Harga Minyak Tembus US$ 80/Barel, Bagaimana Nasib Pertamina?

Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
25 September 2018 09:10
Harga minyak naik ke angka tertinggi.
Foto: ist
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak jenis Brent sudah menembus US$ 80 per barel untuk kontrak pengiriman November 2018.

Tekanan juga datang ketika antara negara-negara produsen minyak dunia pada hari Minggu (23/9/2018) memutuskan untuk tidak mengubah suplai ke pasar global meskipun Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump telah menyerukan kenaikan output minyak untuk menurunkan harga.

VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero) mengakui hal ini bisa memengaruhi beban perusahaan. Kendati demikian, ia mengatakan, hal itu diluar kontrol perusahaan, dan masih ada harapan dari harga minyak mentah Indonesia (ICP). Pasalnya, jika harga minyak naik, berarti harga ICP juga naik.

Adapun, di sektor kelistrikan, Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Andy N Sommeng mengakui, harga minyak dunia memang berpengaruh terhadap sektor kelistrikan. Kendati demikian, hal itu diharapkan masih bisa ditutupi oleh subsidi.



"Harga minyak memang berpengaruh, ya kembang kempis juga. Makanya ada subsidi, mudah-mudahan bisa tertutupi. Tapi, minyak itu hanya 0,4% dari energi listrik primer, yang banyak itu batu bara makanya dipatok harganya US$ 70 per ton," ujar Andy kepada media saat dijumpai di Kementerian ESDM, Jakarta, Senin (24/9/2018).

Sebagai informasi, harga minyak mentah jenis Brent di pasar dunia sudah melewati level US$ 80 per barel. Ini merupakan level tertinggi sejak November 2014 lalu.

Harga Brent untuk kontrak November di bursa ICE Futures Europe Senin (24/9) pukul 6.12 AM waktu Eastern Time atau pukul 17.28 WIB telah mencapai US$ 80,67 per barel. Sementara harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) berada di harga US$ 72,13 per barel untuk kontrak pengiriman November mendatang.

Pengamat energi Komaidi Notonegoro menilai, hal ini pada dasarnya sudah bisa diprediksi oleh pemerintah.

"Pemerintah saya rasa pada dasarnya sudah tahu kalau ini akan overquota, tapi sudah memilih untuk tidak ada APBNP, jadi kemungkinan besar akan ditanggung Pertamina, dan akan menambah beban perusahaan," ujar Komaidi kepada CNBC Indonesia saat dihubungi Senin (24/9/2018).

Sehingga, menurutnya, secara ideal, mestinya Pemerintah menambah kuota subsidi di APBN, dan melakukan APBNP. Atau, menaikkan harga BBM.

"Pilihannya cuma dua, naikkan harga BBM atau naikkan kuota subsidi. Sebenarnya, menurut saya, menambah nilai subsidi bukan termasuk opsi, tapi Pemerintah sekarang menempuh itu. Jadi konsekuensinya ya APBN membengkak, atau daya beli masyarakat yang dikurangi dengan menaikkan harga BBM," terangnya.

Hal serupa juga disampaikan oleh anggota Komisi VII DPR fraksi Partai Gerindra Ramson Siagian. Ia mengatakan, APBNP bisa menjadi salah satu solusi supaya bisa menambah subsidi belanja negara dan menambah penerimaan negara dari PNBP migas.

"Kalau harga Premium tetap sekarang, Pertamina akan hadapi persoalan karena lebih dari sekitar 800 ribu barel per hari minyak diimpor. Ini yang menjadi masalah yang dihadapi Pertamina," pungkas Ramson.
(ray) Next Article Setelah Chevron, Giliran Minyak ExxonMobil Dibeli Pertamina

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular