
Tahun Politik, Dana Kampanye, dan Rawannya Peran Pebisnis RI
Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
04 December 2018 19:36

Jakarta, CNBC Indonesia- International Businessman Integrity Conferencecam (IBIC) 2018 berlangsung di Hotel Bidakara Jakarta, Selasa (4/12/2018). Salah satu sesi dalam ajang itu membedah donasi dan pembiayaan politik yang berlangsung di Indonesia.
Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo, hadir sebagai keynote speaker pada sesi ini. Kepada hadirin, dia mengaku tidak pernah sakit hati jika lembaga yang dipimpinnya kerap mendapat kritik dari publik lantaran tertangkapnya sejumlah bekas legislator akibat kasus korupsi.
"Saya tidak pernah sakit hati kalau dituding-tuding. Yang terpenting saat ini, masalahnya adalah bagaimana solusinya ke depan," ungkapnya.
Lebih lanjut, dia menilai bahwa terjun ke politik adalah pengabdian. Karena itu, idealnya para individu yang berkecimpung di dunia politik, harus sudah mapan secara ekonomi.
"Secara individu harus sudah selesai baru mengabdi. Namun praktiknya saat ini tidak terbatas yang sudah mapan saja, tapi semua berlomba menjadi elit politik, didorong ke legislatif, pejabat daerah, komisaris maupun direksi BUMN," ungkapnya.
Padahal, ongkos politik tidak bisa dikatakan murah sehingga setiap orang yang terjun pasti akan mencari balik modal. Karena itu, dengan skema perpolitikan saat ini, menurutnya KPK punya pekerjaan yang pasti tidak akan selesai.
"Pemilu kita masih diwarnai NPWP, nomor piro wani piro," celetuknya.
Sementara itu, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, membedah lingkaran setan korupsi politik di Indonesia. Berdasarkan sejumlah riset ICW, ditemukan kecenderungan keterlibatan pebisnis dalam korupsi politik.
Dikatakan, banyak pebisnis menyetorkan sejumlah modal kepada kontestan pemilu, baik kepada partai maupun individu, untuk menjamin rasa aman dalam menjalankan bisnisnya. "Mereka lebih suka memberi ke individu dari pada ke partai, sebab kalau ke partai tidak jelas nanti nagihnya ke siapa," kata Donal.
Selain itu, donasi dan pembiayaan politik yang diberikan pihak swasta mayoritas tanpa disertai identitas alias anonim. Bahkan tidak menutup kemungkinan satu pihak swasta memberikan modal kepada semua kontestan yang tengah bertarung.
"Karakter pebisnis Indonesia, dia memberikan uang ke setiap kontestan dan tidak akan mencantumkan namanya. Karena dia takut akan diserang secara politik nanti kalau ketahuan," urainya lagi.
Sejalan dengan itu, terdapat dua kriteria pebisnis dalam keterlibatannya pada korupsi politik. Ada pebisnis yang memang aktif menyodorkan sejumlah imbalan demi timbal balik tertentu, ada pula yang pebisnis yang terpaksa memberikan sejumlah uang karena diperas.
Karena itu, dia mengajak para pebisnis agar turut serta melawan praktik yang demikian. "Sudah waktunya sektor swasta ikut perbaiki sistem politik, karena you bisa jadi korban, you bisa jadi pelaku," tegasnya.
Dalam kesempatan sama, Bambang Manumayoso selaku Presiden Direktur Pertamina Hulu Indonesia membeberkan kiat perusahaan pelat merah itu dalam menangkal praktik korupsi. Dia menegaskan, perusahaan BUMN tidak boleh memberikan fasilitas baik secara individu maupun atas nama perusahaan, dalam sebuah proses politik.
"People harus sangat jujur, tidak boleh konflik dengan kepentingan dan tidak mentolerir suap. Di Pertamina kita diatur. Perusahaan sudah memberikan amanah bahwa kita harus bersikap netral terhadap politik. Kemudian penghormatan terhadap hak politik pekerja. Jika seseorang ingin berpartisipasi politik, silakan saja, bisa keluar," ungkap dia.
(gus) Next Article Sinergi KPK, Pertamina Pastikan Operasional Bisnis Sesuai GCG
Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo, hadir sebagai keynote speaker pada sesi ini. Kepada hadirin, dia mengaku tidak pernah sakit hati jika lembaga yang dipimpinnya kerap mendapat kritik dari publik lantaran tertangkapnya sejumlah bekas legislator akibat kasus korupsi.
Lebih lanjut, dia menilai bahwa terjun ke politik adalah pengabdian. Karena itu, idealnya para individu yang berkecimpung di dunia politik, harus sudah mapan secara ekonomi.
"Secara individu harus sudah selesai baru mengabdi. Namun praktiknya saat ini tidak terbatas yang sudah mapan saja, tapi semua berlomba menjadi elit politik, didorong ke legislatif, pejabat daerah, komisaris maupun direksi BUMN," ungkapnya.
Padahal, ongkos politik tidak bisa dikatakan murah sehingga setiap orang yang terjun pasti akan mencari balik modal. Karena itu, dengan skema perpolitikan saat ini, menurutnya KPK punya pekerjaan yang pasti tidak akan selesai.
"Pemilu kita masih diwarnai NPWP, nomor piro wani piro," celetuknya.
Sementara itu, aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, membedah lingkaran setan korupsi politik di Indonesia. Berdasarkan sejumlah riset ICW, ditemukan kecenderungan keterlibatan pebisnis dalam korupsi politik.
Dikatakan, banyak pebisnis menyetorkan sejumlah modal kepada kontestan pemilu, baik kepada partai maupun individu, untuk menjamin rasa aman dalam menjalankan bisnisnya. "Mereka lebih suka memberi ke individu dari pada ke partai, sebab kalau ke partai tidak jelas nanti nagihnya ke siapa," kata Donal.
Selain itu, donasi dan pembiayaan politik yang diberikan pihak swasta mayoritas tanpa disertai identitas alias anonim. Bahkan tidak menutup kemungkinan satu pihak swasta memberikan modal kepada semua kontestan yang tengah bertarung.
"Karakter pebisnis Indonesia, dia memberikan uang ke setiap kontestan dan tidak akan mencantumkan namanya. Karena dia takut akan diserang secara politik nanti kalau ketahuan," urainya lagi.
Sejalan dengan itu, terdapat dua kriteria pebisnis dalam keterlibatannya pada korupsi politik. Ada pebisnis yang memang aktif menyodorkan sejumlah imbalan demi timbal balik tertentu, ada pula yang pebisnis yang terpaksa memberikan sejumlah uang karena diperas.
Karena itu, dia mengajak para pebisnis agar turut serta melawan praktik yang demikian. "Sudah waktunya sektor swasta ikut perbaiki sistem politik, karena you bisa jadi korban, you bisa jadi pelaku," tegasnya.
Dalam kesempatan sama, Bambang Manumayoso selaku Presiden Direktur Pertamina Hulu Indonesia membeberkan kiat perusahaan pelat merah itu dalam menangkal praktik korupsi. Dia menegaskan, perusahaan BUMN tidak boleh memberikan fasilitas baik secara individu maupun atas nama perusahaan, dalam sebuah proses politik.
"People harus sangat jujur, tidak boleh konflik dengan kepentingan dan tidak mentolerir suap. Di Pertamina kita diatur. Perusahaan sudah memberikan amanah bahwa kita harus bersikap netral terhadap politik. Kemudian penghormatan terhadap hak politik pekerja. Jika seseorang ingin berpartisipasi politik, silakan saja, bisa keluar," ungkap dia.
(gus) Next Article Sinergi KPK, Pertamina Pastikan Operasional Bisnis Sesuai GCG
Most Popular