'Menjual' Sepakbola Ala Inggris

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
20 November 2018 11:30
'Menjual' Sepakbola Ala Inggris
liverpoolfc.com
Jakarta, CNBC Indonesia - Inggris tahu betul bagaimana cara 'menjual' sepakbola. Liga Primer Inggris adalah kompetisi sepakbola paling tenar sejagat, dan Negeri Ratu Elizabeth tidak hanya punya itu. 

Laporan Federasi Sepakbola Eropa (UEFA) menyebutkan bahwa pada musim 2016/2017 penonton Liga Primer Inggris yang hadir di stadion mencapai 13.607.420. Liga Primer menjadi kompetisi domestik yang paling banyak mengundang penonton di seantero Benua Biru. 

 

Menariknya, ternyata kompetisi kasta kedua di Negeri John Bull pun mampu menarik minat penonton. Buktinya Championship Division, kompetisi di bawah Liga Primer, menempati urutan ketiga.

Championship memang kalah dari Bundesliga Jerman, tetapi ternyata lebih banyak ditonton ketimbang La Liga Spanyol atau Serie A Italia. Impresif bukan? 

Well, Championship sebenarnya memang bukan kompetisi kelas kambing. Di dalamnya ada klub-klub tradisional yang punya pendukung fanatik seperti Leeds United (sekali juara Liga Primer, sekali semifinalis Liga Champions Eropa) atau Aston Villa (juara Eropa 1982). Oleh karena itu, Championship juga menjadi komoditas bernilai tinggi.

Awal pekan ini, English Football League (EFL) yang menaungi Championship dan dua kompetisi di bawahnya (League One dan League Two) menandatangani kontrak hak siar dengan Sky Sport untuk jangka waktu 5 tahun. 
Nilainya? Mencapai 595 juta poundsterling atau sekira Rp 11,14 triliun.

"Naik 35% dibandingkan kesepakatan sebelumnya," sebut pernyataan resmi EFL.
 

Bagaimana Inggris begitu sukses 'menjual' sepakbola mereka? Padahal di level internasional, tim nasional Inggris minim prestasi. Di level antar klub Eropa, tim dari Inggris juga tidak bisa mendominasi layaknya Barcelona atau Real Madrid. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Mengutip The Economist, setidaknya ada tiga faktor. Pertama adalah keterbukaan terhadap tenaga kerja asing.  

Gelombang pertama adalah ketika Arsene Wenger ditunjuk menjadi manajer Arsenal pada 1996. Kala itu, publik Inggris bertanya dengan angkuhnya. "Arsene who?". 

Namun Sang Profesor menjawab tantangan dengan brilian. Gelar demi gelar dibawa ke London Barat, yang membuka mata masyarakat Inggris (dan dunia) bahwa Liga Primer harus lebih terbuka.

Publik sepakbola dunia yang mulai melirik Inggris kemudian membuat pemodal-pemodal kelas paus berdatangan. Roman Abramovic (Chelsea), Malcolm Glazer (Manchester United), atau Sheikh Mansour bin Zayed al-Nahyan (Manchester City) adalah beberapa contohnya. Dengan modal nyaris tak terbatas, klub-klub Inggris lebih bebas mendatangkan pemain bintang yang membuat kompetisi semakin menarik. 

Faktor kedua adalah klub-klub Inggris menyadari bahwa pasar sepakbola terbesar bukan di Eropa, tetapi Asia. Benua Kuning menyumbang nyaris 60% populasi dunia, dan sangat menyukai the beautiful game.  

Menyadari potensi itu, klub-klub Inggris mulai melakukan tur Asia untuk mendekatkan diri dengan penggemarnya. Manchester United memulai tur Asia secara rutin pada pertengahan 1990-an, sementara Real Madrid baru melakukannya pada 2003. Akibatnya, penggemar sepakbola di Asia lebih akrab dengan Setan Merah ketimbang Si Putih. 

Faktor ketiga, Liga Primer menyalurkan pendapatan hak siar dengan lebih adil sehingga klub-klub kecil juga mendapatkan bagian yang hampir sama dengan para raksasa. Dengan begitu, klub seperti Fulham bisa mendatangkan bintang masa depan Prancis, Jean-Michel Seri, dari Nice dengan banderol 25 juta poundsterling (Rp 468,67 miliar). Langkah ini membuat Liga Primer menjadi lebih menarik, kompetisi berjalan ketat.  

Sementara di La Liga, misalnya, pendapatan hak siar dibagi berdasarkan rating. Siapa yang menjaring penonton lebih banyak, maka akan mendapatkan uang lebih banyak.

Di Spanyol, siapa lagi yang mendapatkan itu kalau bukan Real Madrid dan Barcelona. Rayo Vallecano? Real Valladolid? Jangan harap. 

Sistem seperti ini membuat yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin blangsak. Sebelum kompetisi bergulir, publik sudah bisa menebak siapa juara La Liga. Kalau tidak Barcelona ya Real Madrid. Sekali-sekali boleh lah Atletico Madrid, tapi kalau bahasa statistik itu disebut pencilan. 

Setidaknya tiga faktor itu yang membuat Inggris sukses 'menjual' sepakbola mereka. Ketika jualan itu sukses, maka semakin banyak uang mengalir ke sepakbola Negeri Big Ben. Sepakbola pun semakin menjadi industri bernilai tinggi, bukan sekedar kesenangan.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Liga Spanyol Sampai Inggris Cs Boncos Rp 30 T Gegara Covid-19

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular