Ini Barang Konsumsi yang Terkena PPh Pasal 22
Raditya Hanung & Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
24 August 2018 19:25

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia memutuskan hanya akan menghambat impor barang konsumsi melalui instrumen kenaikan Pajak Penghasilan (PPh) untuk barang-barang impor. PPh impor yang dimaksud adalah PPh Pasal 22 yang dikenakan ke badan usaha yang antara lain melakukan kegiatan impor.
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan saat ini terdapat 900 barang impor yang sudah kena tarif berkisar 2,5% hingga 7,5%. Dari setiap barang impor tersebut, pemerintah kemudian akan memutuskan berapa kenaikan besaran PPh yang ditetapkan, bergantung dari ketersediaan barang substitusi yang ada di dalam negeri.
"Ini dilakukan melalui ada sekitar 900 komoditas impor yang sekarang sedang kita review dengan Mendag dan Menperin, dan nanti kita akan lihat kapasitas dari industri dalam negeri untuk memenuhinya. Nah, tools yang kita gunakan adalah PPh 22 dalam hal ini bisa terkena tarif saat ini bervariasi 2,5% dan 7,5%. Kami sedang lakukan policy bagaimana tingkat pengendalian yang baik," jelas Sri Mulyani usai High Level Meeting Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) di Kantor Kemenko Perekonomian, Jumat (24/8/2018).
Lantas, barang-barang apa saja yang saat ini dikenai PPh Pasal 22?
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 34 Tahun 2017 tentang Pemungutan PPh Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain, pungutan PPh Pasal 22 oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap barang konsumsi impor adalah sebagai berikut:
A. Barang tertentu sebesar 10% dari nilai impor, yang di antaranya adalah:
C. Selain barang tertentu dan dan barang tertentu lainnya yang disebutkan sebagian besarnya di atas, ditetapkan sebesar:
Meski demikian, PMK 34/2017 juga mengatur barang-barang yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22, di antaranya:
Dengan porsi yang jauh lebih kecil dari impor bahan baku, penahanan impor barang konsumsi hanya akan memberikan dampak yang amat minim. Tujuan semula untuk menyelamatkan defisit neraca perdagangan bisa jadi tidak akan dicapai dengan maksimal.
Apalagi, pemerintah perlu ingat bahwa menahan impor barang konsumsi tentunya akan menciptakan efek inflatoir bagi barang-barang konsumsi di dalam negeri. Di saat barang-barang konsumsi menjadi lebih mahal, maka daya beli masyarakat yang menjadi taruhannya.
Padahal, konsumsi masyarakat menyumbang lebih dari 50% bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Saat konsumsi masyarakat tertekan, siap-siap saja pertumbuhan ekonomi Indonesia akan jauh dari harapan.
Atas dasar tersebut, baiknya kebijakan menahan impor juga perlu dipasangkan dengan kebijakan lainnya yang bisa menjaga harga barang-barang konsumsi dalam negeri. Produksi dalam negeri mau tidak mau harus digenjot, plus dapat didistribusikan dengan baik.
Beberapa barang yang masuk ke daftar PPh pasal 22 seperti berbagai macam peralatan rumah tangga atau pakaian jadi seharusnya bisa dipasok lebih banyak dari dalam negeri. Tapi perlu diingat bahwa menggenjot produksi industri dalam negeri, kemungkinan besar akan menaikkan impor bahan baku atau barang modal yang sejatinya berkontribusi paling besar bagi total impor Indonesia.
Akhirnya, apapun upaya Indonesia untuk mengurangi defisit neraca perdagangan, ujung-ujungnya akan terbentur pada ketidakmampuan industri pengolahan RI memasok kebutuhan bahan baku dan barang modal dalam negeri.
Bola panas sebenarnya ada di Kementerian Perindustrian (Kemenperin), bukan di Kementerian Perdagangan (Kemendag) maupun Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kebijakan apapun dari Kemendag ataupun Kemenkeu tidak mungkin berjalan mulus tanpa ada upaya Kemenperin untuk memecahkan permasalahan deindustrialisasi yang sedang terjadi di tanah air.
(RHG/RHG) Next Article Apakah Indonesia Bisa Lepas Dari 'Kecanduan' Garam Impor?
Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan saat ini terdapat 900 barang impor yang sudah kena tarif berkisar 2,5% hingga 7,5%. Dari setiap barang impor tersebut, pemerintah kemudian akan memutuskan berapa kenaikan besaran PPh yang ditetapkan, bergantung dari ketersediaan barang substitusi yang ada di dalam negeri.
"Ini dilakukan melalui ada sekitar 900 komoditas impor yang sekarang sedang kita review dengan Mendag dan Menperin, dan nanti kita akan lihat kapasitas dari industri dalam negeri untuk memenuhinya. Nah, tools yang kita gunakan adalah PPh 22 dalam hal ini bisa terkena tarif saat ini bervariasi 2,5% dan 7,5%. Kami sedang lakukan policy bagaimana tingkat pengendalian yang baik," jelas Sri Mulyani usai High Level Meeting Tim Pengendalian Inflasi Pusat (TPIP) di Kantor Kemenko Perekonomian, Jumat (24/8/2018).
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 34 Tahun 2017 tentang Pemungutan PPh Pasal 22 Sehubungan dengan Pembayaran Atas Penyerahan Barang dan Kegiatan di Bidang Impor Atau Kegiatan Usaha di Bidang Lain, pungutan PPh Pasal 22 oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terhadap barang konsumsi impor adalah sebagai berikut:
A. Barang tertentu sebesar 10% dari nilai impor, yang di antaranya adalah:
- Parfum dan cairan pewangi
- Pakaian selam
- Peti, koper, dan sejenis tas dengan permukaan luar dari kulit
- Karpet dan penutup lantai dari bahan wol atau bulu hewan halus
- Beberapa jenis alas kaki khusus, seperti alas kaki olah raga dan bot pengendara
- Bak cuci, wastafel, bak mandi, bejana kloset dari porselin/keramik cina
- Patung dan barang keramik ornamental lainnya dari porselin/keramik cina
- Mesin pengatur suhu udara dengan kapasitas pendinginan tidak melebihi 26,38 kW
- Mesin cuci tipe rumah tangga dengan kapasitas linen kering melebihi 10 kg
- Pemanas air instan, microwave, dan dispenser air
- Yacht dan kendaraan air lainnya untuk olah raga atau pelesir
- Kamera fotografi
- Arloji dengan bahan logam mulia hanya dengan display mekanis, serta jam beker/dinding elektrik
- Piano tegak dan grand piano
- Kasur dari karet/plastik seluler dan pegas, kantong tidur, selimut tebal/penutup tempat tidur
- Papan selancar layar, serta tongkat dan bola golf
- Joran dan penggulung tali pancing
- Perangkat makan, dapur, dan peralatan rumah tangga dari plastik, kayu, atau porselin/keramik cina
- Peti, koper, dan sejenis tas dengan permukaan luar dari plastik atau bahan tekstil
- Karpet atau penutup lainnya dari bahan nilon, babut, kapas, atau serat jute
- Kemeja, blus, jas, celana panjang dari kapas, serat sintetik, wol atau bulu hewan halus
- Payung
- Barang perhiasan dari logam mulia dan perhiasan imitasi
- Mesin cuci tipe rumah tangga dengan kapasitas linen kering tidak melebihi 6 kg
- Vacuum Cleaner
- Pengering rambut, setrika listrik, rice cooker, pemanggang roti, pembuat kopi/teh
- Mobil dan kendaraan bermotor untuk pengangkutan orang
- Sepeda motor, sepeda roda dua/tiga, skuter
- Kereta bayi dan bagiannya
- Kacamata pelindung sinar matahari dan korektif
- Arloji dengan display mekanis dan opto-elektronik
- Kotak musik, suling pemikat, peluit, dan terompet panggil
- Boneka, puzzle dari segala jenis, dan kelereng
- Konsol dan mesin video game
- Alat ski, meja untuk tenis meja, bola (selain bola golf dan tenis meja), dan raket tenis
- Mata kail
- Sisir dari karet keras atau plastik dan tusuk rambut hiasan dari aluminium, plastik, atau besi/baja
- Termos dan Bejana Hampa Udara
- Monopod, bipod, tripod
C. Selain barang tertentu dan dan barang tertentu lainnya yang disebutkan sebagian besarnya di atas, ditetapkan sebesar:
- 2,5% dari nilai impor bagi barang yang menggunakan Angka Pengenal Impor (API)
- 7,5% dari nilai impor bagi barang yang tidak menggunakan API
- 7,5% dari harga jual lelang untuk barang yang tidak dikuasai
- 0,5% dari nilai impor menggunakan API untuk kedelai, gandum, dan tepung terigu
Meski demikian, PMK 34/2017 juga mengatur barang-barang yang dikecualikan dari pemungutan PPh Pasal 22, di antaranya:
- Impor barang dan/atau penyerahan barang yang berdasarkan ketentuan undang-undang tidak terutang PPh
- Impor barang yang dibebaskan Bea Masuk/Pajak Pertambahan Nilai (PPN), berupa barang perwakilan negara asing besarta para pejabatnya yang bertugas di Indonesia berdasarkan asas timbal balik, barang hibah untuk ibadah umum/penanggulangan bencana, barang untuk keperluan penelitian, senjata/amunisi untuk keperluan ketahanan negara, buku ilmu pengetahuan/kitab suci, vaksin polio, kapal angkutan /penangkap ikan yang digunakan oleh perusahaan nasional, pesawat udara yang digunakan perusahaan nasional, kereta api, dan barang untuk kegiatan hulu migas yang digunakan oleh Kontraktor Kontrak Kerja Sama.
- Impor sementara dan impor kembali (re-impor) sesuai ketentuan Dirjen Bea Cukai
- Impor emas batangan yang akan diproses untuk menghasilkan barang perhiasan dari emas untuk tujuan ekspor.
Dengan porsi yang jauh lebih kecil dari impor bahan baku, penahanan impor barang konsumsi hanya akan memberikan dampak yang amat minim. Tujuan semula untuk menyelamatkan defisit neraca perdagangan bisa jadi tidak akan dicapai dengan maksimal.
Apalagi, pemerintah perlu ingat bahwa menahan impor barang konsumsi tentunya akan menciptakan efek inflatoir bagi barang-barang konsumsi di dalam negeri. Di saat barang-barang konsumsi menjadi lebih mahal, maka daya beli masyarakat yang menjadi taruhannya.
Padahal, konsumsi masyarakat menyumbang lebih dari 50% bagi pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB). Saat konsumsi masyarakat tertekan, siap-siap saja pertumbuhan ekonomi Indonesia akan jauh dari harapan.
Atas dasar tersebut, baiknya kebijakan menahan impor juga perlu dipasangkan dengan kebijakan lainnya yang bisa menjaga harga barang-barang konsumsi dalam negeri. Produksi dalam negeri mau tidak mau harus digenjot, plus dapat didistribusikan dengan baik.
Beberapa barang yang masuk ke daftar PPh pasal 22 seperti berbagai macam peralatan rumah tangga atau pakaian jadi seharusnya bisa dipasok lebih banyak dari dalam negeri. Tapi perlu diingat bahwa menggenjot produksi industri dalam negeri, kemungkinan besar akan menaikkan impor bahan baku atau barang modal yang sejatinya berkontribusi paling besar bagi total impor Indonesia.
Akhirnya, apapun upaya Indonesia untuk mengurangi defisit neraca perdagangan, ujung-ujungnya akan terbentur pada ketidakmampuan industri pengolahan RI memasok kebutuhan bahan baku dan barang modal dalam negeri.
Bola panas sebenarnya ada di Kementerian Perindustrian (Kemenperin), bukan di Kementerian Perdagangan (Kemendag) maupun Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Kebijakan apapun dari Kemendag ataupun Kemenkeu tidak mungkin berjalan mulus tanpa ada upaya Kemenperin untuk memecahkan permasalahan deindustrialisasi yang sedang terjadi di tanah air.
(RHG/RHG) Next Article Apakah Indonesia Bisa Lepas Dari 'Kecanduan' Garam Impor?
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular