
Harga Minyak Naik Tinggi, Pertamina Panik Borong Dolar
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
29 October 2018 09:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Menjelang akhir tahun, kebutuhan valas Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk dolar AS biasanya akan meningkat. Hal ini seiring dengan tenggat waktu pembayaran utang-utang korporasi.
Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia mengatakan, kebutuhan valas BUMN yang terbesar biasanya salah satunya berasal dari PT Pertamina (Persero).
"Kalau kita lihat kemarin, 16% impor itu kan berasal dari komponen migas. Sehingga bisa dibilang memang kebutuhan dolar Pertamina terbesar, makanya kemarin kan impornya ingin ditekan salah satu upayanya dengan kebijakan B20," terang Telisa kepada CNBC Indonesia ketika dihubungi Jumat (26/10/2018).
Berdasarkan perhitungannya, dengan harga minyak saat ini, kebutuhan dolar untuk PT Pertamina (Persero) saja dalam sehari bisa mencapai US$ 140 juta, sudah termasuk memperhitungkan kebutuhan untuk pembayaran utang beserta bunganya.
Lebih lanjut, Telisa menjelaskan, tidak hanya untuk membayar utang saja, kerugian kurs juga menjadi faktor BUMN memborong dolar. Telisa menilai, dengan kurs dolar AS yang cenderung merangkak naik, menimbulkan kepanikan perusahaan akan cadangan dolar mereka.
"Dengan nilai tukar dolar naik, membuat kebutuhan dolar menjadi cukup banyak, sehingga ada ketakutan kalau stok dolar tidak cukup. Sehingga panik minta dolar banyak," tambah Telisa.
Untuk itu, lanjutnya, ada instruksi dari pemerintah untuk mengontrol permintaan valas. Sebenarnya, tutur Telisa, pengawasan ini sudah dilakukan sejak dulu. Namun, dengan kondisi seperti saat ini, ada kemungkinan pengawasan dan kontrol lebih diperketat, yang tadinya setiap beberapa bulan sekali, menjadi setiap hari.
"Sebetulnya Bank Indonesia (BI) sudah lakukan konsolidasi untuk permintaan valas sejak dulu, tapi saat itu kondisinya belum turbulence seperti sekarang, jadi dilakukannya bulanan. Nah sekarang, sepertinya setiap hari BUMN dipantau, dan mesti melakukan pelaporan," pungkas Telisa.
Adapun, mantan petinggi di Pertamina buka-bukaan kepada CNBC Indonesia, saat berbincang pada Kamis (25/10/2018). Menurutnya, kebutuhan dolar BUMN migas itu dalam sehari bisa mencapai US$100 juta atau setara Rp 1,5 triliun. "Itu dengan harga minyak masih US$ 50 per barel, kalau sekarang sudah US$ 76 per barel pasti lebih tinggi lagi. Luar biasa memang," ujarnya.
Sebenarnya apa yang membuat Pertamina harus memiliki dolar segitu banyaknya?
Apalagi kalau bukan untuk impor minyak dan BBM yang tinggi. Indonesia menjadi net importir sejak 2002, artinya impor lebih banyak ketimbang produksi. Lalu, defisit migas sebenarnya sudah terjadi sejak 2008. Angka defisit ini terus membengkak sejak 2012 sampai sekarang.
Dengan rata-rata produksi di kisaran 750 ribu barel per hari dan konsumsi mencapai 1,5 juta - 1,6 juta barel per hari, separuh dari kebutuhan minyak RI didatangkan dari luar negeri. Angka ini bisa lebih besar jika tiba-tiba kilang tua yang dimiliki RI mati mendadak.
Berdasarkan data Pertamina yang dipaparkan dalam rapat bersama komisi VII DPR RI September lalu, direksi Pertamina memaparkan perusahaan migas pelat merah tersebut mengimpor BBM sebanyak 393 ribu barel per hari. Angka itu naik dibanding tahun lalu yang rata-rata hanya 370 ribu barel per hari.
Selain BBM, terdapat juga impor minyak mentah sebanyak 351 ribu barel per hari, turun dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 361 ribu barel. Artinya RI rata-rata impor sekitar 700 ribu barel minyak per hari.
VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Adiatma Sardjito memaparkan sebenarnya dari sisi volume, impor BBM masih sama seperti tahun lalu. Tapi kondisinya saat ini harga minyak tinggi dan dolar terus menguat.
"Kan kalau kebutuhan BBM sudah pasti angkanya. Sebetulnya kalau kita lihat data BPS, masalahnya itu bukan pada volume impor, jumlah pembeliannya kan sama, tapi nilainya tinggi karena dolar menguat. Jadi sudah pantaslah kalau perusahaan negara diatur negara," jelas Adiatma, Kamis (25/10/2018).
"Pembelian dolarnya dilakukan dan dikelola melalui perbankan BUMN, sumbernya dari Bank Indonesia (BI). Ini prosesnya sudah berlangsung lama, sudah dari 2001 kalau tidak salah," ujar Adiatma.
Lebih lanjut, Adiatma mengatakan, prinsipnya dalam memperoleh valas semua sudah diatur pemerintah, pembeliannya pun untuk negara, diatur oleh Menteri Keuangan dan BI, operasionalnya oleh perbankan BUMN.
Saat harga minyak turun ke level US$30-US$40 per barel seperti beberapa tahun lalu mungkin tidak terasa, tapi saat harga minyak merangkak ke level US$70 barel ke atas, beban untuk Pertamina dan negara makin terasa berat.
Apalagi, rencana PT Pertamina (Persero) untuk terbitkan obligasi global atau global bond pada tahun ini diundur, namun belum dipastikan diundur sampai kapan. Padahal, obligasi global ini diterbitkan untuk menunjang kinerja keuangan perusahaan.
Lembaga pemeringkat Moody's Investor Service menulis bahwa Pertamina diperkirakan akan mengajukan surat utang global senilai US$ 10 miliar. Dana obligasi ini perinciannya senilai US$ 1 miliar akan digunakan untuk pembayaran utang perusahaan dengan bunga 5,25% yang jatuh tempo pada 2021.
Dana itu juga akan digunakan untuk pelunasan utang US$ 1,25 miliar yang jatuh tempo pada 2022 dengan bunga 4,875%.
Sementara sisanya, akan digunakan untuk belanja modal dan kepentingan umum perusahaan lainnya.
[Gambas:Video CNBC]
(roy/roy) Next Article Yah Pak Ahok, Link Pengadaan BBM Pertamina Masih Error Nih..
Pengamat ekonomi Universitas Indonesia (UI) Telisa Aulia mengatakan, kebutuhan valas BUMN yang terbesar biasanya salah satunya berasal dari PT Pertamina (Persero).
"Kalau kita lihat kemarin, 16% impor itu kan berasal dari komponen migas. Sehingga bisa dibilang memang kebutuhan dolar Pertamina terbesar, makanya kemarin kan impornya ingin ditekan salah satu upayanya dengan kebijakan B20," terang Telisa kepada CNBC Indonesia ketika dihubungi Jumat (26/10/2018).
"Dengan nilai tukar dolar naik, membuat kebutuhan dolar menjadi cukup banyak, sehingga ada ketakutan kalau stok dolar tidak cukup. Sehingga panik minta dolar banyak," tambah Telisa.
Untuk itu, lanjutnya, ada instruksi dari pemerintah untuk mengontrol permintaan valas. Sebenarnya, tutur Telisa, pengawasan ini sudah dilakukan sejak dulu. Namun, dengan kondisi seperti saat ini, ada kemungkinan pengawasan dan kontrol lebih diperketat, yang tadinya setiap beberapa bulan sekali, menjadi setiap hari.
"Sebetulnya Bank Indonesia (BI) sudah lakukan konsolidasi untuk permintaan valas sejak dulu, tapi saat itu kondisinya belum turbulence seperti sekarang, jadi dilakukannya bulanan. Nah sekarang, sepertinya setiap hari BUMN dipantau, dan mesti melakukan pelaporan," pungkas Telisa.
