Inflasi Inti Naik, Akibat Daya Beli Pulih atau Rupiah Anjlok?

Raditya Hanung, CNBC Indonesia
03 September 2018 13:47
Inflasi Inti Naik, Akibat Daya Beli Pulih atau Rupiah Anjlok?
Foto: BPS (CNBC Indonesia/Chandra Gian Asmara)
Jakarta, CNBC IndonesiaBadan Pusat Statistik (BPS) merilis Indeks Harga Konsumen (IHK) pada Agustus 2018. Terjadi deflasi pada Agustus 2018 sebesar 0,05%.

"Dengan deflasi 0,05%, maka secara tahun kalender terjadi inflasi 2,13%. Secara year on year 3,20%," kata Kepala BPS Suhariyanto, dalam konferensi persnya di Gedung BPS, Senin (3/9/2018).

BACA: BPS: Terjadi Deflasi 0,05% di Agustus 2018

Angka IHK tersebut lebih lunak daripada ekspektasi pasar. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan laju inflasi sebesar 0,07% secara bulanan (month-to-month/MtM). Kemudian inflasi secara tahunan (year-on-year/YoY) diperkirakan 3,33%.

Meski demikian, BPS melaporkan bahwa bulan lalu inflasi inti tercatat sebesar sebesar 0,3% MtM, dan mampu menyumbang andil inflasi paling besar di antara komponen lainnya (makanan, bergejolak, harga diatur pemerintah, dan energi), yakni mencapai 0,18%.

Secara tahunan, inflasi inti Agustus juga melesat mencapai 2,90%, menjadi yang tertinggi di tahun ini. Nilai itu juga mampu mengungguli konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia, di mana inflasi inti diestimasikan sebesar 2,89% YoY.



Seperti diketahui, inflasi inti adalah salah satu komponen pembentuk inflasi yang cenderung persisten (menetap, sulit bergerak atau naik-turun). Pergerakan inflasi inti lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor yang sifatnya fundamental (bukan musiman), seperti pasokan dan permintaan, nilai tukar, ekspektasi kenaikan harga, dan sebagainya.

Pulihnya inflasi inti bisa menjadi pertanda perekonomian mulai bergerak normal. Konsumen kini sudah tidak lagi menahan pembelian, sehingga produsen bereaksi dengan menaikkan harga.

Artinya, perkembangan ini kian memberi konfirmasi bahwa tekanan daya beli jauh berkurang, bahkan mungkin sudah pulih. Tahun lalu, konsumsi memang tertekan lumayan signifikan karena kenaikan tarif listrik yang bisa mencapai dua kali lipat bagi pelanggan 900 VA.


(NEXT)



Namun, naiknya inflasi inti belum tentu terjadi karena adanya pemulihan daya beli masyarakat. Dari sudut pandang lain, kenaikan inflasi inti di bulan Juli 2018 juga bisa disebabkan karena nilai tukar rupiah yang bergejolak. Sebagai informasi, di sepanjang bulan Agustus 2018, mata uang tanah air sudah terdepresiasi sebesar 2,15%, hingga sempat menyentuh Rp14.725/US$ di pasar spot.

Seperti diketahui, lemahnya nilai tukar rupiah akan mengerek harga-harga barang baku dan barang modal yang masih banyak diimpor oleh Indonesia  Hal ini tercermin dari indeks harga impor yang terus menanjak pesat di tahun ini. Pada bulan Juni 2018 saja inflasi barang-barang impor melonjak 1,52% secara MtM, atau 10,02% secara YoY. Indeks ini menunjukkan perubahan harga barang/jasa oleh yang dibeli oleh penduduk Indonesia dari penjual asing. Oleh karena itu, indeks ini amat berkorelasi kuat oleh nilai tukar rupiah.

Alhasil, biaya produksi perusahaan (khususnya yang bergantung pada bahan baku/barang modal) pun akan membengkak. Pada akhirnya, kenaikan harga di sisi produsen akan ditransmisikan menjadi peningkatan harga jual di konsumen. Hal inilah yang kemudian mengerek inflasi inti di bulan lalu, bukan perbaikan konsumsi masyarakat.

Sekarang pertanyaannya, mana yang lebih dominan dalam mengerek inflasi inti? Perbaikan konsumsi masyarakat atau loyonya nilai tukar rupiah? Tim riset CNBC Indonesia melihat bahwa depresiasi rupiah yang cukup dalam pada bulan lalu, belum berkontribusi banyak pada inflasi inti. Hal ini terlihat apabila kita membandingkan inflasi inti bulan Agustus 2017 dan Agustus 2018. Inflasi inti Agustus 2017 melompat 2,98% YoY, padahal nilai tukar rupiah “hanya” terdepresiasi sebesar 0,14% di sepanjang Agustus tahun lalu.

Sementara itu, inflasi inti Agustus 2018 adalah sebesar 2,9% YoY, hampir sama dengan periode yang sama tahun lalu. Padahal, rupiah anjlok sebesar 2% lebih di sepanjang Agustus tahun ini. Artinya, depresiasi nilai tukar rupiah sejauh ini belum terlihat memberikan kontribusi yang besar bagi naiknya inflasi inti. Perbaikan konsumsi masyarakat nampaknya masih lebih mendominasi. Besarnya kontribusi perbaikan konsumsi juga ditunjukkan oleh perbaikan kesejahteraan sektor pertanian. Nilai Tukar Petani (NTP) meningkat sebesar 0,89% ke 102,56 di bulan Agustus 2018, yang merupakan nilai tertingginya sejak Januari 2018.



NTP menjadi salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani, dengan melihat tingkat daya beli mereka di pedesaan. Semakin tinggi NTP, makin tinggi pula daya beli petani dan secara relatif menunjukkan kenaikan kesejahteraan masyarakat perdesaan.

Sebagai informasi, data BPS per Februari 2018 menyebutkan bahwa sebagian besar pekerja di Indonesia bekerja di sektor pertanian, yaitu mencapai 30,46%. Ini menduduki posisi pertama, disusul perdagangan (18,53%) dan industri pengolahan (14,11%). Kala pendapatan mayoritas pekerja di Indonesia membaik, maka konsumsi secara keseluruhan tentu akan membaik pula. Akhirnya, perbaikan NTP inilah yang mampu menyokong tumbuhnya inflasi inti di bulan Agustus 2018.    
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular