Sering Jadi Polemik, Ini 3 Faedah Jika Harga BBM Naik

Gustidha Budiartie & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
17 October 2018 21:10
Penyesuaian Harga BBM = Selamatkan CAD dan Rupiah
Foto: Ilustrasi Pengisian BBM Pertamina (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Penyesuaian harga BBM sejatinya memang dibutuhkan karena harga harga minyak mentah dunia yang terus merangkak naik, di mana saat ini sudah menembus US$ 80/barel.

Terlebih, nilai tukar rupiah juga melemah makin dalam. Sepanjang tahun ini, mata uang tanah air sudah terdepresiasi di kisaran 11% terhadap dolar AS. Bahkan, beberapa waktu terakhir, 1 US$ sempat dibanderol Rp 15.250 di pasar spot, atau merupakan yang terlemah sepanjang sejarah. Akibatnya, beban importase si emas hitam pun makin tinggi.



Efek samping dari jebolnya defisit perdagangan migas adalah melebarnya defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). Pada kuartal II-2018, CAD melebar menjadi 3,04% dari Produk Domestik Bruto (PDB), merupakan yang terparah sejak tahun 2014.

Hal ini membuat rupiah kekurangan modal untuk menguat. Sebab devisa dari portofolio di pasar keuangan juga minim karena hot money terkonsentrasi ke Amerika Serikat (AS) akibat kenaikan suku bunga acuan. Hasilnya adalah rupiah melemah di kisaran 10% di hadapan dolar AS sejak awal tahun.

Dengan kenaikan harga premium, maka diharapkan konsumsi premium bisa turun karena masyarakat berhemat. Saat konsumsi turun, maka impor bisa ditekan sehingga transaksi berjalan pun tidak terlalu berdarah-darah. Rupiah pun bisa lebih stabil.

Apabila diperhatikan secara historis, kenaikan harga BBM Premium di tahun 2013 memang tidak serta-merta menyebabkan impor migas menurun. Pasalnya, saat itu BBM Premium menjadi satu-satunya jenis BBM yang terjangkau oleh masyarakat. Artinya sifatnya cenderung inelastis. Walaupun harganya naik, masyarakat akan tetap membelinya, mirip seperti komoditas beras.

Namun, sejak 2015 pemerintah sudah menyediakan barang substitusi bernama BBM jenis Pertalite yang harganya kini dibanderol sebesar Rp 7.800/liter. Selisihnya sekitar Rp 1.250/liter dengan BBM jenis premium.

Disparitas itu sebenarnya relatif kecil, apabila dibandingkan selisih harga BBM jenis Premium-Pertamax yang saat ini nyaris mencapai Rp4.000/liter. Artinya, sifat inelastis BBM Premium berkurang. Saat harga BBM Premium dinaikkan, maka pengurangan konsumsi akan lebih signifikan dibandingkan dengan tahun 2013.

Utamanya adalah konsumsi BBM Premium, yang impornya pun menyusahkan. Sudah langka negara yang bisa produksi RON 88 ini, dengan konsumsi yang tinggi dan kilang yang tak mampu produksi. Bensin satu ini harus diimpor langsung dalam bentuk BBM, harganya lebih mahal ketimbang beli crude/minyak mentah. Bahkan, dikabarkan harga bensin Premium ini bisa setara dengan Pertamax jika dihitung ongkos mengolahnya. 

Tapi, jika pemerintah tetap ngotot mengguyur BBM Premium yang murah, apalagi ke Jawa-Madura-Bali, derasnya laju konsumsi BBM (dan impor migas) akan semakin tidak tertahan. Cita-cita menyelamatkan rupiah mungkin hanya tinggal impian.

Sementara, dari sisi APBN, pengamat ekonomi dari Universitas Indonesia (UI), Fithra Faisal Hastiadi, menuturkan pemangkasan subsidi BBM juga akan menjadi solusi yang efektif, khususnya BBM bersubsidi seperti solar.

"Solusi inilah (pemangkasan subsidi BBM) yang bisa menekan defisit neraca migas yang pada gilirannya bisa meredakan tekanan pada neraca semasa, berikut rupiah yang bisa lebih panjang nafasnya," ujar Fithra.

Ia pun melakukan simulasi perhitungan jika dilakukan pemangkasan subsidi BBM. Kontraksi output, dengan skenario pengurangan subsidi BBM sebesar 10%, maksimal hanya akan menyentuh 0,042% atau setara dengan Rp 11 triliun. Sementara itu, pendapatan masyarakat hanya akan berkurang 0,05% atau setara Rp1 triliun.

Untuk inflasi pun, memang akan meningkat, tetapi tidak terlalu besar peningkatannya. Berdasarkan beberapa hitungan, apabila subsidi dipotong 10% berarti ada kenaikan harga 10%, inflasinya kurang lebih bisa meningkat 0,4%. Memang, kalau dibandingkan dengan year-to-date akan signifikan kenaikannya, tetapi masih ada dalam rentang skenario inflasi pemerintah.

"Melihat dampaknya yang minimal dan tingkat efektivitasnya yang tinggi, maka usaha ini harus dilakukan," tandas Fithra.  
(NEXT)


(RHG/gus)
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular