Ini Risiko Besar RI Jika Tunggu Akuisisi Freeport di 2021
Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
06 August 2018 17:26

Jakarta, CNBC Indonesia- Meski Head of Agreement antara Freeport McMoran dan PT Inalum (Persero) sudah diteken sejak bulan lalu. Ribut-ribut soal rencana akuisisi 51% yang dieksekusi tahun ini tetap tak berkesudahan. Masih ada yang menilai semestinya RI tunggu sampai 2021 untuk ambil alih Freeport.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono. Ia menjelaskan bahwa setelah 2021, tidak otomatis kontrak Freeport benar-benar berakhir dan tidak ada jaminan Indonesia akan mendapatkan kembali Grasberg secara gratis.
"Orang orang bertanya, kenapa tidak tunggu 2021. Tahun 2021 itu tidak selesai. Dalam UU No 1 tahun 2017, pasal 31 itu perusahaan dapat ajukan perpanjangan kontrak 2 kali 10 tahun," katanya dalam sebuah diskusi di Hotel JS Luwansa, Jakarta Selatan, Senin (6/8/2018).
Setelah kontrak Freeport selesai 2021, dia menjelaskan pemerintah tidak bisa seenaknya menahan perpanjangan kontrak buat Freeport."Pemerintah tidak bisa menahan tanpa alasan yang kuat, menunda dengan alasan yang kuat," paparnya.
Kalau pun itu bisa dilakukan, pemerintah disandra oleh Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 (PP 20/1994) yang mengizinkan kepemilikan 100% oleh Penanaman Modal Asing (PMA). Dengan adanya PP ini, PTFI merasa tak lagi berkewajiban melepas 51% sahamnya. Ujung ujungnya bisa menimbulkan sengketa.
"Ada 2 pengertian (perpanjangan kontrak) 2 kali 10 itu hak. Tapi pemerintah anggap 2021 boleh saja (disetop), tapi jadi dispute (sengketa), dia bisa ke arbitrase. Nah masalahnya kita bisa menang bisa kalah," jelasnya.
Pengamat pertambangan Iwan Munajat menilai, ada beberapa hal yang akan terjadi bila pemerintah menunggu hingga 2021 untuk mengakuisisi saham PT Freeport Indonesia (PT FI).
Ia juga menyebutkan, tidak ada jaminan Indonesia secara hukum bisa begitu saja menghentikan operasi Freeport (pasal 31). Jika ini terjadi dan terjadi perselisihan (dispute), maka Freeport kemungkinan besar akan mengajukan arbitrase. "Sedangkan, jika melakukan penghentian secara sepihak di 2021, akan dianggap upaya nasionalisasi yang tidak baik untuk upaya menarik investasi dari luar," tutur Iwan.
Selain itu, jika Freeport nanti mengajukan arbitrase, maka tambang bawah tanah akan berhenti operasionalnya, dan secara teknis dapat menyebabkan tambang dalam bahaya runtuh. Sedangkan, pembuatan ulang 1.200 km terowongan akan jauh lebih mahal karena membutuhkan biaya US$ 18 miliar, ditambah dengan biaya infrastuktur yang harus dikeluarkan pemerintah yang kira-kira sebesar US$ 6 miliar.
"Jika tambang bawah tanah berhenti, maka secara teknis akan sulit untuk mengoperasikan Grasberg kembali," tambah Iwan.
Sehingga, Iwan menilai, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah, akhirnya pihak Freeport mau diajak bernegosiasi dengan Pemerintah. Sebab, pada dasarnya, dengan pasal 31 tersebut, Freeport juga akan dirugikan.
Dengan pasal itu, Freeport tidak bisa langsung melanjutkan eksploitasi hingga 2x10 tahun karena harus mendapatkan izin pemerintah Indonesia. Jika tidak mendapatkan izin perpanjangan, maka perusahaan itu tidak bisa mengklaim bahwa masih memiliki tambang sampai 2040.
