
Ribetnya Urus Perizinan di RI, di Negara Tetangga Lebih Mudah
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
01 November 2018 12:20

Gedung terbangun, sudah didaftarkan, eh ternyata investor masih dibuat merana oleh ribetnya proses ekspor impor. Ketiga, indikator trading across border. Salah satu ukuran yang digunakan World Bank dalam mengukur indikator ini adalah border compliance.
Sederhananya, border compliance mengukur waktu dan biaya untuk memperoleh, menyiapkan, dan memasukkan dokumen selama penanganan pelabuhan/perbatasan, penyelesaian bea, dan prosedur inspeksi.
Setali tiga uang dengan dua indikator yang sudah dibahas sebelumnya, lagi-lagi birokrasi di Indonesia masih terlalu berbelit. Waktu yang diperlukan untuk proses border compliance adalah 48 jam (ekspor) dan 80 jam (impor).
Kembali, negara tetangga lebih efektif dan efisien. Malaysia hanya membutuhkan waktu 28 jam (ekspor) dan 36 jam (impor). Sementara Thailand cukup dengan waktu 44 jam (ekspor) dan 50 jam (impor).
Tidak hanya dari segi waktu, Indonesia pun masih menjadi yang paling “matre” untuk urusan biaya. Biaya proses border compliance di tanah air mencapai US$ 250 (ekspor) dan US$ 384 (impor). Sedangkan di Malaysia dan Thailand, biayanya hanya ada di kisaran US$200-an saja (baik untuk ekspor maupun impor).
Reformasi kebijakan yang dilakukan Malaysia dan Thailand untuk indikator trading across border, nampaknya perlu dijadikan panutan oleh RI. Malaysia membuat proses ekspor-impor lebih nyaman dengan meluncurkan sistem elektronik untuk border compliance. Negeri Jiran juga memperkuat infrastruktur dan sistem operasi pelabuhan utama Port Klang.
Sementara itu, Thailand mempercepat proses trading across border dengan memperkenalkan sistem E-Matching untuk pengontrolan kargo. Hampir mirip seperti Malaysia. Alhasil, waktu untuk proses border compliance pun dapat dipangkas.
Kesimpulannya, masih banyak inovasi yang bisa dilakukan Indonesia untuk memperbaiki iklim kemudahan berbisnis di tanah air. Tidak hanya dari sisi regulasi atau institusional, namun juga dari pengembangan teknologi informasi. Sebenarnya, Indonesia sudah meluncurkan Online Single Submission (OSS) pada awal Juli 2018 lalu. Namun, gara-gara telat dibandingkan negara tetangga, akibatnya belum terekam pada laporan EODB.
Seperti dijelaskan sebelumnya, laporan EODB World Bank hanya mengukur indikator-indikator dalam periode satu tahun, yakni Juni 2017 - Mei 2018. Semoga saja dengan sistem OSS yang baru, Indonesia bisa memperkecil ketinggalannya dari negara tetangga.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/wed)
Sederhananya, border compliance mengukur waktu dan biaya untuk memperoleh, menyiapkan, dan memasukkan dokumen selama penanganan pelabuhan/perbatasan, penyelesaian bea, dan prosedur inspeksi.
Setali tiga uang dengan dua indikator yang sudah dibahas sebelumnya, lagi-lagi birokrasi di Indonesia masih terlalu berbelit. Waktu yang diperlukan untuk proses border compliance adalah 48 jam (ekspor) dan 80 jam (impor).
Tidak hanya dari segi waktu, Indonesia pun masih menjadi yang paling “matre” untuk urusan biaya. Biaya proses border compliance di tanah air mencapai US$ 250 (ekspor) dan US$ 384 (impor). Sedangkan di Malaysia dan Thailand, biayanya hanya ada di kisaran US$200-an saja (baik untuk ekspor maupun impor).
Reformasi kebijakan yang dilakukan Malaysia dan Thailand untuk indikator trading across border, nampaknya perlu dijadikan panutan oleh RI. Malaysia membuat proses ekspor-impor lebih nyaman dengan meluncurkan sistem elektronik untuk border compliance. Negeri Jiran juga memperkuat infrastruktur dan sistem operasi pelabuhan utama Port Klang.
Sementara itu, Thailand mempercepat proses trading across border dengan memperkenalkan sistem E-Matching untuk pengontrolan kargo. Hampir mirip seperti Malaysia. Alhasil, waktu untuk proses border compliance pun dapat dipangkas.
Kesimpulannya, masih banyak inovasi yang bisa dilakukan Indonesia untuk memperbaiki iklim kemudahan berbisnis di tanah air. Tidak hanya dari sisi regulasi atau institusional, namun juga dari pengembangan teknologi informasi. Sebenarnya, Indonesia sudah meluncurkan Online Single Submission (OSS) pada awal Juli 2018 lalu. Namun, gara-gara telat dibandingkan negara tetangga, akibatnya belum terekam pada laporan EODB.
Seperti dijelaskan sebelumnya, laporan EODB World Bank hanya mengukur indikator-indikator dalam periode satu tahun, yakni Juni 2017 - Mei 2018. Semoga saja dengan sistem OSS yang baru, Indonesia bisa memperkecil ketinggalannya dari negara tetangga.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(RHG/wed)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular