
Surplus Menipis, Harga Beras Bakal Naik di Awal 2019?
Samuel Pablo, CNBC Indonesia
29 October 2018 08:46

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) pada pekan lalu baru saja merilis data produksi beras sepanjang 2018. Hasilnya, hingga akhir tahun produksi beras dalam negeri RI berpotensi surplus 2,85 juta ton.
Pengamat pertanian sekaligus guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa mengatakan mayoritas dari surplus akumulatif ini sebenarnya berasal dari surplus bulanan yang mencapai puncaknya pada panen raya di Maret dan April lalu, yang total mencapai 4,7 juta ton.
Setelah itu, neraca surplusnya kembali kecil dan memasuki Oktober mulai kembali minus. Data BPS sendiri menunjukkan pada periode Oktober-Desember tahun ini, RI akan mengalami defisit masing-masing -0,99 juta ton, -1,23 juta ton, dan - 1,29 juta ton.
Untuk itu, perlu diamati dengan cermat berapa hasil dari surplus terbesar di periode Maret-April lalu yang hingga nanti akan menjadi stok akhir tahun (ending stock).
"Perkiraan amat sangat optimis dari saya, ending stock produksi dalam negeri 2018 ini maksimum hanya 2 juta ton dari surplus 2,85 juta ton tadi. Ini karena akan banyak beras yang afkir dan rusak, apalagi puncaknya di Maret-April," ujar Andreas kepada CNBC Indonesia, Minggu (28/10/2018) malam.
Panen pertama itu biasanya kualitas gabahnya relatif rendah sehingga berasnya juga cepat rusak. Ini yang seharusnya menjadi catatan khusus kita."
Lebih lanjut, Andreas memperkirakan total impor beras pada tahun ini akan mencapai 2,1 juta ton, terdiri atas realisasi penugasan Bulog sebesar 1,8 juta ton dan impor beras yang dilakukan swasta sekitar 300 ribu ton.
"Dengan demikian, total ending stock 2018 hasil produksi dalam negeri dan impor sekitar 4,1 juta ton. Perhitungan ini pun perhitungan paling optimis. Nah, 4,1 juta ton ini akan menjadi stok awal di 2019," tambahnya.
Kendati demikian, Andreas mengingatkan bahwa di awal tahun nanti, produksi beras dalam negeri akan mengalami paceklik karena musim hujan dan musim tanam yang bergeser, setidaknya pada dua bulan pertama, Januari dan Februari.
Dengan rata-rata konsumsi beras mencapai 2,5 juta ton per bulan, maka stok awal 4,1 juta ton tersebut dipastikan tidak akan mencukupi kebutuhan dalam dua bulan pertama di 2019.
"Konsumsi bulanannya kan 2,5 juta ton, sehingga kebutuhan di Januari dan Februari sekitar 5 juta ton. Dengan stok awal tadi hanya 4,1 juta ton ya itu yang perlu kita waspadai. Sesungguhnya stok awal tersebut tidak mencukupi," jelasnya.
Lantas apakah pemerintah perlu kembali mengambil kebijakan impor?
Menurut Andreas, kebijakan pemerintah nantinya akan sangat tergantung pada kenaikan harga di lapangan. Pemerintah perlu sangat mencermati kenaikan harga yang terjadi di bulan Januari nanti.
"Kalau kenaikannya terlalu tinggi, misalnya dalam seminggu harga naik 10%, maka pemerintah harus betul-betul waspada. Untuk saat ini, saya rasa pemerintah memiliki amunisi yg memadai untuk mengendalikan harga, dengan stok yang ada di tangan pemerintah sekitar hampir 2 juta ton," katanya.
Dari kajian BPS, disebutkan bahwa rumah tangga produksi, dalam hal ini petani akan menyimpan sekitar 44% dari total surplus beras kumulatif di tahun ini.
Namun demikian, Andreas memperkirakan volume beras yang disimpan oleh petani ini akan habis di bulan November. Pasalnya, saat musim hujan sudah dimulai dan petani memasuki masa tanam, biasanya mereka akan menjual simpanan berasnya untuk membiayai masa tanam.
Dengan demikian, stok beras terbesar akan beralih ke penggilingan dan pedagang. Kalau pun masih ada stok tersisa di petani, itu pun betul-betul hanya untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri.
"Itu yang akan terjadi nanti ke depan. Secara otomatis, kalau terjadi kenaikan harga yang sangat tinggi, petani juga dirugikan karena dia sudah tidak lagi memegang barang. Mereka akan jadi nett consumer sampai sekitar panen nanti [di bulan Maret]," kata Andreas memperingatkan.
(roy/roy) Next Article Ombudsman Turun Tangan, Ada Tak Beres Rencana Impor Beras!
Pengamat pertanian sekaligus guru besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa mengatakan mayoritas dari surplus akumulatif ini sebenarnya berasal dari surplus bulanan yang mencapai puncaknya pada panen raya di Maret dan April lalu, yang total mencapai 4,7 juta ton.
Setelah itu, neraca surplusnya kembali kecil dan memasuki Oktober mulai kembali minus. Data BPS sendiri menunjukkan pada periode Oktober-Desember tahun ini, RI akan mengalami defisit masing-masing -0,99 juta ton, -1,23 juta ton, dan - 1,29 juta ton.
Panen pertama itu biasanya kualitas gabahnya relatif rendah sehingga berasnya juga cepat rusak. Ini yang seharusnya menjadi catatan khusus kita."
Lebih lanjut, Andreas memperkirakan total impor beras pada tahun ini akan mencapai 2,1 juta ton, terdiri atas realisasi penugasan Bulog sebesar 1,8 juta ton dan impor beras yang dilakukan swasta sekitar 300 ribu ton.
"Dengan demikian, total ending stock 2018 hasil produksi dalam negeri dan impor sekitar 4,1 juta ton. Perhitungan ini pun perhitungan paling optimis. Nah, 4,1 juta ton ini akan menjadi stok awal di 2019," tambahnya.
Kendati demikian, Andreas mengingatkan bahwa di awal tahun nanti, produksi beras dalam negeri akan mengalami paceklik karena musim hujan dan musim tanam yang bergeser, setidaknya pada dua bulan pertama, Januari dan Februari.
Dengan rata-rata konsumsi beras mencapai 2,5 juta ton per bulan, maka stok awal 4,1 juta ton tersebut dipastikan tidak akan mencukupi kebutuhan dalam dua bulan pertama di 2019.
"Konsumsi bulanannya kan 2,5 juta ton, sehingga kebutuhan di Januari dan Februari sekitar 5 juta ton. Dengan stok awal tadi hanya 4,1 juta ton ya itu yang perlu kita waspadai. Sesungguhnya stok awal tersebut tidak mencukupi," jelasnya.
Lantas apakah pemerintah perlu kembali mengambil kebijakan impor?
Menurut Andreas, kebijakan pemerintah nantinya akan sangat tergantung pada kenaikan harga di lapangan. Pemerintah perlu sangat mencermati kenaikan harga yang terjadi di bulan Januari nanti.
"Kalau kenaikannya terlalu tinggi, misalnya dalam seminggu harga naik 10%, maka pemerintah harus betul-betul waspada. Untuk saat ini, saya rasa pemerintah memiliki amunisi yg memadai untuk mengendalikan harga, dengan stok yang ada di tangan pemerintah sekitar hampir 2 juta ton," katanya.
![]() |
Dari kajian BPS, disebutkan bahwa rumah tangga produksi, dalam hal ini petani akan menyimpan sekitar 44% dari total surplus beras kumulatif di tahun ini.
Namun demikian, Andreas memperkirakan volume beras yang disimpan oleh petani ini akan habis di bulan November. Pasalnya, saat musim hujan sudah dimulai dan petani memasuki masa tanam, biasanya mereka akan menjual simpanan berasnya untuk membiayai masa tanam.
Dengan demikian, stok beras terbesar akan beralih ke penggilingan dan pedagang. Kalau pun masih ada stok tersisa di petani, itu pun betul-betul hanya untuk mencukupi kebutuhan mereka sendiri.
"Itu yang akan terjadi nanti ke depan. Secara otomatis, kalau terjadi kenaikan harga yang sangat tinggi, petani juga dirugikan karena dia sudah tidak lagi memegang barang. Mereka akan jadi nett consumer sampai sekitar panen nanti [di bulan Maret]," kata Andreas memperingatkan.
(roy/roy) Next Article Ombudsman Turun Tangan, Ada Tak Beres Rencana Impor Beras!
Most Popular