Adapun, mantan petinggi di Pertamina buka-bukaan kepada CNBC Indonesia, saat berbincang pada Kamis (25/10/2018). Menurutnya, kebutuhan dolar BUMN migas itu dalam sehari bisa mencapai US$100 juta atau setara Rp 1,5 triliun. "Itu dengan harga minyak masih US$ 50 per barel, kalau sekarang sudah US$ 76 per barel pasti lebih tinggi lagi. Luar biasa memang," ujarnya.
Sebenarnya apa yang membuat Pertamina harus memiliki dolar segitu banyaknya?
Apalagi kalau bukan untuk impor minyak dan BBM yang tinggi. Indonesia menjadi net importir sejak 2002, artinya impor lebih banyak ketimbang produksi. Lalu, defisit migas sebenarnya sudah terjadi sejak 2008. Angka defisit ini terus membengkak sejak 2012 sampai sekarang.
Dengan rata-rata produksi di kisaran 750 ribu barel per hari dan konsumsi mencapai 1,5 juta - 1,6 juta barel per hari, separuh dari kebutuhan minyak RI didatangkan dari luar negeri. Angka ini bisa lebih besar jika tiba-tiba kilang tua yang dimiliki RI mati mendadak.
Berdasarkan data Pertamina yang dipaparkan dalam rapat bersama komisi VII DPR RI September lalu, direksi Pertamina memaparkan perusahaan migas pelat merah tersebut mengimpor BBM sebanyak 393 ribu barel per hari. Angka itu naik dibanding tahun lalu yang rata-rata hanya 370 ribu barel per hari.
Selain BBM, terdapat juga impor minyak mentah sebanyak 351 ribu barel per hari, turun dibanding tahun sebelumnya yang mencapai 361 ribu barel. Artinya RI rata-rata impor sekitar 700 ribu barel minyak per hari.
VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero) Adiatma Sardjito memaparkan sebenarnya dari sisi volume, impor BBM masih sama seperti tahun lalu. Tapi kondisinya saat ini harga minyak tinggi dan dolar terus menguat.
"Kan kalau kebutuhan BBM sudah pasti angkanya. Sebetulnya kalau kita lihat data BPS, masalahnya itu bukan pada volume impor, jumlah pembeliannya kan sama, tapi nilainya tinggi karena dolar menguat. Jadi sudah pantaslah kalau perusahaan negara diatur negara," jelas Adiatma, Kamis (25/10/2018).
"Pembelian dolarnya dilakukan dan dikelola melalui perbankan BUMN, sumbernya dari Bank Indonesia (BI). Ini prosesnya sudah berlangsung lama, sudah dari 2001 kalau tidak salah," ujar Adiatma.
Lebih lanjut, Adiatma mengatakan, prinsipnya dalam memperoleh valas semua sudah diatur pemerintah, pembeliannya pun untuk negara, diatur oleh Menteri Keuangan dan BI, operasionalnya oleh perbankan BUMN.
Saat harga minyak turun ke level US$30-US$40 per barel seperti beberapa tahun lalu mungkin tidak terasa, tapi saat harga minyak merangkak ke level US$70 barel ke atas, beban untuk Pertamina dan negara makin terasa berat.
Apalagi, rencana PT Pertamina (Persero) untuk terbitkan obligasi global atau global bond pada tahun ini diundur, namun belum dipastikan diundur sampai kapan. Padahal, obligasi global ini diterbitkan untuk menunjang kinerja keuangan perusahaan.
![]() |
Lembaga pemeringkat Moody's Investor Service menulis bahwa Pertamina diperkirakan akan mengajukan surat utang global senilai US$ 10 miliar. Dana obligasi ini perinciannya senilai US$ 1 miliar akan digunakan untuk pembayaran utang perusahaan dengan bunga 5,25% yang jatuh tempo pada 2021.
Dana itu juga akan digunakan untuk pelunasan utang US$ 1,25 miliar yang jatuh tempo pada 2022 dengan bunga 4,875%.
Sementara sisanya, akan digunakan untuk belanja modal dan kepentingan umum perusahaan lainnya.
[Gambas:Video CNBC]
(roy/roy) Next Article Yah Pak Ahok, Link Pengadaan BBM Pertamina Masih Error Nih..
Most Popular