Selain itu, perusahaan juga membutuhkan dana yang besar, karena belanja modal untuk mengelola tambang sangat besar, apalagi dengan terowongan tambang bawah tanah, yang biayanya sekitar US$ 10.000-15.000 per km, adapun panjang Grasberg terhitung sebesar 1.200 km, dan sekarang tambang bawah tanah baru mencapai sekitar 700 km. "Freeport butuh uang banyak, sebab pendapatan saat ini menurun karena produksinya juga menurun," tutur Iwan.
(gus) Next Article Chappy Hakim: Turbulensi Freeport Hingga 'Papa Minta Saham'
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba) Kementerian ESDM Bambang Gatot Ariyono. Ia menjelaskan bahwa setelah 2021, tidak otomatis kontrak Freeport benar-benar berakhir dan tidak ada jaminan Indonesia akan mendapatkan kembali Grasberg secara gratis.
Setelah kontrak Freeport selesai 2021, dia menjelaskan pemerintah tidak bisa seenaknya menahan perpanjangan kontrak buat Freeport."Pemerintah tidak bisa menahan tanpa alasan yang kuat, menunda dengan alasan yang kuat," paparnya.
Kalau pun itu bisa dilakukan, pemerintah disandra oleh Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 (PP 20/1994) yang mengizinkan kepemilikan 100% oleh Penanaman Modal Asing (PMA). Dengan adanya PP ini, PTFI merasa tak lagi berkewajiban melepas 51% sahamnya. Ujung ujungnya bisa menimbulkan sengketa.
"Ada 2 pengertian (perpanjangan kontrak) 2 kali 10 itu hak. Tapi pemerintah anggap 2021 boleh saja (disetop), tapi jadi dispute (sengketa), dia bisa ke arbitrase. Nah masalahnya kita bisa menang bisa kalah," jelasnya.
Pengamat pertambangan Iwan Munajat menilai, ada beberapa hal yang akan terjadi bila pemerintah menunggu hingga 2021 untuk mengakuisisi saham PT Freeport Indonesia (PT FI).
Ia juga menyebutkan, tidak ada jaminan Indonesia secara hukum bisa begitu saja menghentikan operasi Freeport (pasal 31). Jika ini terjadi dan terjadi perselisihan (dispute), maka Freeport kemungkinan besar akan mengajukan arbitrase. "Sedangkan, jika melakukan penghentian secara sepihak di 2021, akan dianggap upaya nasionalisasi yang tidak baik untuk upaya menarik investasi dari luar," tutur Iwan.
Selain itu, jika Freeport nanti mengajukan arbitrase, maka tambang bawah tanah akan berhenti operasionalnya, dan secara teknis dapat menyebabkan tambang dalam bahaya runtuh. Sedangkan, pembuatan ulang 1.200 km terowongan akan jauh lebih mahal karena membutuhkan biaya US$ 18 miliar, ditambah dengan biaya infrastuktur yang harus dikeluarkan pemerintah yang kira-kira sebesar US$ 6 miliar.
"Jika tambang bawah tanah berhenti, maka secara teknis akan sulit untuk mengoperasikan Grasberg kembali," tambah Iwan.
Sehingga, Iwan menilai, berdasarkan pertimbangan-pertimbangan itulah, akhirnya pihak Freeport mau diajak bernegosiasi dengan Pemerintah. Sebab, pada dasarnya, dengan pasal 31 tersebut, Freeport juga akan dirugikan.
Dengan pasal itu, Freeport tidak bisa langsung melanjutkan eksploitasi hingga 2x10 tahun karena harus mendapatkan izin pemerintah Indonesia. Jika tidak mendapatkan izin perpanjangan, maka perusahaan itu tidak bisa mengklaim bahwa masih memiliki tambang sampai 2040.
Selain itu, perusahaan juga membutuhkan dana yang besar, karena belanja modal untuk mengelola tambang sangat besar, apalagi dengan terowongan tambang bawah tanah, yang biayanya sekitar US$ 10.000-15.000 per km, adapun panjang Grasberg terhitung sebesar 1.200 km, dan sekarang tambang bawah tanah baru mencapai sekitar 700 km. "Freeport butuh uang banyak, sebab pendapatan saat ini menurun karena produksinya juga menurun," tutur Iwan.
(gus) Next Article Chappy Hakim: Turbulensi Freeport Hingga 'Papa Minta Saham'
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular