Harga Beras Capai Level Baru di Rp 11.700/Kg, HET Sia-Sia?

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
25 October 2018 18:17
Apabila ditelusuri, sejak Permendag 57/2017 berlaku, belum sekalipun harga beras di pasar berada di bawah atau sama dengan HET.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC IndonesiaMelalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 57 Tahun 2017 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Beras, pemerintah telah menetapkan Harga Eceran Tertinggi (HET) Beras berdasarkan wilayah penjualan dan kualitas beras. Ketetapan ini ditandatangani Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita pada 24 Agustus 2017.

Di wilayah Jawa, Lampung, dan Sumatera Selatan, HET untuk beras kualitas medium dipatok sebesar Rp 9.450/kg, sementara beras premium sebesar Rp 12.800/kg. Paling mahal, HET ditetapkan sebesar Rp 10.250/kg untuk beras medium, untuk di wilayah Maluku dan Papua.



Kebijakan pembatasan harga beras sebenarnya memang wajar dilakukan, mengingat beras merupakan bahan pangan utama dan komoditas strategis. Harga beras yang terlalu tinggi tentunya akan menekan daya beli masyarakat, dan ujung-ujungnya menimbulkan ketidakstabilan ekonomi dan politik.

Namun, apabila ditelusuri, sejak peraturan ini berlaku, belum sekalipun harga beras di pasar berada di bawah atau di level yang sama dengan HET.

Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa sejak September 2017, belum pernah harga beras medium kualitas I (secara nasional) berada di bawah level Rp 9.450/kg. Bahkan di bawah level Rp 10.000/kg saja belum pernah.

Pasca peraturan HET terbit, harga beras malah cenderung melambung tak terkendali. Dari semula di berada di kisaran Rp 11.300/kg di September 2018, hingga menembus angka Rp 12.250/kg pada Februari 2018.



Barulah memasuki bulan Mei 2018, volatilitas harga beras mulai terhenti. Harga beras pun bergerak stabil di sekitar level Rp 11.700-11.800/kg, seolah menemukan keseimbangan barunya. Hal ini nampaknya tak lepas dari masuknya 1 juta ton beras impor.

Hingga tanggal 24 Oktober 2018, harga beras pun tercatat di level Rp 11.750/kg. Nilai itu masih berada di dalam rentang keseimbangan yang disebutkan di atas. Artinya, hampir 6 bulan beturut-turut sudah, harga beras mampu bergerak stabil.

Akan tetapi, perlu diperhatikan bahwa harga keseimbangan itu masih berada jauh di atas level HET yang ditetapkan pemerintah. Sehingga, HET pun perlu dipertanyakan kegunaannya. Pada akhirnya, mekanisme pasarlah yang menang. Harga beras akan bergerak berdasarkan mekanisme suplai-permintaan di pasar.

Malah, sebenarnya HET bisa membuat situasi lebih rumit. Apabila dikaji dengan analisis suplai-permintaan, saat pemerintah menetapkan price ceiling untuk harga beras, maka akan memicu kelangkaan beras di pasar. Jumlah yang diminta akan lebih besar daripada jumlah yang ditawarkan.

Misalnya, dengan harga HET, jumlah yang mau dibeli konsumen adalah 20 kg, sementara yang mampu dijual produsen hanyalah 10 kg. Kekurangan ini lantas menimbulkan kondisi kelangkaan (shortage) di lapangan.

Dampak yang terjadi adalah pemerintah harus menyediakan beras dalam jumlah yang lebih banyak sesuai dengan jumlah permintaan konsumen, dengan cara penambahan barang melalui program subsidi, pengurangan pajak, atau bahkan impor beras.

Atau, skenario lainnya, apabila produsen beras medium merasa tidak untung karena HET dianggap terlalu rendah, bisa jadi mereka beralih ke pengolahan beras premium. Karena harga beras premium lebih mahal, mereka berharap mendapat cuan. Hal ini membuat pasokan beras medium semakin langka.

Kini menjadi wajar bahwa mengapa setelah kebijakan HET diketuk, harga beras medium malah melambung tinggi, hingga terpaksa pemerintah memutuskan untuk membuka keran impor beras lebar-lebar.

Kesimpulannya, HET malah berpotensi merusak tatanan pasar yang ada, dibandingkan melindungi daya beli masyarakat. Dibandingkan berkutat pada masalah HET yang sejatinya juga sia-sia sejauh ini, pemerintah lebih baik berfokus pada instrumen lain untuk mengendalikan harga beras.

Jika tidak mau terus tergantung pada beras impor, Tim Riset CNBC Indonesia berharap bahwa pemerintah mula-mula dapat berfokus pada pembenahan rantai distribusi beras yang panjang. Jarak yang terlalu panjang antara konsumen dan produsen sebaiknya dapat dipangkas, sehingga biaya pun dapat ditekan. Saat harga produksi turun, diharapkan harga jual di konsumen pun akan terjaga.

(TIM RISET CNBC INDONESIA) 

(RHG/ray) Next Article Awas Impor! Harga Beras Kompak Naik di Agustus

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular