Akuisisi Freeport, Pilih Langkah Rasional atau Nasional?

Arys Aditya, CNBC Indonesia
23 July 2018 20:07
Penyelesaian divestasi 51% saham Freeport di antara dua pilihan, mengutamakan nasionalisasi atau memilih langkah rasional
Foto: Antara Foto Muhammad Adimaja via Reuters
Jakarta, CNBC Indonesia- Penandatanganan head of agreement (HoA) antara Direktur Utama PT Indonesia Asahan Aluminium/Inalum (Persero) Budi Gunadi Sadikin dan CEO Freeport McMoran (FCX) Richard Adkerson pada 12 Juli 2018 menimbulkan perdebatan luas.

Salah satu pertanyaan yang paling sering diungkapkan oleh publik, terutama di sosial media, adalah kenapa PT Inalum harus repot-repot mengikat perjanjian jual beli dengan FCX dan Rio Tinto senilai US$ 3,85 miliar alih-alih 'mengambil kelola' tambang Grasberg ketika kontrak PT Freeport Indonesia habis pada 2021?

Guru Besar Ekonomi dan Manajemen Universitas Gajah Mada Fahmi Radhi menjawab pertanyaan tersebut dalam sebuah diskusi, Senin (23/7/2018).



Fahmy memaparkan, untuk memahami transaksi tersebut, harus dipahami terlebih dahulu bahwa Pemerintah terikat yang disebut sebagai kontrak karya dengan PTFI. Secara ringkas, kontrak karya membuat Pemerintah tidak bisa 'sewenang-wenang' terhadap keberadaan PTFI.

Dalam kontrak karya, Pemerintah tidak bisa begitu saja memutuskan operasi PTFI. Keputusan penghentian operasi hanya bisa diambil apabila kedua belah pihak menyepakati pemutusan KK. Apabila pemerintah bersikeras menghentikan operasi PTFI dalam skema KK, maka Indonesia bisa digugat oleh PTFI dan FCX selaku induk usaha di Arbitrase Internasional dan peluang kalah akan semakin besar. 

Selain menanggung denda dari penyelesaian kasus yang tidak kecil, dampak yang lebih berat juga akan mengintai, yakni kepercayaan investor terhadap iklim investasi Indonesia akan luntur. 

"Cara nasionalisasi seperti ini sudah tidak mungkin lagi karena selain kita akan dikucilkan,  pasti akan kena sanksi ekonomi dan tekanan dari dunia internasional, termasuk tentu saja Amerika Serikat," kata Fahmy.

Untuk itu, Pemerintah tidak lagi menggunakan konsep KK dalam pengelolaan pertambangan, melainkan menjadi izin usaha pertambangan khusus (IUPK). Rezim IUPK ini meletakkan Pemerintah tidak lagi memiliki posisi setara dengan PTFI, melainkan lebih tinggi. Kebetulan, KK PTFI akan habis pada 2021.

Perbedaan antara memutuskan secara sepihak pengambilalihan tambang Grasberg di Papua pada 2021 dengan tidak memperpanjang KK adalah Pemerintah telah menjamin kelangsungan usaha PTFI apabila IUPK telah didapatkan. IUPK, sesuai jaminan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, akan diberikan dalam jangka waktu 2 x 10 tahun hingga 2041 oleh Pemerintah.

Untuk mendapatkan IUPK sebagai ganti dari KK, Pemerintah memberikan 4 syarat prinsip yang harus dipenuhi oleh PTFI. Pertama, ramah lingkungan. Kedua, komitmen untuk investasi. Ketiga, pembangunan smelter. Keempat, divestasi saham sebesar 51%.

Berikutnya, jika seandainya PTFI tidak maju di arbitrase, Pemerintah sejatinya juga menanggung ongkos pembelian yang lebih besar apabila menunggu hingga KK PTFI habis pada 2021.

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, pernah menjelaskan hal ini. Apabila nantinya FCX bersedia bahwa kontrak mereka berakhir pada 2021, berdasarkan ketentuan KK, Indonesia tidak akan mendapatkan Grasberg secara gratis. 

Pemerintah harus membeli aset PT FI minimal sebesar nilai buku yang berdasarkan laporan keuangan (audited) dilaporkan sebesar US$ 6 miliar. Hampir sama, Fahmy menyebut nilai buku untuk seluruh aset PTFI di Papua mencapai US$ 6,4 miliar.

"Kalau Inalum mengikat perjanjian dengan FCX dan Rio Tinto sekarang itu mungkin adalah opsi paling rasional dan affordable," kata Fahmy.
(gus) Next Article Blok Mahakam Bisa Gratis, Kenapa RI Harus Bayar di Freeport?

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular