Kerap Bikin Pusing, Ini 3 Alasan RI Harus Hapus BBM Premium!

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
12 October 2018 18:51
Kerap Bikin Pusing, Ini 3 Alasan RI Harus Hapus BBM Premium!
Foto: dok. ESDM
Jakarta, CNBC IndonesiaDrama kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Premium menjadi topik hangat sejak kemarin. Dalam jeda satu jam kebijakan sepenting menaikkan harga BBM, tiba-tiba diumumkan dibatalkan.

Pengumuman batal naiknya harga BBM Premium disampaikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

[Gambas:Video CNBC]

"Sesuai arahan bapak Presiden rencana kenaikan harga premium di Jamali menjadi Rp 7.000 dan di luar Jamali menjadi Rp 6.900, secepatnya pukul 18.00 hari ini, agar ditunda dan dibahas ulang sambil menunggu kesiapan PT Pertamina," ujar Menteri ESDM Ignasius Jonan dalam keterangan tertulisnya, Kamis (10/10/2018).



Sebelumnya, di lobi hotel Sofitel Bali Menteri Jonan mengumumkan rencana menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium, dari Rp 6.550 per liter jadi Rp 7.000 per liter.

Gamangnya pemerintah lantas kembali menunjukkan bahwa hubungan Pemerintah-Premium layaknya dua pasangan muda-mudi yang labil. Inginnya sih putus gara-gara tidak cocok lagi, tapi apa daya kenyataannya masih sayang.

Di saat kebutuhan mengurangi konsumsi BBM makin menuntut (akibat makin parahnya defisit transaksi berjalan dan depresiasi rupiah), pemerintah malah galau menaikkan harga Premium gara-gara "masih sayang".

Bahkan, pada April 2018 ini, Presiden Joko Widodo (Jokowi) membuka kembali pasokan Premium ke Jawa-Madura-Bali (Jamali), setelah sejak awal kepemimpinannya tegas hanya menyalurkan BBM jenis ini ke luar Jamali.

Kerap Bikin Pusing, Ini 3 Alasan RI Harus Hapus BBM Premium!Foto: Infografis/Harga Premium/Edward Ricardo


Seharusnya pemerintah perlu ingat bahwa wacana penghapusan BBM jenis Premium sempat mencuat belum lama ini. Berbagai alasan dikemukakan, yang pada intinya Premium memang sudah tidak pantas lagi ada di tanah air.

Oleh karena itu, daripada galau berkepanjangan perihal menaikkan harga Premium atau tidak, pemerintah sebaiknya kembali mengenang semangat penghapusan Premium tersebut. Sudah tiba saatnya RI naik kelas dari bangsa yang "kecanduan" Premium.

Dalam tulisan ini, Tim Riset CNBC Indonesia memaparkan setidaknya tiga alasan utama mengapa BBM jenis Premium layak untuk dihapuskan.

(NEXT)
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) telah mengeluarkan Peraturan Menteri (Permen) LHK Nomor 20 Tahun 2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M,N, dan O, yang mengatur pemberlakukan standar emisi Euro 4 di Indonesia.

Peraturan itu ditetapkan berlaku untuk kendaraan berbahan bakar bensin pada September 2018, dan khusus untuk kendaraan berbahan bakar diesel diberlakukan pada awal 2021. Ketentuan tersebut berlaku baik bagi kendaraan angkutan ringan/kendaraan penumpang kecil (light duty vehicle) dan kendaraan angkutan berat/kendaraan besar (heavy duty vehicle).

Seperti diketahui, selama ini Indonesia masih mengadopsi standar Euro 2 sejak tahun 2005 lalu, yang berarti sudah sekitar 13 tahun Indonesia "setia"menggunakan standar yang rendah untuk emisi. Sebagai perbandingan, negara-negara maju di dunia saat ini sudah mengadopsi standar yang jauh lebih tinggi, bahkan dibandingkan dengan Euro 4 sekalipun.

Seperti contoh, negara-negara Uni Eropa saat ini telah mengadopsi standar Euro 6 yang berlaku untuk penjualan mobil baru dan mobil ringan komersial sejak September 2015.

Sebagai informasi, Euro adalah penamaan standarisasi emisi gas buang kendaraan yang digunakan untuk mengurangi polusi udara dari gas hasil pembuangan mesin kendaraan. Semakin tinggi standar Euro, maka semakin kecil kadar bahan pencemar atau pengurangan polusi udara yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor.



Di Asia, Jepang telah menerapkan "Post New Long-Term Emission Standards" sejak 2010, yang berlaku bagi seluruh kendaraan angkutan ringan. Standar tersebut setara dengan batasan yang ditetapkan pada Euro 6.

Serupa dengan Negeri Sakura, Korea Selatan juga telah mengadopsi standar California's Non-Methane Organic Gases (NMOG) yang setara dengan Euro 6 untuk kendaraan berbahan bakar bensin, sejak 2009.

Dari benua Amerika, Amerika Serikat (AS) saat ini mulai mengadopsi standar US Tier 3 dari 2017-2025, yang berlaku untuk kendaraan hingga 14.000 lbs gross vehicle weight, atau untuk jenis kendaraan angkutan ringan. Sebagai catatan, standar US Tier 3 bahkan memiliki batasan yang lebih ketat dibandingkan Euro 6.

Bagaimana dengan negara Asia berkembang, termasuk negara-negara di Asia Tenggara? Saat ini China mengadopsi standar China 5, atau setara dengan Euro 5, dimana berlaku bagi kendaraan baru berbahan bakar bensin sejak Januari 2017. Sedangkan, untuk diesel baru efektif per Januari 2018.

Sebagai tambahan, Negeri Tirai Bambu akan mengadopsi standar baru bernama China 6 per Juli 2020. Standar baru tersebut akan menggabungkan komponen Euro 6 dan regulasi US Tier 2.

Dari Asia Selatan, India juga menerapkan standar Bharat IV (setara dengan Euro 4), yang berlaku untuk seluruh kendaraan angkutan ringan baru per April 2017. Seperti China, India juga menargetkan penerapan standar Bharat VI (setara dengan Euro IV) pada seluruh jenis kendaraaan baru pada April 2020.

Negara-negara tetangga pun ternyata sudah meninggalkan Indonesia. Vietnam telah lebih dulu mengadopsi Euro 4 sejak 1 Januari 2017 untuk kendaraan angkutan ringannya. Senada dengan Vietnam, Thailand juga menerapkan Euro 4 untuk kendaraan angkutan ringan, sementara untuk kendaraan angkutan beratnya masih mengunakan standar Euro 3.

Singapura, yang menjadi negara paling maju di kawasan ASEAN, bahkan telah mengadopsi Euro 6 sejak September 2017.

Melihat ulasan di atas, dapat dilihat bahwa Indonesia memang sudah cukup jauh tertinggal dari penerapan regulasi emisi kendaraan bermotor dunia. Standar Euro 4 yang akan diterapkan minimal akan membuat RI sejajar dengan negara-negara tetangga, sekaligus akan mengurangi intensitas polusi udara.

Sayangnya, sejauh ini Pertamina belum memiliki BBM yang memenuhi kapasitas Euro IV yang ditetapkan Kementerian LHK, bahkan untuk sekelas Pertamax dan Pertamax Plus. Kedua jenis BBM itu memang memiliki Research Octane Number (RON) minimal 92 (sesuai yang disyaratkan KLHK), namun kandungan sulfurnya masih di atas 300 part per million (ppm). Padahal, standar KLHK maksimal hanya 50 ppm.

Nah, jika BBM sekelas Pertamax dan Pertamax Plus saja belum memenuhi standar Euro IV, lalu apa kabar Premium? Dengan kualitas RON 88, dan dengan kandungan sulfur bisa mencapai 500 ppm, Premium memang sudah amat tidak layak pakai. Konon ada yang mengatakan bahwa standar Euro 1 saja sebenarnya tidak bisa dipenuhi oleh Premium.

PT Pertamina (Persero) sebagai pemasok utama BBM dikabarkan telah mempersiapkan kilang-kilangnya untuk bisa menghasilkan BBM dengan standar Euro IV. Salah satunya pengembangan Refinery Unit V Balikpapan dengan investasi Rp 7 triliun. Selain itu, akhir tahun ini Kilang Cilacap juga ditarget selesai dikembangkan dan dapat menghasilkan BBM berstandar Euro 4 dengan kapasitas sekitar 300 ribu barel/hari.

Jika kilang-kilang di tanah air sudah siap memasok BBM yang memenuhi standar Euro IV, nampaknya sudah tidak ada alasan lagi menggunakan BBM Premium. (NEXT)

Konsumsi BBM jenis Premium terus menurun dalam beberapa tahun terakhir. Merujuk pada data Pertamina yang diterima oleh CNBC Indonesia, penyaluran BBM jenis Premium diestimasikan hanya tinggal 10,5 juta Kiloliter (KL) hingga akhir tahun 2018. Jumlah turun sekitar 15% dari realisasi tahun 2017 yang sebesar 12,3 juta KL.


Apabila dibandingkan dengan realisasi tahun 2015 yang sebesar 27,6 juta KL, estimasi penyaluran Premium di tahun ini bahkan anjlok hingga 62%. Penurunan yang amat signifikan sebenarnya, hanya dalam waktu 3 tahun.  

Penurunan konsumsi bisa dipandang dari dua sisi. Berkurangnya pasokan atau menurunnya permintaan. Untuk kasus BBM Premium, nampaknya menipisnya konsumsi diakibatkan oleh semakin seretnya pasokan. Hal ini tidak lepas dari kebijakan pencabutan subsidi sekaligus mandat penyaluran Premium hanya ke luar Jamali, sejak awal 2015 lalu.

Pada tahun ini, saat Jokowi kembali membuka keran pasokan BBM Premium ke Jamali, sepertinya juga tidak serta merta menambah volume penyaluran Premium nasional. Buktinya, penyaluran Premium malah diestimasikan Pertamina mengalami penurunan di tahun 2018, dibandingkan tahun sebelumnya.

Artinya, meski Jokowi sudah memandatkan Premium mesti dipasok lagi ke Jamali, sejatinya hingga kini pemerintah sudah cenderung tidak lagi memasok Premium dalam jumlah besar-besaran (bahkan untuk Jamali).

Jika diperhatikan lebih lanjut, peningkatan konsumsi BBM jenis lainnya justru lebih signifikan. Pada tahun 2018, penyaluran BBM Perta Series diestimasikan mencapai 22,6 juta kiloliter, atau naik 10,24% secara tahunan (year-on-year/YoY). Dibandingkan dengan tahun 2015, kenaikannya bahkan mencapai 679%.

Dengan kata lain, sebenarnya masyarakat (khususnya di Jamali) sudah memiliki tendensi untuk beralih ke BBM jenis Perta Series. Hal ini menjadi mungkin saat tersedianya BBM jenis Pertalite sejak tahun 2015. Kini selisih harga Premium-Pertalite berada di kisaran Rp 1.250/liter.

Disparitas itu sebenarnya relatif kecil, apabila dibandingkan selisih harga BBM jenis Premium-Pertamax yang nyaris mencapai Rp3.000/liter hari ini. Artinya, masyarakat sebenarnya sudah disediakan kompensasi dari pencabutan pasokan BBM jenis Premium di Jamali.

Ikhtiar baik dari masyarakat untuk berpindah dari Premium ke Perta Series seharusnya didukung penuh oleh pemerintah, misalnya dengan penghapusan Premium sama sekali. Bukannya malah membuka lagi keran pasokan Premium ke Jamali. (NEXT)
Komite Penghapusan Bensin Bertimbel (KPBB) pernah menyampaikan bahwa kualitas BBM sebenarnya bisa segera ditingkatkan tanpa perlu mengkhawatirkan potensi kenaikan harga.

Kajian KPBB menyebutkan harga BBM di Australia dan Malaysia yang menggunakan formula sama dengan Indonesia masih bisa mendapatkan harga BBM murah. Di Australia, dalam tiga tahun terakhir bensin standar RON 95 dengan kadar sulfur maksimal 10 ppm, berada pada rata-rata harga MOPS Australia $ 0,59 per liter atau setara Rp 6.300 per liter. Bensin tersebut sudah memenuhi standar untuk menggerakkan kendaraan dengan standar Euro 6.

Begitu pula di Malaysia, bensin RON 95 dengan kadar sulfur 50 ppm (memenuhi syarat untuk menggerakkan kendaraan standar Euro 4) harganya dipatok RM 2,13 per liter atau Rp7.780 per liter.

Jelas bahwa harga BBM di kedua negara tetangga ini jauh lebih ekonomis dibandingkan dengan di Indonesia. Bandingkan dengan harga Pertalite yang hanya punya kualitas RON 90 dan kandungan sulfur bisa mencapai 500 ppm, tapi dibanderol seharga Rp 7.800/liter.

KPBB menilai bahwa kunci dari mahalnya harga BBM di tanah air adalah kebijakan fiskal yang harus direformasi. Struktur harga BBM harus bisa dirubah sehingga tidak memberatkan masyarakat. Sudah saatnya Pertamina dan Ditjen Migas Kementerian ESDM untuk menerapkan transparansi kebijakan harga BBM, termasuk spesifikasi dan metode HPP (Harga Pokok Penjualan).

(TIM RISET CNBC INDONESIA)
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular