
Rusia: Perangai AS Bikin Harga Minyak tidak Pasti!
Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
12 September 2018 18:58

Vladivostok, CNBC Indonesia -- Menteri Energi Rusia Alexander Novak menilai perangai Amerika Serikat (AS) di bawah kepemimpinan presiden Donald Trump telah mengganggu harga minyak. Hal itu disampaikan Novak kepada CNBC International di sela-sela Eastern Economic Forum (EEF) di Vladivostok, Rusia, Rabu (12/9/2018).
Menurut dia, harga minyak sekarang tidak hanya bergantung kepada keseimbangan pasokan atau permintaan atau situasi ekonomi secara umum.
"Tetapi juga pada ketidakpastian yang kami amati saat ini di pasar global: perang dagang, sanksi yang diterapkan AS," kata Novak.
Dia mengatakan, ketidakpastian geopolitik, misal keputusan AS untuk menerapkan bea masuk yang besar terhadap produk impor China serta sanksinya terhadap Rusia dan yang akan diterapkan ke Iran bisa membuat harga minyak sedikit naik.
"Jika kita membicarakan angka, menurut saya, harga tambahan sekitar US$5-US$6 di atas harga minyak biasanya yang akan mencerminkan keseimbangan pasokan atau permintaan," ujar Novak.
Patokan harga minyak berjangka Brent saat ini diperdagangkan dengan harga US$79,21 per barel, sementara harga minyak berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS dijual US$69,82 per barel.
Komentar Novak muncul saat fokus pasar minyak bergeser dari kesuksesan kesepakatan dua tahun lalu antara OPEC (Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi) dan Rusia (juga produsen non-OPEC lainnya).
Saat itu kedua pihak sepakat untuk memangkas produksi guna menopang harga. Fokusnya bergeser ke ancaman terhadap pasokan minyak global yang ada saat ini.
Sanksi yang akan dikenakan AS terhadap sektor perminyakan Iran November 2018 ialah gangguan terbesar. Para analis pasar minyak memprediksi produksi harian Iran bisa anjlok hingga 1,5 juta barel per hari.
Novak mengatakan, US$5 hingga US$6 yang ditambahkan ke harga satu barel minyak adalah konservatif. Banyak pengamat pasar minyak memprediksi harga per barel bisa naik hingga US$90 atau bahkan US$100 per barel. Apalagi ketika sanksi terhadap Iran sudah diterapkan.
Kekacauan
Di samping Iran, pasokan minyak global juga rentan terhadap kekacauan ekonomi dan politik. Apalagi, terdapat gangguan pasokan di negara-negara produsen minyak utama, yaitu Venezuela, Irak, Nigeria, dan Libya.
Ada juga kekhawatiran perang dagang dengan AS akan merusak perekonomian China dan mengurangi permintaan minyak. Meskipun begitu, Novak mengatakan akan selalu ada konsumen yang mengisi kekosongan.
"Jika seseorang tidak lagi membelinya, orang lain harus mengambil alih. Hal yang sama [juga terjadi] dalam konsumsi. Maka dari itu, kami tidak mengambil langkah-langkah khusus guna mencegah sesuatu di masa depan," ujar Novak.
Dengan adanya sanksi yang menanti untuk Iran, maka Arab Saudi yang merupakan pimpinan OPEC secara de facto dan Rusia harus berjanji untuk turun tangan dan mengerek lebih banyak produksi.
Ini karena ada kekhawatiran posisi Iran sebagai salah satu produsen minyak yang besar tidak dapat tergantikan.
(miq/miq) Next Article Soal Sanksi ke Venezuela, Rusia-China Kompak Kecam AS
Menurut dia, harga minyak sekarang tidak hanya bergantung kepada keseimbangan pasokan atau permintaan atau situasi ekonomi secara umum.
"Tetapi juga pada ketidakpastian yang kami amati saat ini di pasar global: perang dagang, sanksi yang diterapkan AS," kata Novak.
"Jika kita membicarakan angka, menurut saya, harga tambahan sekitar US$5-US$6 di atas harga minyak biasanya yang akan mencerminkan keseimbangan pasokan atau permintaan," ujar Novak.
Patokan harga minyak berjangka Brent saat ini diperdagangkan dengan harga US$79,21 per barel, sementara harga minyak berjangka West Texas Intermediate (WTI) AS dijual US$69,82 per barel.
Komentar Novak muncul saat fokus pasar minyak bergeser dari kesuksesan kesepakatan dua tahun lalu antara OPEC (Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi) dan Rusia (juga produsen non-OPEC lainnya).
Saat itu kedua pihak sepakat untuk memangkas produksi guna menopang harga. Fokusnya bergeser ke ancaman terhadap pasokan minyak global yang ada saat ini.
Novak mengatakan, US$5 hingga US$6 yang ditambahkan ke harga satu barel minyak adalah konservatif. Banyak pengamat pasar minyak memprediksi harga per barel bisa naik hingga US$90 atau bahkan US$100 per barel. Apalagi ketika sanksi terhadap Iran sudah diterapkan.
Kekacauan
Di samping Iran, pasokan minyak global juga rentan terhadap kekacauan ekonomi dan politik. Apalagi, terdapat gangguan pasokan di negara-negara produsen minyak utama, yaitu Venezuela, Irak, Nigeria, dan Libya.
Ada juga kekhawatiran perang dagang dengan AS akan merusak perekonomian China dan mengurangi permintaan minyak. Meskipun begitu, Novak mengatakan akan selalu ada konsumen yang mengisi kekosongan.
"Jika seseorang tidak lagi membelinya, orang lain harus mengambil alih. Hal yang sama [juga terjadi] dalam konsumsi. Maka dari itu, kami tidak mengambil langkah-langkah khusus guna mencegah sesuatu di masa depan," ujar Novak.
Dengan adanya sanksi yang menanti untuk Iran, maka Arab Saudi yang merupakan pimpinan OPEC secara de facto dan Rusia harus berjanji untuk turun tangan dan mengerek lebih banyak produksi.
Ini karena ada kekhawatiran posisi Iran sebagai salah satu produsen minyak yang besar tidak dapat tergantikan.
(miq/miq) Next Article Soal Sanksi ke Venezuela, Rusia-China Kompak Kecam AS
Most Popular