Jonan Ungkap Sebab Tingginya Defisit Dagang Migas
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
17 September 2018 16:43

Jakarta, CNBC Indonesia- Rilis Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut neraca perdagangan kembali defisit untuk Agustus 2018. Penyebab utamanya, lagi-lagi akibat impor migas yang tinggi dan membuat defisit dagang migas semakin melebar.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan minusnya neraca dagang bukan karena faktor kenaikan konsumsi. "Tapi lebih kepada harga," kata Jonan di gedung kementerian, Senin (17/9/2018).
Untuk sisi konsumsi dan produksi, rata-rata produksi minyak RI mencapai 800 ribu barel per hari sementara konsumsi 1,4 juta barel per hari. "Pasti minus," katanya.
Saat ditanya apakah ekspor mineral bisa menambal defisit migas, Jonan menjelaskan saat ini untuk batu bara misalnya ada tambahan kuota 100 juta ton dengan nilai ekspor misalnya US$ 60 per ton, maka potensi tambahan pendapatan RI sebenarnya bisa besar. "Kalau itu terealisasi pasti bisa tutup."
Tetapi, sampai saat ini yang baru ajukan tambaha kuota masih sebanyak 22 juta ton, potensi tambahan pendapatan negara diperkirakan mencapai US$ 1,5 miliar. "Untuk tiga bulan mungkin bisa," katanya.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menambahkan impor yang tinggi bukan untuk BBM subsidi, dan lebih untuk kegiatan produksi. Misal kegiatan pertambangan batu bara yang naik 20% selama 2017-2018, itu artinya juga membutuhkan bahan bakar tinggi untuk menggunakan alat-alat beratnya. "Dia gali pakai apa, volume jadi memang tumbuh tapi sektor lain juga tumbuh. Jadi ini dikonsumsi untuk produksi karena mereka juga tumbuh."
(gus) Next Article B20 Hadir, Neraca Perdagangan Bisa Surplus?
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Ignasius Jonan mengatakan minusnya neraca dagang bukan karena faktor kenaikan konsumsi. "Tapi lebih kepada harga," kata Jonan di gedung kementerian, Senin (17/9/2018).
Saat ditanya apakah ekspor mineral bisa menambal defisit migas, Jonan menjelaskan saat ini untuk batu bara misalnya ada tambahan kuota 100 juta ton dengan nilai ekspor misalnya US$ 60 per ton, maka potensi tambahan pendapatan RI sebenarnya bisa besar. "Kalau itu terealisasi pasti bisa tutup."
Tetapi, sampai saat ini yang baru ajukan tambaha kuota masih sebanyak 22 juta ton, potensi tambahan pendapatan negara diperkirakan mencapai US$ 1,5 miliar. "Untuk tiga bulan mungkin bisa," katanya.
Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar menambahkan impor yang tinggi bukan untuk BBM subsidi, dan lebih untuk kegiatan produksi. Misal kegiatan pertambangan batu bara yang naik 20% selama 2017-2018, itu artinya juga membutuhkan bahan bakar tinggi untuk menggunakan alat-alat beratnya. "Dia gali pakai apa, volume jadi memang tumbuh tapi sektor lain juga tumbuh. Jadi ini dikonsumsi untuk produksi karena mereka juga tumbuh."
(gus) Next Article B20 Hadir, Neraca Perdagangan Bisa Surplus?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular