Pemerintah Tahan Laju Impor, Ini Harapan Industri Farmasi

Samuel Pablo, CNBC Indonesia
24 August 2018 13:30
Pemerintah ingin menahan laju impor.
Foto: REUTERS/Jon Nazca
Jakarta, CNBC Indonesia - Gabungan Pengusaha (GP) Farmasi Indonesia berharap pengendalian impor yang diupayakan pemerintah melalui pengenaan pajak penghasilan impor (PPh Pasal 22) dapat diberlakukan pada impor produk jadi, dan bukan pada bahan baku.

Direktur Eksekutif GP Farmasi Darodjatun Sanusi mengatakan pihaknya tidak keberatan apabila kenaikan pajak impor ditujukan kepada produk-produk jadi obat-obatan yang belum bisa diproduksi industri farmasi dalam negeri.

"Tidak bisa produksi di dalam negeri itu karena berbagai alasan: kemampuan iptek belum cukup atau secara ekonomis tidak memungkinkan. Nah kalau itu kami tidak keberatan. Tapi ini tentu ada konsekuensinya, yakni harga akan naik. Itu wajar lah, karena menaikkan pajak kan komponen biaya bertambah," jelas Sanusi di Kementerian Perindustrian, Jumat (24/8/2018).

Sebaliknya, dia menjelaskan bahwa kenaikan pajak pada impor bahan baku farmasi akan berpengaruh buruk bagi kemampuan industri domestik dalam mengembangkan kapasitas produksi obat-obatan.

"Kami harap impor bahan baku jangan ada kenaikan pajak lah," lanjutnya.

Adapun hingga kini, kebutuhan bahan baku di industri farmasi nasional sekitar 90% dipenuhi dari impor.

Lebih lanjut, Sanusi mengungkapkan bahwa beberapa industri farmasi domestik sedang mempersiapkan produksi bahan baku yang bernilai tambah tinggi.

Dia menyebutkan ada 9-10 perusahaan patungan (joint-venture company) antara industri farmasi lokal dan asing yang sedang menyiapkan hal tersebut.



"Artinya sedang dilakukan berbagai persiapan, ya mudah-mudahan di 2019 sudah ada yang masuk pasar. Sebetulnya kan yang penting investasi berjalan, kemudian kualitasnya memenuhi syarat, lalu masuk pasar," ungkapnya.

Sanusi memberi contoh produk biosimilar, yakni senyawa untuk anti kanker, senyawa statin untuk kolesterol, serta senyawa-senyawa pantoprazol untuk menekan pembentukan asam lambung.

"Itu semua kita lihat. Kemudian juga ada yang berkaitan dengan nutri-function, jadi semacam bahan untuk menambah kemampuan [tubuh menyerap] vitamin/nutrisi," paparnya.

Saat ini, Sanusi mengakui komponen impor bahan baku farmasi masih tinggi, mencapai 95-96%. Impor terbanyak dari China, diikuti India dan beberapa negara Eropa.

Dia mengungkapkan meskipun saat ini industri lokal menyuplai 90-92% item produk obat-obatan bagi program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN)/ BPJS Kesehatan, tetapi nilai produknya dalam rupiah hanya sekitar 70-73%. 

Adapun produk jadi farmasi berteknologi tinggi yang hingga kini masih diimpor jumlahnya kurang dari 10% namun menyumbang nilai produk di atas 25%. 

"Jadi bisa dibayangkan betapa dana BPJS ini tersedot pada produk-produk yang mahal tadi yang memang kita butuhkan tapi belum mampu kita produksi. Jadi pengembangan industri farmasi kita arahnya ke sana," jelas dia.
(ray) Next Article Suntikan Rp5 T ke BPJS Cair Menetes, Distributor Obat Teriak

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular