Jakarta, CNBC Indonesia -
Membangun dari Pinggiran. Frase itu dicantumkan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada Nawacita, yang merupakan sembilan agenda prioritasnya dalam membangun Indonesia dan menegaskan bahwa pemerintahannya berkomitmen memperkuat daerah dan desa.
Tidak hanya melalui slogan, Jokowi membuktikan niatnya dengan rajin blusukan ke beberapa wilayah perdesaan di Indonesia. Tidak tanggung-tanggung, mantan Walikota Solo tersebut merambah Asmat, Papua dan menjadi presiden RI pertama yang menginjakkan kakinya di sana.
Kemudian, sejak tahun 2015, pemerintahan Jokowi juga mulai mengucurkan apa yang disebut dengan Dana Desa. Dana tersebut dianggarkan setiap tahun dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), yang diberikan kepada setiap desa sebagai salah satu sumber pendapatan desa.
Pada tahun 2018 ini, pemerintah menganggarkan dana desa sebesar Rp 60 triliun. Jumlah itu meningkat nyaris 3 kali lipat dari saat Dana Desa pertama kali lahir (tahun 2015), yang saat itu senilai Rp 20,77 Triliun.
Sejalan dengan digalakkannya dana desa, pemerintahan Jokowi juga mengaplikasikan program Padat Karya Tunai. Program ini berfokus pada pemberdayaan masyarakat desa dalam pengerjaan proyek yang didanai oleh dana desa.
Lantas, bagaimana hasilnya? Seberapa besar perbaikan masyarakat desa sejak Jokowi didapuk sebagai orang no.1 di Indonesia? Tim riset CNBC Indonesia mencoba menganalisisnya menggunakan indikator-indikator ekonomi nasional, khusus di wilayah pedesaan.
(NEXT)
Pertama, mari kita lihat tingkat pengangguran di pedesaan. Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di pedesaan per Februari 2018 tercatat sebesar 3,72%. Artinya, dari 100 angkatan kerja di pedesaan terdapat 3 hingga 4 orang yang berstatus pengangguran.
Jika dibandingkan dengan kondisi setahun sebelumnya (Februari 2017), TPT di pedesaan mengalami penurunan sebesar 0,28 persen poin. Sementara itu, apabila dibandingkan dengan capaian Februari 2015 (tahun pertama pemerintahan Jokowi), TPT di pedesaan sudah turun 0,6 persen poin.
Oleh karena itu, di sektor ketenagakerjaan, pembangunan wilayah pedesaan di pemerintahan Jokowi bisa dibilang masih mendapatkan nilai yang positif. Dengan berkurangnya TPT di pedesaan, berarti semakin banyak masyarakat pedesaan yang memiliki akses ke lapangan kerja.
Secara otomatis, pendapatan masyarakat pedesaan pun akhirnya terkerek naik.
Hal ini tidak lepas dari semaraknya program Padat Karya Tunai. Menteri Desa, Pembangunan, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo mengklaim bahwa program itu bisa membuka lapangan kerja dan meningkatkan perekonomian di desa.
"Dengan sistem padat karya tunai ini, turut membuka lapangan pekerjaan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang ada di desa. Dan uang yang digelontorkan bisa terus berputar di desa dan menghidupkan kembali ekonomi di desa," kata Eko dalam keterangan tertulis Sabtu (14/7/2018), seperti dilansir Detik Finance.
Kedua, kemiskinan di pedesaan. Jumlah penduduk miskin di pedesaan mencapai 15,81 juta orang per Maret 2018, menurun sekitar 2,13 juta orang sejak awal masa pemerintahan Jokowi (Maret 2015).
Sementara itu, persentase penduduk miskin di pedesaan tercatat sebesar 13,2% pada Maret 2018, turun 1,01 persen poin sejak Maret 2015. Penurunan kedua indikator tersebut lantas mengindikasikan bahwa perhatian Jokowi di pedesaan juga berdampak positif bagi pengentasan kemiskinan di desa.
Terlebih, laju penurunan jumlah penduduk miskin juga meningkat secara substansial. Pada periode Maret 2017-Maret 2018, jumlah penduduk miskin turun hingga 1,29 juta orang. Penurunan itu meningkat cukup drastis dibandingkan penurunan periode Maret 2016-Maret 2017 dan Maret 2015-2016 masing-masing sebesar 570.000 orang dan 270.000 orang.
Capaian itu tak lepas dari jumlah dana desa yang juga meningkat secara bertahap dalam 3 tahun terakhir (Lihat Grafik Perkembangan Dana Desa Sebelumnya). Penurunan penduduk miskin yang meningkat secara bertahap, bergerak linier dengan pertambahan dana desa yang juga naik bertahap.
Meski demikian, perlu dicatat bahwa persentase penduduk miskin pedesaan yang sebesar 13,2% per Maret 2018 masih cukup jauh di atas persentase penduduk miskin nasional yang sebesar 9,82% di periode yang sama.
Artinya, secara fundamental, wilayah pedesaan masih menjadi penyumbang penduduk miskin terbanyak di Indonesia. Jika memang ingin mengejar target persentase penduduk miskin nasional sebesar 7-8% di 2019 (berdasarkan RPJMN 2015-2019), perlu penurunan jumlah penduduk lebih signifikan di pedesaan.
(NEXT)
Ketiga, perkembangan Nilai Tukar Petani (NTP). NTP adalah perbandingan indeks harga yang diterima petani terhadap indeks harga yang dibayar petani.
NTP menjadi salah satu indikator untuk melihat tingkat kemampuan atau daya beli petani di pedesaan. Semakin tinggi NTP, maka semakin kuat pula tingkat kemampuan atau daya beli petani. Indikator NTP menjadi penting karena mayoritas penduduk desa bekerja di sektor pertanian.
Sayangnya, pertumbuhan NTP cenderung melambat di era pemerintahan Jokowi. Tercatat selama periode 2015-2017, hanya satu kali NTP tumbuh positif secara tahunan, yakni pada tahun 2016. Itupun pertumbuhannya tipis saja, yakni sebesar 0,06% secara tahunan (year-on-year/YoY).
Di tahun sisanya, rapor Jokowi cenderung merah di urusan mensejahterakan petani. Pada tahun 2015, NTP tercatat turun 0,43% YoY, sementara NTP juga terkoreksi sebesar 0,37% YoY pada tahun 2016.
Berita baiknya, pada periode Januari-Agustus 2018, NTP mampu tercatat sebesar 102,13, atau naik 1,6% dibandingkan periode yang sama tahun 2017. Jika hingga akhir tahun prestasi ini dapat dipertahankan, maka rapor merah Jokowi di tahun-tahun sebelumnya bisa “terobati”.
Apabila dilihat secara rinci, PR besar Jokowi di urusan NTP ada di sub-sektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan, yang sejatinya berada di domain Kementerian Pertanian. Di sisi lain, sub-sektor perkebunan rakyat dan perikanan masih menunjukkan pertumbuhan positif dalam 2 tahun terakhir.
Peningkatan dana desa memang tidak bisa secara langsung mendongkrak sektor pertanian di pedesaan. Berdasarkan hasil evaluasi 3 tahun pelaksanaannya, dana desa terbukti menghasilkan 103.405 unit drainase dan 1.338 unit embung, yang terkait erat dengan sektor pertanian.
Namun, dana desa tidak hanya berfokus di sektor agrikultur, melainkan juga untuk membangun infrastruktur lain secara umum, misalnya jalan desa, jembatan, sambungan air bersih, pendidikan anak usia dini (PAUD), pasar desa, dan Posyandu.
Program pemerintah yang paling nyata bisa mendorong sektor pertanian (khususnya di sub-sektor tanaman pangan dan holtikultura) adalah Kredit Usaha Rakyat (KUR), subsidi pupuk, dan subsidi benih.
Sayangnya, kebijakan subsidi benih dan pupuk yang awalnya diimplementasikan guna memacu produktivitas pangan nasional malah berjalan kurang efektif dan efisien. Hal itu tercermin dari realisasi subsidi pupuk dan benih yang tidak pernah mencapai target di era Jokowi.
Di tahun 2015, realisasi subsidi benih bahkan hanya mencapai 11,93% dari alokasi di APBN-P 2015. Realisasi terbaik yang bisa dibukukan Jokowi terjadi pada tahun 2017, itupun hanya 59,20%.
Cerita yang sama juga terulang pada subsidi pupuk. Pada 2015, realisasinya hanya 79,33%. Memang pada 2017, realisasinya bisa diperbaiki menjadi 92,58%. Akan tetapi capaian itu masih kalah dari masa sebelum Jokowi berkuasa. Sebagai informasi, realisasi subsidi pupuk mencapai 99,99% pada 2014.
Pada laporan kajian yang dipublikasikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2017, “gagalnya” subsidi pertanian terjadi akibat desain program subsidi belum mampu mengantisipasi atau memberikan solusi atas dinamika permasalahan yang muncul di lapangan.
Pelaksana di tingkat daerah (pemerintah daerah maupun BUMN pelaksana) kerap dituntut secara mandiri menyelesaikan permasalahan yang timbul.
Di sisi lain, Kementerian Pertanian dan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) mengaku penyebab utama kurang efektifnya subsidi pertanian adalah ketidakmampuan pihak yang ditunjuk pemerintah untuk memproduksi dan mendistribusikan benih tepat waktu, sesuai dengan kualitas dan varietas yang dibutuhkan petani.
Kemudian, hanya 21% penerima pupuk bersubsidi berada dalam kategori petani skala kecil. Mereka yang termasuk dalam kategori ini adalah petani yang memiliki lahan seluas 0,25 hektare. Sementara, 60% penerima pupuk bersubsidi adalah petani yang memiliki lahan seluas 0,75-2 hektare.
Keempat, ketimpangan di pedesaan. Setali tiga uang dengan data NTP, perkembangannya bisa dibilang kurang memuaskan. Memasuki tahun 2017, rasio gini di pedesaan terus menunjukkan pola menanjak. Artinya, pengeluaran penduduk di pedesaan semakin timpang.
Sebagai informasi, rasio gini merupakan koefisien yang digunakan untuk mengukur kemerataan distribusi pengeluaran penduduk. Semakin mendekati nilai 0 berarti mendekati pemerataan sempurna, sedangkan semakin mendekati nilai 1 artinya mendekati ketimpangan sempurna.
Pada bulan Maret 2017, rasio gini pedesaan justru meningkat dari 0,316 ke 0,32. Setahun setelahnya, atau per Maret 2018, rasio gini pedesaan masih menanjak ke angka 0,324. Rasio gini sebesar itu menjadi yang terparah dalam 2 tahun terakhir.
Peningkatan ini mengindikasikan bahwa kenaikan pengeluaran per kapita kelompok masyarakat desa kelas ekonomi terbawah di desa masih lebih lambat dari pengeluaran per kapita kelompok masyarakat desa kelas ekonomi teratas.
Artinya, pembangunan ekonomi yang dilakukan Jokowi di pedesaan masih perlu dipertanyakan kualitasnya. “Kue” ekonomi yang dicetak dana desa yang selalu meningkat (serta program padat karya tunai) nyatanya belum bisa dinikmati secara maksimal oleh kelompok ekonomi terbawah di pedesaan.
Kenaikan ketimpangan juga nampaknya berhubungan erat dengan performa NTP yang belum terlalu memuaskan. Selama mayoritas penduduk desa masih bekerja di sektor pertanian, maka perbaikan NTP menjadi mutlak dilakukan untuk mengikis ketimpangan di pedesaan.
TIM RISET CNBC INDONESIA