
Intip Strategi Besar Jokowi Usai Masif Bangun Infrastruktur
Muhammad Iqbal, CNBC Indonesia
28 November 2018 17:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo (Jokowi) segera menerapkan shifting strategy dalam kebijakan pembangunan Indonesia. Hal itu disampaikan Duta Besar RI untuk Polandia Peter Gontha dalam tulisan yang diterima CNBC Indonesia di Jakarta, Rabu (28/11/2018).
Tulisan itu bersumber dari pembicaraan singkat Peter dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang hendak menuju studio stasiun televisi untuk sebuah acara talkshow, Selasa (27/11/2018) petang.
Peter menuturkan, perbincangan berawal dari ekspor Indonesia tak kunjung mendukung neraca perdagangan ke tingkat neraca pembayaran yang positif. Luhut mengakui, industri pariwisata RI belum dapat berkontribusi besar pada pendapatan devisa.
Padahal, hal itu diperlukan untuk menutup neraca pembayaran yang makin membengkak. Yang memprihatinkan, ekspor barang Indonesia kini tidak dapat diandalkan, karena mayoritas barang ekspor Indonesia adalah hasil kekayaan alam.
Mulai dari tembaga, minyak bumi dan gas alam maupun hasil pertanian seperti kelapa sawit, karet, dan kopi. Harga-harga komoditas itu terus menurun di pasar internasional.
Di sisi lain, lifting minyak mentah terus menurun di saat impor bahan bakar minyak (BBM) terus meningkat. Pada saat yang sama pula, kebutuhan bahan pangan seperti beras dan gandum belum dapat terpenuhi dari dalam negeri alias masih harus diimpor dalam jumlah yang makin menggila.
Kondisi bertambah sulit karena nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar AS cenderung menurun drastis. "Lengkap sudah kesulitan yang dihadapi bangsa ini. Apa yang dilakukan pemerintah mengatasi kesulitan berlipat-lipat ini," tanya Peter kepada Luhut.
Merespons pertanyaan itu, Luhut bercerita, produk Indonesia tidak ada yang mempunyai nilai yang dapat diandalkan dan diharapkan konsumen pasar dunia. Indonesia sulit bersaing dengan produk China, Korea Selatan, dan Jepang, karena hanya mengekspor produk seperti Indomie.
Kemudian timbul pertanyaan, kenapa barang produksi Indonesia tidak mempunyai muatan teknologi sama sekali di pasaran dunia? "Alih-alih kita mendapat bonus demografi malah yang didapat petaka demografi!," kata Luhut.
Peter kemudian bertanya lebih jauh. Mengapa? "Karena sistem pendidikan kita selama dua generasi (2 X 25 tahun) itu miskin akan pendidikan sains dan teknologi. Kita menghasilkan lebih banyak ahli di bidang ilmu sosial yang justru terus-menerus menabrak hukum kita," ujar Luhut.
Peter terus bertanya lagi perihal siapa yang salah dalam hal ini. "Semua yang tidak memperhatikan pembangunan Infrastruktur manusia Indonesia selama 50 tahun ini!" kata Luhut penuh geram.
Peter lantas tertegun. Ia teringat kisah Korea Selatan bisa maju seperti sekarang. Pada 1969, orang Korea masih saling bertanya, Apakah Anda sudah makan nasi hari ini?" Namun, pada tahun tersebut, Presiden Park Chung Hee membuat ikrar bersama rakyat.
Park bertekad segenap elemen bangsa Korea akan bekerja sekuat tenaga mendidik dan mempersiapkan generasi mendatang yang mampu memenangi perubahan zaman. "Hasilnya? Sekarang kita melihat bahwa ikrar tersebut membuahkan hasil," tulis Peter.
"Setelah pemerintah selama empat tahun jor-jor-an membangun Infrastruktur fisik yang sangat diperlukan di negeri kita," ucapan Luhut mengalihkan ingatan Peter. "Pada tahun-tahun mendatang Presiden Joko Widodo, apa bila terpilih kembali, akan mengenjot pembangunan infrastruktur manusia Indonesia," lanjut Luhut.
Lebih lanjut, Luhut menjelaskan, Presiden Jokowi bertekad mengirim sebanyak mungkin kaum muda Indonesia ke luar negeri untuk mengikuti pendidikan di bidang sains dan teknologi. Presiden telah menginstruksikan menteri keuangan untuk mempersiapkan semua itu.
Bukan mengirim ribuan atau puluhan ribu anak muda, tapi ratusan ribu bahkan jutaan anak muda yang mau dikirim keluar negeri. Yang menarik, Presiden Jokowi juga menghendaki agar mereka yang dikirim sekolah bukan hanya yang pintar-pintar tetapi juga yang kurang pintar.
"Masa anak yang kurang pintar tidak boleh mendapat beasiswa, kapan pintarnya?" kata Presiden dengan kesal, seperti dituturkan Luhut.
Kondisi sekarang, Indonesia hanya bisa membangun gedung, jembatan, dan jalan. Rel untuk MRT, misalnya, harus dibangun orang asing. Impor juga tampak pada teknologi farmasi dan kedokteran.
Kemudian, Peter kembali menanyakan, siapa yang salah dari itu semua? Luhut dengan geram menjawab, "Semua yang tidak memperhatikan pembangunan infrastruktur manusia Indonesia selama 50 tahun ini!"
Pendek kata, lanjut Luhut, ke depan penggunaan mayoritas anggaran negara akan dipindahkan dari pembangunan infrastruktur fisik kepada pembangunan infrastruktur manusia Indonesia yang berkualitas.
Meski ini akan memakan waktu hingga dua generasi, seperti Korea, Indonesia tidak lagi dapat menunggu. Siapa pun Presiden RI untuk 50 tahun mendatang harus fokus membangun infrastruktur manusia Indonesia.
"Inilah shifting strategy yang akan mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan yang dicita-citakan para pendiri bangsanya. Kita tidak mau mengumbar janji-janji yang tidak masuk akal tapi hanya yang riil yang bisa dicapai," kata Luhut.
"Semoga infrastruktur manusia Indonesia dapat dibangun 50 tahun mendatang ini," demikian Peter mengakhiri tulisannya.
(miq/wed) Next Article Prabowo: Ada yang Mau Pisahkan Saya dan Jokowi
Tulisan itu bersumber dari pembicaraan singkat Peter dengan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan yang hendak menuju studio stasiun televisi untuk sebuah acara talkshow, Selasa (27/11/2018) petang.
![]() |
Padahal, hal itu diperlukan untuk menutup neraca pembayaran yang makin membengkak. Yang memprihatinkan, ekspor barang Indonesia kini tidak dapat diandalkan, karena mayoritas barang ekspor Indonesia adalah hasil kekayaan alam.
Mulai dari tembaga, minyak bumi dan gas alam maupun hasil pertanian seperti kelapa sawit, karet, dan kopi. Harga-harga komoditas itu terus menurun di pasar internasional.
Di sisi lain, lifting minyak mentah terus menurun di saat impor bahan bakar minyak (BBM) terus meningkat. Pada saat yang sama pula, kebutuhan bahan pangan seperti beras dan gandum belum dapat terpenuhi dari dalam negeri alias masih harus diimpor dalam jumlah yang makin menggila.
Kondisi bertambah sulit karena nilai tukar rupiah terhadap mata uang dolar AS cenderung menurun drastis. "Lengkap sudah kesulitan yang dihadapi bangsa ini. Apa yang dilakukan pemerintah mengatasi kesulitan berlipat-lipat ini," tanya Peter kepada Luhut.
Merespons pertanyaan itu, Luhut bercerita, produk Indonesia tidak ada yang mempunyai nilai yang dapat diandalkan dan diharapkan konsumen pasar dunia. Indonesia sulit bersaing dengan produk China, Korea Selatan, dan Jepang, karena hanya mengekspor produk seperti Indomie.
Kemudian timbul pertanyaan, kenapa barang produksi Indonesia tidak mempunyai muatan teknologi sama sekali di pasaran dunia? "Alih-alih kita mendapat bonus demografi malah yang didapat petaka demografi!," kata Luhut.
Peter kemudian bertanya lebih jauh. Mengapa? "Karena sistem pendidikan kita selama dua generasi (2 X 25 tahun) itu miskin akan pendidikan sains dan teknologi. Kita menghasilkan lebih banyak ahli di bidang ilmu sosial yang justru terus-menerus menabrak hukum kita," ujar Luhut.
Peter terus bertanya lagi perihal siapa yang salah dalam hal ini. "Semua yang tidak memperhatikan pembangunan Infrastruktur manusia Indonesia selama 50 tahun ini!" kata Luhut penuh geram.
![]() |
Peter lantas tertegun. Ia teringat kisah Korea Selatan bisa maju seperti sekarang. Pada 1969, orang Korea masih saling bertanya, Apakah Anda sudah makan nasi hari ini?" Namun, pada tahun tersebut, Presiden Park Chung Hee membuat ikrar bersama rakyat.
Park bertekad segenap elemen bangsa Korea akan bekerja sekuat tenaga mendidik dan mempersiapkan generasi mendatang yang mampu memenangi perubahan zaman. "Hasilnya? Sekarang kita melihat bahwa ikrar tersebut membuahkan hasil," tulis Peter.
"Setelah pemerintah selama empat tahun jor-jor-an membangun Infrastruktur fisik yang sangat diperlukan di negeri kita," ucapan Luhut mengalihkan ingatan Peter. "Pada tahun-tahun mendatang Presiden Joko Widodo, apa bila terpilih kembali, akan mengenjot pembangunan infrastruktur manusia Indonesia," lanjut Luhut.
Lebih lanjut, Luhut menjelaskan, Presiden Jokowi bertekad mengirim sebanyak mungkin kaum muda Indonesia ke luar negeri untuk mengikuti pendidikan di bidang sains dan teknologi. Presiden telah menginstruksikan menteri keuangan untuk mempersiapkan semua itu.
Bukan mengirim ribuan atau puluhan ribu anak muda, tapi ratusan ribu bahkan jutaan anak muda yang mau dikirim keluar negeri. Yang menarik, Presiden Jokowi juga menghendaki agar mereka yang dikirim sekolah bukan hanya yang pintar-pintar tetapi juga yang kurang pintar.
"Masa anak yang kurang pintar tidak boleh mendapat beasiswa, kapan pintarnya?" kata Presiden dengan kesal, seperti dituturkan Luhut.
![]() |
Kondisi sekarang, Indonesia hanya bisa membangun gedung, jembatan, dan jalan. Rel untuk MRT, misalnya, harus dibangun orang asing. Impor juga tampak pada teknologi farmasi dan kedokteran.
Kemudian, Peter kembali menanyakan, siapa yang salah dari itu semua? Luhut dengan geram menjawab, "Semua yang tidak memperhatikan pembangunan infrastruktur manusia Indonesia selama 50 tahun ini!"
Pendek kata, lanjut Luhut, ke depan penggunaan mayoritas anggaran negara akan dipindahkan dari pembangunan infrastruktur fisik kepada pembangunan infrastruktur manusia Indonesia yang berkualitas.
Meski ini akan memakan waktu hingga dua generasi, seperti Korea, Indonesia tidak lagi dapat menunggu. Siapa pun Presiden RI untuk 50 tahun mendatang harus fokus membangun infrastruktur manusia Indonesia.
"Inilah shifting strategy yang akan mengantarkan bangsa Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan yang dicita-citakan para pendiri bangsanya. Kita tidak mau mengumbar janji-janji yang tidak masuk akal tapi hanya yang riil yang bisa dicapai," kata Luhut.
"Semoga infrastruktur manusia Indonesia dapat dibangun 50 tahun mendatang ini," demikian Peter mengakhiri tulisannya.
(miq/wed) Next Article Prabowo: Ada yang Mau Pisahkan Saya dan Jokowi
Most Popular