
Ribetnya Urus Perizinan di RI, di Negara Tetangga Lebih Mudah
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
01 November 2018 12:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia menduduki peringkat ke 73 dari 190 negara dalam hal kemudahan berusaha atau Ease of Doing Business (EODB) yang dirilis Bank Dunia (World Bank), Rabu (31/10/2018).
Dalam laporan Doing Business 2019, posisi Indonesia tercatat turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya meskipun indeks yang diraih pemerintah naik 1,42 menjadi 67,96.
Penilaian EODB dilakukan Bank Dunia di dua kota, yaitu Jakarta dan Surabaya, dengan bobot masing-masing 78% dan 22%. Dari 10 indikator yang dinilai oleh Bank Dunia dalam periode Juni 2017 hingga Mei 2018, Indonesia mencatatkan penurunan di empat bidang.
Keempat bidang tersebut adalah dealing with construction permit (dari 108 menjadi 112), protecting minority investors (dari 43 menjadi 51), trading across borders (dari 112 ke 116), dan enforcing contracts (dari 145 ke 146), menurut data laporan tersebut.
Posisi Indonesia ini berada di belakang lima negara Asia Tenggara. Singapura berhasil mempertahankan posisinya di peringkat kedua selama dua tahun berturut-turut.
Malaysia tercatat ada di peringkat 15, disusul Thailand di posisi 27. Kemudian Brunei Darussalam berada di peringkat 55 sementara Vietnam di posisi 69. Negara-negara Asia Tenggara yang peringkatnya ada di bawah Indonesia adalah Filipina (124), Kamboja (138), Laos (154), dan Myanmar (171).
Lantas apa yang menyebabkan RI begitu tertinggal dari negara-negara tetangga? Tim Riset CNBC Indonesia akan membedah beberapa alasannya, utamanya yang terkait dengan perizinan.
Pertama, untuk urusan dealing with construction permit. Apabila dilihat dari rinciannya, memang sejatinya perizinan untuk konstruksi di Jakarta relatif lebih rumit dibandingkan dengan negara-negara tetangga, baik dari sisi banyaknya prosedur, waktu, dan juga biaya.
Investor yang mengurus izin konstruksi di Jakarta perlu melewati 17 prosedur, dengan waktu pengurusan izin mencapai 191 hari. Proses itu jauh lebih melelahkan dibandingkan mengurus izin di Kuala Lumpur yang hanya memerlukan 11 prosedur (54 hari) dan Vietnam dengan 10 prosedur (166 hari).
Di Bangkok, sebenarnya prosedur yang ada masih lebih banyak dibandingkan Jakarta, yakni sebanyak 19. Namun, birokrasi di Bangkok jauh lebih efektif dan efisien, yaitu hanya memerlukan waktu 118 hari.
Tidak efisiennya dan efektifnya birokrasi di Jakarta terlihat dari investor yang setidaknya harus mengunjungi setidaknya 8 pihak atau lembaga, meski sudah dibentuk Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP).
Dari mulai notaris, kantor BPTSP, konsultan lingkungan eksternal, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD), Departemen Pemadam Kebakaran, PAM Jaya, Unit Pelayanan Pajak Daerah (UPPD), hingga Kementerian Perdagangan.
Amat berbelit jika dibandingkan dengan Kuala Lumpur yang hanya mensyaratkan investor keliling ke 5 pihak/lembaga. Bangkok bahkan lebih hebat lagi, di mana investor hanya perlu terlibat dengan 3 pihak/lembaga. Wajar jika waktu pengurusan perizinan di Bangkok lebih cepat dari Jakarta, meski jumlah prosedurnya lebih banyak.
Lalu, bagaimana dengan biaya pembuatan izin? Jakarta adalah kota yang paling jual mahal, jika dibandingkan dengan negara tetangga. Biaya yang harus dikeluarkan investor mencapai 4,6% dari nilai gudang/bangunan. Nilai itu berkali-kali lipat lebih besar dibandingkan dengan biaya di Kuala Lumpur yang hanya 1,4%.
Thailand dan Vietnam bahkan kompak mengenakan biaya yang nilainya setara dengan 0,7% dari nilai gudang. Akhirnya, wajar peringkat EODB Indonesia khusus untuk indikator dealing with construction permit berada di posisi ke 112, jauh di bawah Malaysia (3), Thailand (67), dan Vietnam (21).
RI nampaknya perlu mencontoh Malaysia yang melakukan reformasi besar-besaran dalam proses penerbitan izin bangunan. Reformasi ini sengaja diarusutamakan pemerintah Malaysia ke dalam perencanaan pemerintah pusat maupun daerah. Alhasil, waktu pengurusan izin konstruksi pun dapat dipercepat menjadi 54 hari, menjadi salah satu yang tercepat di Asia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Dalam laporan Doing Business 2019, posisi Indonesia tercatat turun satu peringkat dibandingkan tahun sebelumnya meskipun indeks yang diraih pemerintah naik 1,42 menjadi 67,96.
Penilaian EODB dilakukan Bank Dunia di dua kota, yaitu Jakarta dan Surabaya, dengan bobot masing-masing 78% dan 22%. Dari 10 indikator yang dinilai oleh Bank Dunia dalam periode Juni 2017 hingga Mei 2018, Indonesia mencatatkan penurunan di empat bidang.
Posisi Indonesia ini berada di belakang lima negara Asia Tenggara. Singapura berhasil mempertahankan posisinya di peringkat kedua selama dua tahun berturut-turut.
Malaysia tercatat ada di peringkat 15, disusul Thailand di posisi 27. Kemudian Brunei Darussalam berada di peringkat 55 sementara Vietnam di posisi 69. Negara-negara Asia Tenggara yang peringkatnya ada di bawah Indonesia adalah Filipina (124), Kamboja (138), Laos (154), dan Myanmar (171).
Lantas apa yang menyebabkan RI begitu tertinggal dari negara-negara tetangga? Tim Riset CNBC Indonesia akan membedah beberapa alasannya, utamanya yang terkait dengan perizinan.
Pertama, untuk urusan dealing with construction permit. Apabila dilihat dari rinciannya, memang sejatinya perizinan untuk konstruksi di Jakarta relatif lebih rumit dibandingkan dengan negara-negara tetangga, baik dari sisi banyaknya prosedur, waktu, dan juga biaya.
Investor yang mengurus izin konstruksi di Jakarta perlu melewati 17 prosedur, dengan waktu pengurusan izin mencapai 191 hari. Proses itu jauh lebih melelahkan dibandingkan mengurus izin di Kuala Lumpur yang hanya memerlukan 11 prosedur (54 hari) dan Vietnam dengan 10 prosedur (166 hari).
Di Bangkok, sebenarnya prosedur yang ada masih lebih banyak dibandingkan Jakarta, yakni sebanyak 19. Namun, birokrasi di Bangkok jauh lebih efektif dan efisien, yaitu hanya memerlukan waktu 118 hari.
Tidak efisiennya dan efektifnya birokrasi di Jakarta terlihat dari investor yang setidaknya harus mengunjungi setidaknya 8 pihak atau lembaga, meski sudah dibentuk Badan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (BPTSP).
Dari mulai notaris, kantor BPTSP, konsultan lingkungan eksternal, Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD), Departemen Pemadam Kebakaran, PAM Jaya, Unit Pelayanan Pajak Daerah (UPPD), hingga Kementerian Perdagangan.
Amat berbelit jika dibandingkan dengan Kuala Lumpur yang hanya mensyaratkan investor keliling ke 5 pihak/lembaga. Bangkok bahkan lebih hebat lagi, di mana investor hanya perlu terlibat dengan 3 pihak/lembaga. Wajar jika waktu pengurusan perizinan di Bangkok lebih cepat dari Jakarta, meski jumlah prosedurnya lebih banyak.
Lalu, bagaimana dengan biaya pembuatan izin? Jakarta adalah kota yang paling jual mahal, jika dibandingkan dengan negara tetangga. Biaya yang harus dikeluarkan investor mencapai 4,6% dari nilai gudang/bangunan. Nilai itu berkali-kali lipat lebih besar dibandingkan dengan biaya di Kuala Lumpur yang hanya 1,4%.
Thailand dan Vietnam bahkan kompak mengenakan biaya yang nilainya setara dengan 0,7% dari nilai gudang. Akhirnya, wajar peringkat EODB Indonesia khusus untuk indikator dealing with construction permit berada di posisi ke 112, jauh di bawah Malaysia (3), Thailand (67), dan Vietnam (21).
RI nampaknya perlu mencontoh Malaysia yang melakukan reformasi besar-besaran dalam proses penerbitan izin bangunan. Reformasi ini sengaja diarusutamakan pemerintah Malaysia ke dalam perencanaan pemerintah pusat maupun daerah. Alhasil, waktu pengurusan izin konstruksi pun dapat dipercepat menjadi 54 hari, menjadi salah satu yang tercepat di Asia.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular