Keuangan Pertamina Seret, Sampai Rugi atau Hanya Turun Laba?
Raditya Hanung & Anastasia Arvirianty, CNBC Indonesia
23 July 2018 11:57

Jakarta, CNBC Indonesia- Menteri Koordinator Perekonomian, Darmin Nasution, mengatakan keuangan PT Pertamina (Persero) tengah seret. Seberapa seretnya kah keuangan pelat merah migas ini?
Keuangan Pertamina yang bermasalah sebenarnya telah diakui oleh direksi. "Tekanan jangka pendek ada, tapi kita juga dibantu pemerintah," kata Direktur Keuangan Pertamina, Arief Budiman, Jumat (20/7/2018).
VP Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito, juga mengakui soal kondisi ini, saat ditanya apakah masalah keuangan timbul karena menanggung 'subsidi' bensin Premium. Adiatma tidak menampik, "Yang saya tahu, memang kemarin sedang dibicarakan oleh 3 Kementerian. BUMN, Keuangan, dan ESDM terkait subsidi ini. "
Ia juga mengatakan, laba Pertamina memang menurun. "Tapi pasti nanti akan dibantu pemerintah, karena Pertamina milik negara."
Informasi yang didapat CNBC Indonesia dari pemangku kepentingan di sektor migas, Pertamina merugi di sektor penjualan BBM hingga US$ 1,2 miliar atau setara Rp 17,4 triliun hingga Juli 2018. Tapi ini dibantah oleh Direktur Keuangan Pertamina, Arief Budiman, "Kami belum finalisasi tapi angka itu tidak benar," katanya.
Tim Riset CNBC Indonesia mencoba menelaah kondisi keuangan BUMN migas terbesar di RI. Harus diakui, neraca keuangan Pertamina saat ini sedang tertekan. Toh, ini juga sudah tercantum dalam surat 29 Juni kemarin "Persetujuan Prinsip Aksi Korporasi untuk mempertahankan Kondisi Kesehatan Keuangan PT Pertamina (Persero)".
(wed) Next Article Keuangan Seret, Pertamina Sekarang Ingin Berhemat Rp 4 T
Keuangan Pertamina yang bermasalah sebenarnya telah diakui oleh direksi. "Tekanan jangka pendek ada, tapi kita juga dibantu pemerintah," kata Direktur Keuangan Pertamina, Arief Budiman, Jumat (20/7/2018).
VP Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito, juga mengakui soal kondisi ini, saat ditanya apakah masalah keuangan timbul karena menanggung 'subsidi' bensin Premium. Adiatma tidak menampik, "Yang saya tahu, memang kemarin sedang dibicarakan oleh 3 Kementerian. BUMN, Keuangan, dan ESDM terkait subsidi ini. "
Informasi yang didapat CNBC Indonesia dari pemangku kepentingan di sektor migas, Pertamina merugi di sektor penjualan BBM hingga US$ 1,2 miliar atau setara Rp 17,4 triliun hingga Juli 2018. Tapi ini dibantah oleh Direktur Keuangan Pertamina, Arief Budiman, "Kami belum finalisasi tapi angka itu tidak benar," katanya.
Lalu apa penyebabnya?
Seperti diketahui, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 191 Tahun 2014, Pertamina memiliki kewajiban untuk mendistribusikan BBM Premium hanya untuk luar Jawa, Madura, dan Bali dengan volume 7,5 juta kiloliter (KL). Namun dengan hadirnya revisi Perpres tersebut, yakni Perpres No. 43 Tahun 2018, kewajiban menyalurkan Premium ini menjadi wajib lagi di Jawa, Madura, dan Bali.
Sehingga yang tadinya wajib distribusi 7,5 juta KL, diperkirakan naik jadi 12,5 juta KL. Tetapi, bensin Premium tidak masuk kategori bensin yang disubsidi pemerintah, sehingga selisih harga ditanggung oleh perusahaan pelat merah ini. Terlebih, harganya dilarang naik sampai 2019 nanti.
Padahal, berdasarkan penelusuran tim riset CNBC Indonesia, laba Pertamina di tahun 2017 sudah mengalami penurunan, didorong oleh naiknya harga minyak mentah global. Sebagai informasi, rata-rata harga minyak jenis Brent berada di kisaran US$45,17/barel di tahun 2016.
Sementara itu, rata-rata harganya di tahun 2017 tercatat sebesar US$54,78/barel. Terjadi peningkatan sebesar 21,27%. Kenaikan harga sang emas hitam tersebut akhirnya mendorong beban pokok penjualan Pertamina meningkat 28,81%, dari semula US$24,16 miliar (Rp338,24 triliun, menggunakan kurs Rp14.000/dolar AS) pada tahun 2016, menjadi US$31,12 miliar (Rp435,68 triliun) di tahun 2017.
Peningkatan beban pokok penjualan sebesar itu banyak disumbang oleh kenaikan beban bahan baku sebesar 21,28%, serta melambungnya beban pembelian produk minyak dan lainnya sebesar 45,3%, dibandingkan dengan capaian tahun 2016.
Belum lagi, ada kebijakan BBM Satu Harga. Kebijakan ini lantas bisa memicu peningkatan beban penjualan dan pemasaran Pertamina sebesar US$230 juta (Rp3,2 triliun) pada tahun 2017.
Memang pendapatan Pertamina masih bisa tumbuh 17,73% dari semula US$36,49 miliar (Rp510,86 triliun) pada 2016, menjadi US$42,96 miliar (Rp601,44 triliun) pada tahun 2017. Namun, pertumbuhan pendapatan ini belum sekencang kenaikan beban pokok korporasi.
Alhasil, mau tidak mau laba bruto Pertamina pun tergerus sebesar 12,06%, dari semula US$8,54 miliar (Rp119,70 triliun) pada tahun 2016, menjadi tinggal US$7,51 miliar (Rp105,2 triliun) pada tahun 2017. Sementara itu, laba bersih Pertamina juga anjlok 19,3%, dari awalnya US$3,16 miliar (Rp44,24 triliun) di tahun 2016, menjadi US$2,55 miliar (Rp35,7 triliun) pada tahun lalu.
Tahun ini, beban Pertamina sudah pasti akan bertambah besar, dengan memasukkan variabel kebijakan populis Jokowi yang menetapkan price ceiling (harga batas atas) pada harga Premium. Pertamina juga "dipaksa" untuk menyuplai Premium ke Jawa, Madura, Bali.
Terlebih, memasuki tahun 2018, harga minyak global masih menanjak pesat. Hingga perdagangan hari Jumat (20/07/2018), harga rata-rata minyak jenis Brent sudah mencapai US$71,60/barel. Hal ini juga mendorong harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) bulan Juni 2018 menjadi sebesar US$70,36/barel.
Kemudian, target realisasi BBM Satu Harga juga naik jadi 73 lokasi. Tidak perlu hitungan finansial yang rumit, secara logika sederhana saja sudah terbaca bahwa neraca keuangan Pertamina bisa bermasalah.
April 2018 lalu, di depan Komisi VII DPR RI, direksi Pertamina mengaku rugi hingga Rp5,5 triliun untuk distribusi Premium dan solar subsidi sepanjang Januari-Februari 2018. Kerugian ini bahkan dinilai bakal lebih besar lagi, akibat kebijakan ditahannya harga Premium hingga 2019.
Untuk bensin solar misalnya, sampai saat ini subsidi yang dikucurkan pemerintah hanya sebesar Rp500 per liter. Dengan kondisi harga minyak yang sudah menyentuh US$70/barel, Pertamina bisa menambal sampai Rp1.920 per liter. Sehingga total kerugian yang ditanggung Pertamina akibat solar mencapai Rp4,3 triliun. Itu hanya dari Januari ke Februari 2018.
Masih berdasarkan data Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII waktu itu, untuk bensin Premium, setidaknya Pertamina menanggung 'subsidi' sendiri Rp1.144 per liternya dan merugi sebesar Rp1 triliun.
Berdasarkan pernyataan eks Direktur Utama Pertamina, Eila Massa Manik, pada awal tahun ini, jika harga minyak naik ke level US$60 per barel, sementara kebijakan harga BBM tetap sepanjang tahun, laba Pertamina hanya US1,7 miliar. Laba itu terus tergerus menjadi US$1 miliar jika harga minyak menyentuh US$70 per barel.
Apabila dibandingkan dengan laba pada tahun 2017, berarti ada potensial kerugian sebesar US$1,55 miliar apabila harga minyak menyentuh US$70/barel, atau setara dengan Rp21,7 triliun. Hangusnya laba sebesar ini bahkan bisa membengkak lebih jauh apabila Pertamina menambah pasokan Premium untuk Jawa, Madura, Bali.
Laba Hangus, Tapi Aman
Penekanannya adalah laba yang hangus besar, tapi penelusuran CNBC Indonesia sejauh ini masih menyimpulkan, keuangan Pertamina masih aman.
Kesehatan arus kas Pertamina sebenarnya masih dapat dibilang aman, yang artinya perusahaan masih memiliki ruang untuk menggali pendanaan.
Pertama, rasio utang terhadap Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization (EBITDA) dari Pertamina memang sedikit memburuk pada tahun 2017, setelah sejak tahun 2014 selalu membaik. Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa Pertamina membukukan rasio sebesar 1,8 pada tahun 2017, atau sedikit naik dari capaian 2016 sebesar 1,4.
Meski demikian angka di tahun 2017 masih cukup jauh dari standar maksimum sebesar 4 kali. Bahkan, jika dibandingkan dengan rasio utang terhadap EBITDA dari sejumlah BUMN yang ada di Indonesia, Pertamina merupakan salah satu yang paling sehat. Sebagai contoh, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), PT PLN, dan PT Aneka Tambang Tbk (Antam), masing-masing memiliki rasio sebesar 4,2, 4,9, dan 6,6 di tahun lalu.
Rasio utang terhadap EBITDA menggambarkan kemampuan perseroan mendongkrak pemasukannya lebih tinggi dibandingkan dengan beban utang yang harus dipikulnya, dan memang menjadi andalan perusahaan pemeringkat untuk mengukur kemungkinan gagal bayar (default) utang yang telah diterbitkan.
Kedua, rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER) menunjukkan perbaikan yang konsisten sejak tahun 2014. Pada tahun 2017 saja, DER Pertamina hanya berkisar 54%, membaik dari tahun sebelumnya sebesar 56%. Angka itu juga masih jauh di bawah rasio 3 kali (300%) yang merupakan ambang batas kesehatan rasio likuiditas sebuah perusahaan.
Terlebih, lagi-lagi Pertamina menjadi salah satu BUMN yang paling sehat di Indonesia. Misalnya, PGN, PLN, dan Antam, masing-masing memiliki rasio DER sebesar 74, 74, dan 51 di tahun 2017. Perusahaan sekelas PT Garuda Indonesia Tbk bahkan membukukan rasio DER sebesar 183 di periode yang sama.
Sebagai informasi, rasio DER mencerminkan daya ungkit atau leverage sebuah perusahaan untuk menggali pendanaan guna mendongkrak kapasitasnya dalam beroleh laba. Tidak hanya rasio DER, rasio leverage lainnya yaitu utang terhadap aset (Debt to Asset Ratio/DAR), juga terlihat semakin membaik.
Kesimpulannya, dengan keuangan perusahaan yang sehat seperti itu, ditambah pemerintah yang seharusnya dapat menginjeksi dana segar dengan tambahan subsidi maupun penyertaan modal (jika diizinkan), keuangan Pertamina masih bisa diselamatkan dan aman. Tidak berpotensi merugi seperti yang dikhawatirkan.
Seperti diketahui, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 191 Tahun 2014, Pertamina memiliki kewajiban untuk mendistribusikan BBM Premium hanya untuk luar Jawa, Madura, dan Bali dengan volume 7,5 juta kiloliter (KL). Namun dengan hadirnya revisi Perpres tersebut, yakni Perpres No. 43 Tahun 2018, kewajiban menyalurkan Premium ini menjadi wajib lagi di Jawa, Madura, dan Bali.
Sehingga yang tadinya wajib distribusi 7,5 juta KL, diperkirakan naik jadi 12,5 juta KL. Tetapi, bensin Premium tidak masuk kategori bensin yang disubsidi pemerintah, sehingga selisih harga ditanggung oleh perusahaan pelat merah ini. Terlebih, harganya dilarang naik sampai 2019 nanti.
Padahal, berdasarkan penelusuran tim riset CNBC Indonesia, laba Pertamina di tahun 2017 sudah mengalami penurunan, didorong oleh naiknya harga minyak mentah global. Sebagai informasi, rata-rata harga minyak jenis Brent berada di kisaran US$45,17/barel di tahun 2016.
Sementara itu, rata-rata harganya di tahun 2017 tercatat sebesar US$54,78/barel. Terjadi peningkatan sebesar 21,27%. Kenaikan harga sang emas hitam tersebut akhirnya mendorong beban pokok penjualan Pertamina meningkat 28,81%, dari semula US$24,16 miliar (Rp338,24 triliun, menggunakan kurs Rp14.000/dolar AS) pada tahun 2016, menjadi US$31,12 miliar (Rp435,68 triliun) di tahun 2017.
Peningkatan beban pokok penjualan sebesar itu banyak disumbang oleh kenaikan beban bahan baku sebesar 21,28%, serta melambungnya beban pembelian produk minyak dan lainnya sebesar 45,3%, dibandingkan dengan capaian tahun 2016.
Belum lagi, ada kebijakan BBM Satu Harga. Kebijakan ini lantas bisa memicu peningkatan beban penjualan dan pemasaran Pertamina sebesar US$230 juta (Rp3,2 triliun) pada tahun 2017.
Memang pendapatan Pertamina masih bisa tumbuh 17,73% dari semula US$36,49 miliar (Rp510,86 triliun) pada 2016, menjadi US$42,96 miliar (Rp601,44 triliun) pada tahun 2017. Namun, pertumbuhan pendapatan ini belum sekencang kenaikan beban pokok korporasi.
Alhasil, mau tidak mau laba bruto Pertamina pun tergerus sebesar 12,06%, dari semula US$8,54 miliar (Rp119,70 triliun) pada tahun 2016, menjadi tinggal US$7,51 miliar (Rp105,2 triliun) pada tahun 2017. Sementara itu, laba bersih Pertamina juga anjlok 19,3%, dari awalnya US$3,16 miliar (Rp44,24 triliun) di tahun 2016, menjadi US$2,55 miliar (Rp35,7 triliun) pada tahun lalu.
Tahun ini, beban Pertamina sudah pasti akan bertambah besar, dengan memasukkan variabel kebijakan populis Jokowi yang menetapkan price ceiling (harga batas atas) pada harga Premium. Pertamina juga "dipaksa" untuk menyuplai Premium ke Jawa, Madura, Bali.
Terlebih, memasuki tahun 2018, harga minyak global masih menanjak pesat. Hingga perdagangan hari Jumat (20/07/2018), harga rata-rata minyak jenis Brent sudah mencapai US$71,60/barel. Hal ini juga mendorong harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) bulan Juni 2018 menjadi sebesar US$70,36/barel.
Kemudian, target realisasi BBM Satu Harga juga naik jadi 73 lokasi. Tidak perlu hitungan finansial yang rumit, secara logika sederhana saja sudah terbaca bahwa neraca keuangan Pertamina bisa bermasalah.
April 2018 lalu, di depan Komisi VII DPR RI, direksi Pertamina mengaku rugi hingga Rp5,5 triliun untuk distribusi Premium dan solar subsidi sepanjang Januari-Februari 2018. Kerugian ini bahkan dinilai bakal lebih besar lagi, akibat kebijakan ditahannya harga Premium hingga 2019.
Untuk bensin solar misalnya, sampai saat ini subsidi yang dikucurkan pemerintah hanya sebesar Rp500 per liter. Dengan kondisi harga minyak yang sudah menyentuh US$70/barel, Pertamina bisa menambal sampai Rp1.920 per liter. Sehingga total kerugian yang ditanggung Pertamina akibat solar mencapai Rp4,3 triliun. Itu hanya dari Januari ke Februari 2018.
Masih berdasarkan data Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII waktu itu, untuk bensin Premium, setidaknya Pertamina menanggung 'subsidi' sendiri Rp1.144 per liternya dan merugi sebesar Rp1 triliun.
Berdasarkan pernyataan eks Direktur Utama Pertamina, Eila Massa Manik, pada awal tahun ini, jika harga minyak naik ke level US$60 per barel, sementara kebijakan harga BBM tetap sepanjang tahun, laba Pertamina hanya US1,7 miliar. Laba itu terus tergerus menjadi US$1 miliar jika harga minyak menyentuh US$70 per barel.
Apabila dibandingkan dengan laba pada tahun 2017, berarti ada potensial kerugian sebesar US$1,55 miliar apabila harga minyak menyentuh US$70/barel, atau setara dengan Rp21,7 triliun. Hangusnya laba sebesar ini bahkan bisa membengkak lebih jauh apabila Pertamina menambah pasokan Premium untuk Jawa, Madura, Bali.
Laba Hangus, Tapi Aman
Penekanannya adalah laba yang hangus besar, tapi penelusuran CNBC Indonesia sejauh ini masih menyimpulkan, keuangan Pertamina masih aman.
Kesehatan arus kas Pertamina sebenarnya masih dapat dibilang aman, yang artinya perusahaan masih memiliki ruang untuk menggali pendanaan.
Pertama, rasio utang terhadap Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization (EBITDA) dari Pertamina memang sedikit memburuk pada tahun 2017, setelah sejak tahun 2014 selalu membaik. Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa Pertamina membukukan rasio sebesar 1,8 pada tahun 2017, atau sedikit naik dari capaian 2016 sebesar 1,4.
Meski demikian angka di tahun 2017 masih cukup jauh dari standar maksimum sebesar 4 kali. Bahkan, jika dibandingkan dengan rasio utang terhadap EBITDA dari sejumlah BUMN yang ada di Indonesia, Pertamina merupakan salah satu yang paling sehat. Sebagai contoh, PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), PT PLN, dan PT Aneka Tambang Tbk (Antam), masing-masing memiliki rasio sebesar 4,2, 4,9, dan 6,6 di tahun lalu.
Rasio utang terhadap EBITDA menggambarkan kemampuan perseroan mendongkrak pemasukannya lebih tinggi dibandingkan dengan beban utang yang harus dipikulnya, dan memang menjadi andalan perusahaan pemeringkat untuk mengukur kemungkinan gagal bayar (default) utang yang telah diterbitkan.
Kedua, rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER) menunjukkan perbaikan yang konsisten sejak tahun 2014. Pada tahun 2017 saja, DER Pertamina hanya berkisar 54%, membaik dari tahun sebelumnya sebesar 56%. Angka itu juga masih jauh di bawah rasio 3 kali (300%) yang merupakan ambang batas kesehatan rasio likuiditas sebuah perusahaan.
Terlebih, lagi-lagi Pertamina menjadi salah satu BUMN yang paling sehat di Indonesia. Misalnya, PGN, PLN, dan Antam, masing-masing memiliki rasio DER sebesar 74, 74, dan 51 di tahun 2017. Perusahaan sekelas PT Garuda Indonesia Tbk bahkan membukukan rasio DER sebesar 183 di periode yang sama.
Sebagai informasi, rasio DER mencerminkan daya ungkit atau leverage sebuah perusahaan untuk menggali pendanaan guna mendongkrak kapasitasnya dalam beroleh laba. Tidak hanya rasio DER, rasio leverage lainnya yaitu utang terhadap aset (Debt to Asset Ratio/DAR), juga terlihat semakin membaik.
Kesimpulannya, dengan keuangan perusahaan yang sehat seperti itu, ditambah pemerintah yang seharusnya dapat menginjeksi dana segar dengan tambahan subsidi maupun penyertaan modal (jika diizinkan), keuangan Pertamina masih bisa diselamatkan dan aman. Tidak berpotensi merugi seperti yang dikhawatirkan.
(wed) Next Article Keuangan Seret, Pertamina Sekarang Ingin Berhemat Rp 4 T
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular