
Waspada! Ada Ancaman Inflasi Meroket Saat Akhir Tahun
Muhammad Choirul Anwar, CNBC Indonesia
15 November 2018 12:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) mencatat rutinitas lonjakan harga pangan jelang akhir tahun. Dalam delapan tahun terakhir, inflasi bulan Desember untuk bahan makanan selalu lebih tinggi dari inflasi umum.
Ekonom INDEF, Riza Annisa Pujarama, mengatakan kondisi itu membuat capaian inflasi volatile food pada Oktober 2018 sebesar 0,17 persen MtM tidak cukup menjadi indikasi akan stabilnya harga pangan hingga penghujung tahun. Justru, biasanya volatile food pada Oktober cenderung deflasi.
Dikatakan, penyebab utama inflasi pangan di akhir tahun umumnya adalah momentum hari raya keagamaan dan libur akhir tahun.
"Namun, apa pun penyebabnya yang diperlukan masyarakat adalah kepastian akan stabilnya harga-harga. Oleh karena itu, pengambil kebijakan tidak dapat terus berlindung dengan alasan kedua momen tersebut secara terus-menerus," urainya dalam keterangan pers di Jakarta, Kamis (15/11/2018).
Dia menegaskan, harus ada keseriusan pemerintah untuk memutus siklus dan mencari solusi agar harga pangan di akhir tahun lebih terkendali. Potensi surplus beras sebesar 2,85 juta ton tahun ini harus dipastikan, sebagai penyumbang bobot terbesar dalam komponen/keranjang inflasi, agar dapat meredam gejolak inflasi pangan.
Dia mencatat, pada 2018, inflasi dipicu oleh mulai naiknya inflasi inti dan inflasi barang bergejolak. Depresiasi nilai tukar Rupiah mendorong tingkat inflasi inti.
"Ketika rata-rata nilai tukar rupiah melonjak di bulan Juli (Rp 14.414,00), inflasi inti ikut melonjak ke 0,41, angka tertinggi sepanjang Januari hingga Oktober 2018. Inflasi barang bergejolak terutama terjadi karena lonjakan beberapa komoditas bahan pangan," tambahnya.
Bahan makanan dan makanan jadi seperti beras, daging, daging ayam ras, telur ayam ras, dan bumbu dapur, menjadi pemicu langganan inflasi barang bergejolak. Tak terkecuali di 2018, komoditas-komoditas itu merupakan bahan pangan yang harganya acapkali melambung dan mendorong inflasi umum.
Di sisi lain, berdasarkan pola pergerakan data time series, memasuki November, inflasi barang bergejolak akan meningkat dan kembali menurun di Januari. "Hal ini berpotensi besar terulang kembali di akhir tahun 2018 sehingga perlu dilakukan antisipasi agar lonjakannya tidak terlalu tinggi," pungkasnya.
(miq/miq) Next Article Kemarau Panjang Sebabkan Kekeringan, Pemerintah Waspada
Ekonom INDEF, Riza Annisa Pujarama, mengatakan kondisi itu membuat capaian inflasi volatile food pada Oktober 2018 sebesar 0,17 persen MtM tidak cukup menjadi indikasi akan stabilnya harga pangan hingga penghujung tahun. Justru, biasanya volatile food pada Oktober cenderung deflasi.
Dikatakan, penyebab utama inflasi pangan di akhir tahun umumnya adalah momentum hari raya keagamaan dan libur akhir tahun.
Dia menegaskan, harus ada keseriusan pemerintah untuk memutus siklus dan mencari solusi agar harga pangan di akhir tahun lebih terkendali. Potensi surplus beras sebesar 2,85 juta ton tahun ini harus dipastikan, sebagai penyumbang bobot terbesar dalam komponen/keranjang inflasi, agar dapat meredam gejolak inflasi pangan.
Dia mencatat, pada 2018, inflasi dipicu oleh mulai naiknya inflasi inti dan inflasi barang bergejolak. Depresiasi nilai tukar Rupiah mendorong tingkat inflasi inti.
"Ketika rata-rata nilai tukar rupiah melonjak di bulan Juli (Rp 14.414,00), inflasi inti ikut melonjak ke 0,41, angka tertinggi sepanjang Januari hingga Oktober 2018. Inflasi barang bergejolak terutama terjadi karena lonjakan beberapa komoditas bahan pangan," tambahnya.
Bahan makanan dan makanan jadi seperti beras, daging, daging ayam ras, telur ayam ras, dan bumbu dapur, menjadi pemicu langganan inflasi barang bergejolak. Tak terkecuali di 2018, komoditas-komoditas itu merupakan bahan pangan yang harganya acapkali melambung dan mendorong inflasi umum.
Di sisi lain, berdasarkan pola pergerakan data time series, memasuki November, inflasi barang bergejolak akan meningkat dan kembali menurun di Januari. "Hal ini berpotensi besar terulang kembali di akhir tahun 2018 sehingga perlu dilakukan antisipasi agar lonjakannya tidak terlalu tinggi," pungkasnya.
(miq/miq) Next Article Kemarau Panjang Sebabkan Kekeringan, Pemerintah Waspada
Most Popular