Batasan Asing di Perusahaan Switching Perlu Dievaluasi?

Chandra Gian Asmara, CNBC Indonesia
25 July 2018 16:36
Pembatasan besaran kepemilikan saham perusahaan asing di perusahaan switching sebesar 20% jadi keberatan pemerintah AS.
Foto: CNBC Indonesia/Gita Rossiana
Jakarta, CNBC Indonesia - Pembatasan besaran kepemilikan saham perusahaan asing di perusahaan switching sebesar 20% disebut-sebut menjadi salah satu keberatan pemerintah AS.

Keberatan tersebut, pada akhirnya berujung pada evaluasi produk ekspor Indonesia ke negeri Paman Sam yang masuk dalam kategori generalized system of preference (GSP).

GSP sendiri merupakan fasilitas atau hak istimewa yang diberikan kepada produk ekspor dari seluruh negara ke AS, dan sudah diterapkan sejak 1974. Setidaknya, ada 112 negara dan 17 teritori yang memperoleh hak itu.

Indonesia, pun terancam akan kehilangan fasilitas yang dianggap 'mewah' itu apabila tidak bisa menghadirkan solusi bagi pemerintah negara adi daya itu terkait dengan keberatannya.

Lantas, apakah perlu Bank Indonesia (BI) sebagai otoritas sistem pembayaran perlu mengevaluasi batasan tersebut?

Direktur Riset CORE Indonesia Piter Abdullah menilai, apabila batasan tersebut dinaikkan tentu akan berdampak bagi penyelenggara jasa sistem pembayaran.

"Yang harus diingat, memperbesar batas kepemilikan itu mudah, tapi mengubahnya kecil kembali itu sangat susah," kata Piter kepada CNBC Indonesia, Rabu (25/7/2018).

Ekonom INDEF Bhima Yudhistira Adhinegara justru menganggap, batasan tersebut perlu dievaluasi. Sebab, pembatasan asing dalam sistem pembayaran Indonesia dianggap tidak sejalan dengan regulasi yang berlaku.

"Pembatasan asing dalam sistem pembayaran kita tidak sinkron dengan regulasi jasa keuangan lainnya. Asing boleh punya 90% kepemilikan di bank dalam negeri, kenapa di sistem pembayaran dibedakan?," katanya.

Menurut Bhima, kondisi ini sebenarnya pernah terjadi di China pada 2012 lalu. Pada waktu itu, aturan pembatasan kepemilikan yang diterapkan negeri Tirai Bambu pernah mendapatkan gugatan dari perusahaan asing.

"Akhirnya, WTO memutuskan bahwa Union Pay China yang sejenis GPN terbukti melakukan monopoli. Kalau kita, belum bisa disebut monopoli tapi proteksionisme pemain lokal." jelasnya.

Dengan batasan kepemilikan asing sebesar 20%, harus diakui transaksi bisa jauh lebih transparan, efisien, dan bisa terpantau langsung oleh bank sentral sebagai regulator.

"Tetapi kerugiannya, mengubah kondisi persaingan perusahaan jasa pembayaran karena terkesan berpihak pada perusahaan tertentu," tegasnya.

Sebagai informasi, batasan kepemilikan asing telah diatur dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) No 18/40/PBI/2016 tentang Penyelenggaraan Pemrosesan Transaksi Pembayaran atau PTP.

BI mengklaim, aturan ini sebagai salah satu bentuk komitmen untuk mendukung pelaksanaan pembayaran transaksi secara digital yang lebih aman dan jauh lebih efisien.



(dru) Next Article GPN Disebut Biang Kerok Evaluasi GSP AS, BI Buka Suara

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular