
Rupiah Tembus Rp 14.800/US$, RI Harus Segera Hambat Impor!
Rivi Satrianegara, CNBC Indonesia
03 September 2018 16:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Posisi kurs rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menembus level Rp 14.800/US$.
Pada perdagangan Senin (3/9/2018) pukul 14:00 WIB, US$ 1 ditransaksikan pada Rp 14.820 di pasar spot. Rupiah melemah 0,65% dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menyebut dua hal menjadi faktor pelemahan rupiah, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) serta gejolak ekonomi global.
Pelemahan itu dia sebut sudah bisa diprediksi, mengingat dalam tataran internasional, diskusi antara Amerika Serikat dan China terkait dagang masih alot. "Jadi kemungkinan paling besar pelemahan ini terpengaruh isu perang dagang dan krisis Argentina pada minggu lalu, yang berdampak ke negara emerging market, termasuk rupiah," jelasnya kepada CNBC Indonesia, Senin (3/9/2018).
Terkait dampak pada perekonomian di dalam negeri, dia menyebut masyarakat menengah ke bawah tidak begitu merasakan dampak atas pelemahan rupiah ini. Itu terdorong dengan bagaimana Pemerintah telah mengantisipasi dengan menjaga harga pangan. Hal tersebut juga terlihat dari pengumuman BPS, terkait daya beli masyarakat di bulan Agustus 2018.
"Daya pukulnya lebih banyak ke masyarakat menengah ke atas, untuk kegiatan impor dan pariwisata ke luar negeri," tambahnya.
Ke depan, dia menyarnakan Pemerintah segera merampungkan rencana pembatasan impor dalam menjaga neraca perdagangan. Sebab, semakin berlarut-larut rencana tersebut direalisasikan, bisa timbul kekhawatiran yang malah menimbulkan peningkatan impor.
"Kalau berlarut-larut, orang akan spekulatif karena khawatir dan malah bisa meningkatkan impor, utamanya kalau tidak ada barang subtitusi di dalam negeri. Jadi mereka tingkatkan impor dan itu bisa malah menjadi backfire," terang David.
Hal senada disampaikan Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi. Dia menyebut CAD dan gejolak ekonomi global jadi penyebab utama pelemahan rupiah.
"Dorongan idiosinkratik dari keranjang emerging markets yang tengah menderita, dan CAD yang merentang lebar," sebut Fithra.
Untuk solusi, Fithra menyarankan Pemerintah untuk memperhatikan postur belanja Pemerintah ke depan. "Solusi pragmatis dari sisi fiskal adalah potong subsidi BBM, karena defisit dari neraca migas cukup besar tekanannya," tutur Fithra.
(ray) Next Article Rupa Demi Rupa Impor Air yang Dilakukan oleh Indonesia
Pada perdagangan Senin (3/9/2018) pukul 14:00 WIB, US$ 1 ditransaksikan pada Rp 14.820 di pasar spot. Rupiah melemah 0,65% dibandingkan penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Kepala Ekonom Bank Central Asia (BCA) David Sumual menyebut dua hal menjadi faktor pelemahan rupiah, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) serta gejolak ekonomi global.
Terkait dampak pada perekonomian di dalam negeri, dia menyebut masyarakat menengah ke bawah tidak begitu merasakan dampak atas pelemahan rupiah ini. Itu terdorong dengan bagaimana Pemerintah telah mengantisipasi dengan menjaga harga pangan. Hal tersebut juga terlihat dari pengumuman BPS, terkait daya beli masyarakat di bulan Agustus 2018.
"Daya pukulnya lebih banyak ke masyarakat menengah ke atas, untuk kegiatan impor dan pariwisata ke luar negeri," tambahnya.
Ke depan, dia menyarnakan Pemerintah segera merampungkan rencana pembatasan impor dalam menjaga neraca perdagangan. Sebab, semakin berlarut-larut rencana tersebut direalisasikan, bisa timbul kekhawatiran yang malah menimbulkan peningkatan impor.
"Kalau berlarut-larut, orang akan spekulatif karena khawatir dan malah bisa meningkatkan impor, utamanya kalau tidak ada barang subtitusi di dalam negeri. Jadi mereka tingkatkan impor dan itu bisa malah menjadi backfire," terang David.
Hal senada disampaikan Ekonom Universitas Indonesia, Fithra Faisal Hastiadi. Dia menyebut CAD dan gejolak ekonomi global jadi penyebab utama pelemahan rupiah.
"Dorongan idiosinkratik dari keranjang emerging markets yang tengah menderita, dan CAD yang merentang lebar," sebut Fithra.
Untuk solusi, Fithra menyarankan Pemerintah untuk memperhatikan postur belanja Pemerintah ke depan. "Solusi pragmatis dari sisi fiskal adalah potong subsidi BBM, karena defisit dari neraca migas cukup besar tekanannya," tutur Fithra.
(ray) Next Article Rupa Demi Rupa Impor Air yang Dilakukan oleh Indonesia
Most Popular