Ini Barang Konsumsi yang Terkena PPh Pasal 22
Raditya Hanung & Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
24 August 2018 19:25

Perlu dicatat bahwa impor barang konsumsi sebenarnya hanya berkontribusi kecil bagi total impor Indonesia. Pada tahun 2017, impor barang konsumsi hanya menyumbang 9,18% bagi total impor tanah air. Kontribusi terbesar disumbangkan oleh bahan baku, yakni mencapai 76,33%. Sementara itu, impor barang modal berkontribusi sebesar 14,49%.
Dengan porsi yang jauh lebih kecil dari impor bahan baku, penahanan impor barang konsumsi hanya akan memberikan dampak yang amat minim. Tujuan semula untuk menyelamatkan defisit neraca perdagangan bisa jadi tidak akan dicapai dengan maksimal.
Apalagi, pemerintah perlu ingat bahwa menahan impor barang konsumsi tentunya akan menciptakan efek inflatoir bagi barang-barang konsumsi di dalam negeri. Di saat barang-barang konsumsi menjadi lebih mahal, maka daya beli masyarakat yang menjadi taruhannya.
Padahal, konsumsi masyarakat menyumbang lebih dari 50% bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Saat konsumsi masyarakat tertekan, siap-siap saja pertumbuhan ekonomi Indonesia akan jauh dari harapan.
Atas dasar tersebut, baiknya kebijakan menahan impor juga perlu dipasangkan dengan kebijakan lainnya yang bisa menjaga harga barang-barang konsumsi dalam negeri. Produksi dalam negeri mau tidak mau harus digenjot, plus dapat didistribusikan dengan baik.
Beberapa barang yang masuk ke daftar PPh pasal 22 seperti berbagai macam peralatan rumah tangga atau pakaian jadi seharusnya bisa dipasok lebih banyak dari dalam negeri. Tapi perlu diingat bahwa menggenjot produksi industri dalam negeri, kemungkinan besar akan menaikkan impor bahan baku atau barang modal yang sejatinya berkontribusi paling besar bagi total impor Indonesia.
Akhirnya, apapun upaya Indonesia untuk mengurangi defisit neraca perdagangan, ujung-ujungnya akan terbentur pada ketidakmampuan industri pengolahan RI memasok kebutuhan bahan baku dan barang modal dalam negeri.
Bola panas sebenarnya ada di Kementerian Perindustrian (Kemenperin), bukan di Kementerian Perdagangan (Kemendag) maupun Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kebijakan apapun dari Kemendag ataupun Kemenkeu tidak mungkin berjalan mulus tanpa ada upaya Kemenperin untuk memecahkan permasalahan deindustrialisasi yang sedang terjadi di tanah air. (RHG/RHG)
Dengan porsi yang jauh lebih kecil dari impor bahan baku, penahanan impor barang konsumsi hanya akan memberikan dampak yang amat minim. Tujuan semula untuk menyelamatkan defisit neraca perdagangan bisa jadi tidak akan dicapai dengan maksimal.
Padahal, konsumsi masyarakat menyumbang lebih dari 50% bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Saat konsumsi masyarakat tertekan, siap-siap saja pertumbuhan ekonomi Indonesia akan jauh dari harapan.
Atas dasar tersebut, baiknya kebijakan menahan impor juga perlu dipasangkan dengan kebijakan lainnya yang bisa menjaga harga barang-barang konsumsi dalam negeri. Produksi dalam negeri mau tidak mau harus digenjot, plus dapat didistribusikan dengan baik.
Beberapa barang yang masuk ke daftar PPh pasal 22 seperti berbagai macam peralatan rumah tangga atau pakaian jadi seharusnya bisa dipasok lebih banyak dari dalam negeri. Tapi perlu diingat bahwa menggenjot produksi industri dalam negeri, kemungkinan besar akan menaikkan impor bahan baku atau barang modal yang sejatinya berkontribusi paling besar bagi total impor Indonesia.
Akhirnya, apapun upaya Indonesia untuk mengurangi defisit neraca perdagangan, ujung-ujungnya akan terbentur pada ketidakmampuan industri pengolahan RI memasok kebutuhan bahan baku dan barang modal dalam negeri.
Bola panas sebenarnya ada di Kementerian Perindustrian (Kemenperin), bukan di Kementerian Perdagangan (Kemendag) maupun Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kebijakan apapun dari Kemendag ataupun Kemenkeu tidak mungkin berjalan mulus tanpa ada upaya Kemenperin untuk memecahkan permasalahan deindustrialisasi yang sedang terjadi di tanah air. (RHG/RHG)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular