdampak pada perang dagang yang sedang berlangsung antara dua ekonomi terbesar dunia tersebut. Presiden AS Donald Trump dan Presiden Cina Xi Jinping awal bulan ini mengumumkan gencatan senjata 90 hari dalam konflik yang menunggu negosiasi lebih lanjut, tetapi sejumlah tarif yang sudah diberlakukan oleh kedua pihak tetap di tempat dan prospek untuk resolusi masih belum jelas.
Deloitte menerima 108 tanggapan terhadap jajak pendapat dari para eksekutif pada berbagai perusahaan multinasional, milik negara dan milik pribadi yang beroperasi di daratan China, Hong Kong dan Macau. Survei dilakukan antara bulan September dan November 2018.
Deloitte mengatakan sebanyak 69% responden memegang posisi di tingkat CFO atau direktur keuangan, sementara 8% adalah wakil presiden.
Peluang yang Tidak Terduga
Survei juga menemukan bahwa 59% responden berpikir volume perdagangan akan menurun di tahun depan, sementara 56% mengatakan perusahaan mereka sudah atau diperkirakan akan terpengaruh oleh kenaikan tarif.
Ketika ditanya apakah negara atau daerah akan mendapat manfaat dari pola perdagangan yang bergeser, 53% dari eksekutif mengatakan, Asia Tenggara akan melihat peningkatan terbesar dalam volume ekspor, dengan hanya 9% memilih China.
"Asia Tenggara telah mengembangkan diri sebagai pusat manufaktur dan perubahan dapat memberikan peluang tak terduga," kata Deloitte.
"Kawasan ini juga dapat mengambil manfaat dari perusahaan-perusahaan yang mengalihkan kemampuan manufaktur untuk menghindari beberapa tindakan proteksionis perdagangan," tambah konsultan tersebut."
Dan mengenai prospek mata uang China, 74% responden mengatakan mereka memperkirakan yuan akan melemah lebih lanjut terhadap dolar di tahun mendatang.
Chou dari Deloitte mengatakan para eksekutif lapar akan resolusi positif terhadap konflik, "Jika (AS dan Cina) pada akhirnya dapat mencapai kesepakatan, sentimen bisnis akan meningkat dengan cepat."
(dru) Next Article Konkret! Buntut Kasus SNP, Kantor Akuntan Ini Disanksi OJK
Most Popular