Sering Blusukan, Sejauh Mana Jokowi Menyejahterakan Desa?

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
14 September 2018 14:44
PR Besar di Kesejahteraan Petani dan Ketimpangan
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Ketiga, perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP). NTP adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani. 

NTP menjadi salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di pedesaan. Semakin tinggi NTP, maka semakin kuat pula tingkat kemampuan atau daya beli petani. Indikator NTP menjadi penting karena mayoritas penduduk desa bekerja di sektor pertanian.

Sayangnya, pertumbuhan NTP cenderung melambat di era pemerintahan Jokowi. Tercatat selama periode 2015-2017, hanya satu kali NTP tumbuh positif secara tahunan, yakni pada tahun 2016. Itupun pertumbuhannya tipis saja, yakni sebesar 0,06% secara tahunan (year-on-year/YoY).

Di tahun sisanya, rapor Jokowi cenderung merah di urusan mensejahterakan petani. Pada tahun 2015, NTP tercatat turun 0,43% YoY, sementara NTP juga terkoreksi sebesar 0,37% YoY pada tahun 2016.

Berita baiknya, pada periode Januari-Agustus 2018, NTP mampu tercatat sebesar 102,13, atau naik 1,6% dibandingkan periode yang sama tahun 2017. Jika hingga akhir tahun prestasi ini dapat dipertahankan, maka rapor merah Jokowi di tahun-tahun sebelumnya bisa “terobati”.


Apabila dilihat secara rinci, PR besar Jokowi di urusan NTP ada di sub-sektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan, yang sejatinya berada di domain Kementerian Pertanian. Di sisi lain, sub-sektor perkebunan rakyat dan perikanan masih menunjukkan pertumbuhan positif dalam 2 tahun terakhir.


Peningkatan dana desa memang tidak bisa secara langsung mendongkrak sektor pertanian di pedesaan. Berdasarkan hasil evaluasi 3 tahun pelaksanaannya, dana desa terbukti menghasilkan 103.405 unit drainase dan 1.338 unit embung, yang terkait erat dengan sektor pertanian. 

Namun, dana desa tidak hanya berfokus di sektor agrikultur, melainkan juga untuk membangun infrastruktur lain secara umum, misalnya jalan desa, jembatan, sambungan air bersih, pendidikan anak usia dini (PAUD), pasar desa, dan Posyandu.

Program pemerintah yang paling nyata bisa mendorong sektor pertanian (khususnya di sub-sektor tanaman pangan dan holtikultura) adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR), subsidi pupuk, dan subsidi benih.

Sayangnya, kebijakan subsidi benih dan pupuk yang awalnya diimplementasikan guna memacu produktivitas pangan nasional malah berjalan kurang efektif dan efisien. Hal itu tercermin dari realisasi subsidi pupuk dan benih yang tidak pernah mencapai target di era Jokowi.

Di tahun 2015, realisasi subsidi benih bahkan hanya mencapai 11,93% dari alokasi di APBN-P 2015. Realisasi terbaik yang bisa dibukukan Jokowi terjadi pada tahun 2017, itupun hanya 59,20%.

Cerita yang sama juga terulang pada subsidi pupuk. Pada 2015, realisasinya hanya 79,33%. Memang pada 2017, realisasinya bisa diperbaiki menjadi 92,58%. Akan tetapi capaian itu masih kalah dari masa sebelum Jokowi berkuasa. Sebagai informasi, realisasi subsidi pupuk mencapai 99,99% pada 2014.



Pada laporan kajian yang dipublikasikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2017, “gagalnya” subsidi pertanian terjadi akibat desain program subsidi belum mampu mengantisipasi atau memberikan solusi atas dinamika permasalahan yang muncul di lapangan.

Pelaksana di tingkat daerah (pemerintah daerah maupun BUMN pelaksana) kerap dituntut secara mandiri menyelesaikan permasalahan yang timbul.

Di sisi lain, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) mengaku penyebab utama kurang efektifnya subsidi pertanian adalah ketidakmampuan pihak yang ditunjuk pemerintah untuk memproduksi dan mendistribusikan benih tepat waktu, sesuai dengan kualitas dan varietas yang dibutuhkan petani.

Kemudian, hanya 21% penerima pupuk bersubsidi berada dalam kategori petani skala kecil. Mereka yang termasuk dalam kategori ini adalah petani yang memiliki lahan seluas 0,25 hektare. Sementara, 60% penerima pupuk bersubsidi adalah petani yang memiliki lahan seluas 0,75-2 hektare.

Keempat, ketimpangan di pedesaan. Setali tiga uang dengan data NTP, perkembangannya bisa dibilang kurang memuaskan. Memasuki tahun 2017, rasio gini di pedesaan terus menunjukkan pola menanjak. Artinya, pengeluaran penduduk di pedesaan semakin timpang.

Sebagai informasi, rasio gini merupakan koefisien yang digunakan untuk mengukur kemerataan distribusi pengeluaran penduduk. Semakin mendekati nilai 0 berarti mendekati pemerataan sempurna, sedangkan semakin mendekati nilai 1 artinya mendekati ketimpangan sempurna.

Pada bulan Maret 2017, rasio gini pedesaan justru meningkat dari 0,316 ke 0,32. Setahun setelahnya, atau per Maret 2018, rasio gini pedesaan masih menanjak ke angka 0,324. Rasio gini sebesar itu menjadi yang terparah dalam 2 tahun terakhir.



Peningkatan ini mengindikasikan bahwa kenaikan pengeluaran per kapita kelompok masyarakat desa kelas ekonomi terbawah di desa masih lebih lambat dari pengeluaran per kapita kelompok masyarakat desa kelas ekonomi teratas.

Artinya, pembangunan ekonomi yang dilakukan Jokowi di pedesaan masih perlu dipertanyakan kualitasnya. “Kue” ekonomi yang dicetak dana desa yang selalu meningkat (serta program padat karya tunai) nyatanya belum bisa dinikmati secara maksimal oleh kelompok ekonomi terbawah di pedesaan.

Kenaikan ketimpangan juga nampaknya berhubungan erat dengan performa NTP yang belum terlalu memuaskan. Selama mayoritas penduduk desa masih bekerja di sektor pertanian, maka perbaikan NTP menjadi mutlak dilakukan untuk mengikis ketimpangan di pedesaan.    


TIM RISET CNBC INDONESIA


(RHG/ags)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular