Internasional

Perang Dagang Bisa Percepat Reformasi Ekonomi China

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
09 August 2018 13:48
Pemerintah China kemungkinan perlu bergerak lebih cepat dari rencana untuk melakukan reformasi struktural di berbagai area.
Foto: Infografis, Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Tekanan perdagangan dari Amerika Serikat (AS) ke China dapat mendorong Beijing mempercepat upaya restrukturasi perekonomiannya, kata sejumlah analis.

Presiden AS Donald Trump telah mengancam akan mengenakan tarif impor terhadap produk China senilai lebih dari US$200 miliar (Rp 2.882 triliun). Setelah menerapkan bea masuk terhadap produk impor asal China senilai $34 miliar, Kementerian Perdagangan AS berencana menerapkan bea masuk tambahan terhadap produk China senilai $16 miliar pada tanggal 23 Agustus.

Kementerian Perdagangan China merespons dengan mengumumkan dua tahap tarif impor terhadap produk AS dengan nilai yang sama, serangan terbaru yang dilancarkan Negeri Tirai Bambu di Rabu (8/8/2018) malam waktu setempat.

Namun, ketika Beijing menghadapi perlambatan ekonomi, tingginya tingkat utang dan anjloknya bursa saham, tekanan ada untuk mempertahankan pertumbuhan yang stabil dan sehat.

Sebagai respons terhadap sikap perdagangan Trump yang keras, pemerintah China kemungkinan perlu bergerak lebih cepat dari rencana untuk melakukan reformasi struktural di berbagai area seperti badan usaha milik negara (BUMN), perpajakan, serta distribusi upah dan kesehatan, kata Hong Liang selaku Kepala Ekonom di bank investasi China International Capital Corporation, dilansir dari CNBC International.

Beberapa pengumuman resmi terbaru mengindikasikan para pejabat masih berniat melakukan perubahan di area-area tersebut.

Dewan Negara, otoritas pemerintah tertinggi di China, bulan lalu mengumumkan Wakil Perdana Menteri Liu He yang ikut terlibat sebagai negosiator utama untuk diskusi perdagangan akan memimpin sebuah grup untuk memperbaiki BUMN.


Reformasi yang sedang berlangsung di Negara Tirai Bambu saat ini termasuk upaya memperbolehkan sejumlah investasi swasta ke dalam BUMN dan rencana, yang pertama kali diumumkan tahun lalu, untuk mentransfer 10% saham milik negara ke dana pensiun.

BUMN memegang porsi yang besar di aset-aset China. Namun, perusahaan-perusahaan itu cenderung tidak efisien, terlilit utang, dan sangat terpusat pada industri manufaktur, sektor di mana Beijing mencoba mengurangi ketergantungan ekonominya.

China juga akan mengurangi beban pajak untuk bisnis-bisnis, menurut pernyataan tertanggal 23 Juli seusai rapat Dewan Negara yang dipimpin Perdana Menteri Li Keqiang. Pernyataan itu menyusul pengumuman yang disiarkan Li di bulan Maret terkait pengurangan pajak korporasi dan perorangan senilai lebih dari 800 miliar yuan (Rp 1.691 triliun) pada tahun 2018, menurut sebuah pemberitaan dari kantor berita negara Xinhua.

Tekanan dari Trump dalam perdagangan dapat menyebabkan kemajuan substansial dalam mengurangi beban pajak, di saat yang sama juga mempercepat China membuka diri, kata Lu Zhang selaku Ekonom di perusahaan riset investasi CEBM.

Para pemimpin negara tidak langsung mengakui tensi perdagangan dalam sebuah pernyataan yang dirilis pekan lalu pasca pertemuan Politburo, lembaga pengambil keputusan. Meskipun begitu, mereka menekankan perlunya mempertahankan pembangunan ekonomi yang stabil lewat kebijakan fiskal sembari mengurangi ketergantungan utang.

Indeks saham Shanghai memasuki teritori pasar lesu di bulan Juni akibat kekhawatiran tentang pengetatan regulasi yang dapat memperlambat pertumbuhan dan tarif impor Trump. Namun, saham kembali stabil pekan ini karena harapan akan adanya stimulus pemerintah.

Indeks saham diperdagangkan 1,5% lebih tinggi di hari Kamis (9/8/2018), hanya turun 15,7% dari tahun sebelumnya sejauh ini.

Di tengah prediksi pembaruan yang fokus pada reformasi, tidak jelas apakah Beijing bisa mempercepat perubahan kebijakan ekonominya yang biasanya membutuhkan waktu bertahun-tahun.

Pemerintah kemungkinan akan fokus pada belanja fiskal untuk mempertahankan pertumbuhan, sementara jadwal reformasi struktural tidak akan terdampak, kata Arthur Kroeber selaku Kepala Riset di perusahaan riset ekonomi Gavekal Dragonomics.

Kekhawatiran yang lebih besar untuk Beijing adalah apakah Trump akan menerapkan bea impor 25% terhadap produk China senilai US$200 miliar. Jika diterapkan, hal itu bisa mengurangi produk domestik bruto (PDB) sebanyak satu poin persentase atau lebih, kata Kroeber.
(prm) Next Article Kadin Uni Eropa: Reformasi Ekonomi China Kurang Ambisius

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular