Surat Rini dan Kabar Seretnya Keuangan Pertamina

Gustidha Budiartie & Raditya Hanung, CNBC Indonesia
23 July 2018 10:59
Surat Rini dan Kabar Seretnya Keuangan Pertamina
Foto: CNBC Indonesia/Rivi Satrianegara
Jakarta, CNBC Indonesia- Surat persetujuan prinsip yang diteken oleh Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Rini Soemarno untuk PT Pertamina (Persero), kini menjadi polemik.

Dalam surat yang ditandatangani oleh Menteri Rini pada tanggal 29 Juni 2018 tersebut, terdapat persetujuan bagi Pertamina untuk melakukan 4 aksi korporasi demi menyelamatkan kondisi keuangan perseroan. Salah satu aksi yang direstui Rini adalah share down aset-aset hulu selektif (termasuk namun tidak terbatas pada participating interest, saham kepemilikan, dan bentuk lain) dengan tetap menjaga pengendalian Pertamina untuk aset-aset strategis dan mencari mitra kredibel, dan diupayakan memperoleh nilai strategis lain, seperti akses ke aset hulu di negara lain.

Kemudian, ada pula spin off bisnis Refinery Unit (RU) IV Cilacap dan Unit Bisnis RU V Balikpapan ke anak perusahaan dan potensi farm in mitra di anak perusahaan tersebut yang sejalan dengan rencana Refinery Development Master Plan (RDMP). Tak pelak, langkah Rini langsung menuai protes, bahkan dari karyawan Pertamina sendiri. Pemerintah kini dituding menjual aset Pertamina, yang tidak lain merupakan aset negara.

Sejauh ini, Menteri Rini dan pihak Pertamina membantah bahwa Pertamina akan melego asetnya. "Tulisan For Sale itu tidak tepat. Baca betul surat saya. Bilang tolong dikaji untuk kemungkinan ini, jangan lupa bahwa kontrol tetap harus ada di Pertamina," tegas Rini menanggapi demo karyawan Pertamina yang digelar pada hari Jumat (20/07/2018).



Menurunkan kepemilikan, lebih lanjut dijelaskan oleh Plt Dirut Pertamina Nicke Widyawati, di sini artinya bukan menjual aset. Melainkan memberi kesempatan untuk investor untuk mendapatkan hak partisipasi (Participating Interest) di blok-blok migas yang dimiliki Pertamina. "Blok itu semuanya terbuka untuk kita jual PI-nya. PI itu kan sama-sama men-secure penjualan produk, yang beli men-secure pembelian produk, jadi kemana saja bisa, tergantung itu kan B-to-B murni, kesepakatan ini menarik untuk ini, gitu aja, biasa aja." kata dia.

Meski demikian, sekarang pertanyaan yang muncul adalah apakah benar neraca keuangan Pertamina memang berstatus "kebakaran"? Jika iya, apa benar aksi melepas aset menjadi alat "pemadam kebakaran"? Apa memang tindakan mengurangi kepemilikan, melepas aset, atau apapun itu istilahnya, adalah cara paling ampuh untuk menyelamatkan Pertamina dari jurang kebangkrutan? Untuk menjawab pertanyaan di atas, tim riset CNBC Indonesia akan menelaah berbagai faktor dan situasi yang ada secara satu per satu.

Neraca Pertamina Kebakaran Akibat Kebijakan Populis Jokowi 



Gara-Gara Kebijakan Jokowi dan Naiknya Harga Minyak, Neraca Keuangan "Kebakaran" ?Harus diakui bahwa neraca keuangan Pertamina saat ini sedang tertekan.

Toh, ini juga sudah tercantum dalam surat 29 Juni kemarin "Persetujuan Prinsip Aksi Korporasi untuk Mempertahankan Kondisi Kesehatan Keuangan PT Pertamina (Persero)".

Lalu apa penyebabnya?
Seperti diketahui, berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 191 Tahun 2014, Pertamina memiliki kewajiban untuk mendistribusikan BBM premium hanya untuk luar Jawa, Madura, dan Bali dengan volume 7,5 juta kiloliter (KL).

Namun dengan hadirnya revisi Perpres tersebut, yakni Perpres No. 43 Tahun 2018, kewajiban menyalurkan premium ini menjadi wajib lagi di Jawa, Madura, Bali. Sehingga yang tadinya wajib distribusi 7,5 juta KL, diperkirakan naik jadi 12,5 juta KL. Tetapi, bensin premium tidak masuk kategori bensin yang disubsidi pemerintah, sehingga selisih harga ditanggung oleh perusahaan pelat merah ini. Terlebih, harganya dilarang naik sampai 2019 nanti.

Padahal, berdasarkan penelusuran tim riset CNBC Indonesia, laba Pertamina di tahun 2017 saja sudah mengalami penurunan, didorong oleh naiknya harga minyak mentah global. Sebagai informasi, rata-rata harga minyak jenis Brent berada di kisaran US$45,17/barel di tahun 2016.

Sementara itu, rata-rata harganya di tahun 2017 tercatat sebesar US$54,78/barel. Terjadi peningkatan sebesar 21,27%. Kenaikan harga sang emas hitam tersebut akhirnya mendorong beban pokok penjualan Pertamina meningkat 28,81%, dari semula US$24,16 miliar (Rp338,24 triliun, menggunakan kurs Rp14.000/dolar AS) pada tahun 2016, menjadi US$31,12 miliar (Rp435,68 triliun) di tahun 2017.

Peningkatan beban pokok penjualan sebesar itu banyak disumbang oleh kenaikan beban bahan baku sebesar 21,28%, serta melambungnya beban pembelian produk minyak dan lainnya sebesar 45,3%, dibandingkan dengan capaian tahun 2016.

Belum lagi, ada kebijakan BBM Satu Harga. Presiden Joko Widodo menargetkan ada 50 titik area yang menerima kebijakan ini, khususnya di wilayah Papua, Sulawesi, dan Maluku, pada tahun 2017.

Kebijakan ini lantas memicu peningkatan beban penjualan dan pemasaran Pertamina sebesar US$230 juta (Rp3,2 triliun) pada tahun 2017. Memang pendapatan Pertamina masih bisa tumbuh 17,73% dari semula US$36,49 miliar (Rp510,86 triliun) pada 2016, menjadi US$42,96 miliar (Rp601,44 triliun) pada tahun 2017.

Namun, pertumbuhan pendapatan ini belum sekencang kenaikan beban pokok korporasi.Alhasil, mau tidak mau laba bruto Pertamina pun tergerus sebesar 12,06%, dari semula US$8,54 miliar (Rp119,70 triliun) pada tahun 2016, menjadi tinggal US$7,51 miliar (Rp105,2 triliun) pada tahun 2017. Sementara itu, laba bersih Pertamina juga anjlok 19,3%, dari awalnya US$3,16 miliar (Rp44,24 triliun) di tahun 2016, menjadi US$2,55 miliar (Rp35,7 triliun) pada tahun lalu.

Surat Rini, Aksi Penyelamatan atau

Tahun ini, beban Pertamina sudah pasti akan bertambah besar, dengan memasukkan variabel kebijakan populis Jokowi yang menetapkan price ceiling (harga batas atas) pada harga premium.

Pertamina juga "dipaksa" untuk menyuplai premium ke Jawa, Madura, Bali. Terlebih, memasuki tahun 2018, harga minyak global masih menanjak pesat. Hingga perdagangan hari Jumat (20/07/2018), harga rata-rata minyak jenis Brent sudah mencapai US$71,60/barel. Hal ini juga mendorong harga minyak mentah Indonesia (Indonesia Crude Price/ICP) bulan Juni 2018 menjadi sebesar US$70,36/barel.

Kemudian, target realisasi BBM Satu Harga juga naik jadi 73 lokasi. Tidak perlu hitungan finansial yang rumit, secara logika sederhana saja sudah terbaca bahwa neraca keuangan Pertamina bisa semakin berdarah-darah. April 2018 lalu, di depan Komisi VII DPR RI, direksi Pertamina mengaku rugi hingga Rp5,5 triliun untuk distribusi premium dan solar subsidi sepanjang Januari-Februari 2018.

Kerugian ini bahkan dinilai bakal lebih besar lagi, akibat kebijakan ditahannya harga premium hingga 2019. Untuk bensin solar misalnya, sampai saat ini subsidi yang dikucurkan pemerintah hanya sebesar Rp500 per liter. Dengan kondisi harga minyak yang sudah menyentuh US$70/barel, Pertamina bisa menambal sampai Rp1.920 per liter. Sehingga total kerugian yang ditanggung Pertamina akibat solar mencapai Rp4,3 triliun.

Itu hanya dari Januari ke Februari 2018. Masih berdasarkan data Rapat Dengar Pendapat (RDP) Komisi VII waktu itu, untuk bensin premium, setidaknya Pertamina menanggung 'subsidi' sendiri Rp1.144 per liternya dan merugi sebesar Rp1 triliun. Berdasarkan pernyataan eks Direktur Utama Pertamina, Eila Massa Manik, pada awal tahun ini, jika harga minyak naik ke level US$60 per barel, sementara kebijakan harga BBM tetap sepanjang tahun, laba Pertamina hanya US1,7 miliar.

Laba itu terus tergerus menjadi US$1 miliar jika harga minyak menyentuh US$70 per barel. Apabila dibandingkan dengan laba pada tahun 2017, berarti ada potensial kerugian sebesar US$1,55 miliar apabila harga minyak menyentuh US$70/barel, atau setara dengan Rp21,7 triliun. Hangusnya laba sebesar ini bahkan bisa membengkak lebih jauh apabila Pertamina menambah pasokan premium untuk Jawa, Madura, Bali.
Setidaknya, ada dua hipotesis yang sejauh ini berkembang. Yang pertama, Pertamina memang terpaksa melego asetnya untuk menambal beban operasional yang bengkak akibat kebijakan populis Jokowi yang dijelaskan sebelumnya. Kedua, seperti kata Vice President Corporate Communication Pertamina, Adiatma Sardjito, pelepasan aset sebagai upaya menyehatkan portofolio investasi, sehingga Pertamina tidak memiliki kecondongan risiko pada satu aset tertentu.Mari kita kupas dari hipotesis yang pertama.

Jika memang tujuan melego aset adalah untuk memadamkan “kebakaran” pada neraca keuangan Pertamina, nampaknya kebijakan ini cenderung keliru. Pendiri Reforminer Pri Agung Rakhmanto mengingatkan beban Pertamina saat ini lebih di sektor hilir, seperti distribusi BBM. Sementara dengan share down, itu butuh waktu. "Baik untuk mendapatkan pembeli dengan harga yang bagus maupun mekanisme eksekusinya sendiri. Share down berarti juga mengurangi potensi penerimaan Pertamina ke depan," kata dia. 

Solusinya, lanjut Pri, mestinya memang dari pemerintah yakni terkait kebijakan subsidi BBM. "Beban subsidi itu porsi APBN. Tidak pada tempatnya ditanggung Pertamina ataupun badan usaha yg lain".Memang benar, jika api yang “membakar” neraca keuangan Pertamina ternyata disulut oleh pemerintah, maka pemerintah jugalah yang seharusnya mengambil peran sebagai “pemadam kebakaran”. Tapi, sebenarnya bukan berarti pemerintah juga hanya berdiam diri selama ini.

Pada sisa tahun 2018 ini saja, Kementerian Keuangan memastikan tetap akan menambah alokasi subsidi solar menjadi Rp2.000 per liter meskipun tanpa melakukan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara-Perubahan (APBN-P) 2018. Bahkan, pada tahun 2019 yang menjadi tahun politik, subsidi solar bisa sampai Rp2.500 per liter.

Memang, untuk subsidi premium, sejauh ini belum ada intervensi dari pemerintah. Namun, secara kapasitas, pemerintah sebenarnya punya kekuatan yang besar. Pasalnya, mengutip data sensitivitas APBN 2018, setiap kenaikan ICP US$ 1/ barel, penerimaan negara akan naik sekitar Rp3,4 triliun - Rp3,9 triliun. Sementara belanja, akan meningkat sekitar Rp2,4 - Rp3,7 triliun.

Alhasil, pemerintah dapat menikmati surplus sebesar Rp0,3 triliun-Rp1 triliun per kenaikan sebesar Sementara itu, pelemahan rupiah juga menjadi berkah bagi APBN. Setiap penguatan dolar Amerika Serikat (AS) sebesar Rp100/US$ di atas asumsi pemerintah, maka penerimaan negara bertambah Rp3,8 triliun - Rp5,1 triliun, belanja pun bertambah Rp2,2 triliun - Rp3,4 triliun.

Dengan demikian, pemerintah dapat surplus Rp1,6-1,7 triliun per penguatan dolar AS sebesar Rp100/US$.Hingga perdagangan hari Jumat (20/07/2018), rata-rata nilai tukar rupiah berada di kisaran Rp13.827,05 per dolar AS di sepanjang tahun berjalan (year to date/YTD). Artinya, ada kelebihan sekitar Rp427,05 dari asumsi APBN 2018 sebesar Rp13.400/dolar AS.

Alhasil, secara ceteris paribus APBN 2018 mendapat limpahan durian runtuh sebesar Rp6,83-7,26 triliun. Tambahan ini diperoleh tanpa kerja keras, hanya dari pelemahan nilai tukar rupiah.Kemudian, dengan rata-rata ICP dari bulan Januari-Juni 2018 sebesar US$66,55, maka ada kelebihan sebesar US$18,55/barel dari asumsi APBN 2018 sebesar US$48/barel. Dengan demikian, secara ceteris paribus, tambahan untuk pendapatan negara bisa mencapai Rp5,6-18,55 triliun. 

Apabila mengambil angka tengahnya saja, dari melesetnya asumsi makro di dua komponen itu saja, pendapatan “cuma-cuma” negara bisa meningkat setidaknya sebesar Rp19 triliun. Pendapatan itu bahkan bisa lebih besar lagi jika pemerintah bisa menjaga asumsi makro lainnya, seperti pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan realisasi lifting migas.


Pemerintah Bisa Selamatkan Pertamina Tanpa Jual Aset
Dengan melihat fakta demikian, sebenarnya pemerintah punya kapasitas untuk menyelamatkan Pertamina, tanpa harus membuat perusahaan pelat merah tersebut mengorbankan aset hulunya hanya demi menyelamatkan bisnis hilirnya.

Lanjut ke hipotesis yang kedua, untuk menyehatkan portfolio investasi Pertamina. Seperti yang dibilang Plt. Dirut Pertamina Nicke Widyawati, penjualan PI maupun farm in sebenarnya adalah aksi korporasi biasa saja. Hal ini menjadi wajar di saat Pertamina mendapat limpahan blok-blok migas terminasi. Seperti diketahui, pemerintah menyerahkan pengelolaan delapan blok migas terminasi kepada Pertamina pada tahun ini. Sebagai tambahan, Pertamina juga akan mengelola sejumlah blok migas terminasi pada 2019.  

Untuk di sektor hilir, Pertamina juga sedang merevitalisasi empat kilang minyak eksisting, yakni Kilang Cilacap, Kilang Balikpapan, Kilang Dumai, dan Kilang Balongan. Selain itu, Pertamina juga membangun dua kilang baru, yaitu Kilang Tuban dan Kilang Bontang dengan investasi hingga puluhan triliun rupiah.

Tidak bisa dipungkiri, bahwa korporasi butuh menginjeksikan kapital yang cukup besar.Tapi pertanyaannya, apakah kebijakan share down sudah cukup bijak?  Apalagi jika ternyata aset-aset yang akan dilego  merupakan aset yang produktif, justru akan menekan pendapatan Pertamina sendiri ke depannya, seperti disinggung oleh Pri Agung Rakhmanto di atas.

Sebagai contoh, Menteri ESDM Ignasius Jonan mengatakan dengan diberikannya pengelolaan blok Mahakam, semestinya dapat meningkatkan produksi Pertamina sekitar 159 ribu Barrel of Oil Equivalent per Day (BOEPD), dengan rincian minyak sekitar 50 ribu barel/hari dan gas 100 ribu CFD. 

Sehingga, menurut perhitungannya, pendapatan bersih Pertamina setelah split dengan pemerintah dan recovery, dapat mencapai US$600 juta (Rp8,4 triliun). Dengan wacana dilepasnya saham partisipasi blok tersebut, sudah pasti akan menggerus pendapatan Pertamina yang seharusnya sebesar itu.

Lalu, untuk potensi farm in di kilang milik Pertamina juga terdengar ironis. Di saat Pertamina harus menambah pasokan BBM, untuk mengurangi beban impornya, malahan harus berkurang produknya. Artinya, Pertamina justru akan semakin tidak bisa lepas dari lingkaran setan importase produk minyak untuk memenuhi kebutuhan BBM dalam negeri.Memang, Pertamina akan mendapatkan dana segar yang tidak sedikit dari hasil share down.

Selain itu, dengan adanya mitra yang kompeten, ada peluang untuk efisiensi biaya produksi, bahkan hingga transfer teknologi. Tapi semua itu kembali kepada siapa pihak yang akan membeli aset yang ditawarkan perseroan. Jika pihak tersebut ternyata membeli aset Pertamina dengan harga yang lebih rendah dari yang ditawarkan, ditambah kemudian kinerjanya juga seadanya, pastinya Pertamina akan rugi besar.

Apalagi ini sedang membicarakan aset negara yang tentunya lebih sensitif daripada sekedar aset perusahaan swasta.Hal ini sudah diwanti-wanti oleh mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu, yang menyatakan bahwa Pertamina harus berhati-hati terkait pihak yang akan membeli aset yang ditawarkan perseroan. 

"Hati-hati dengan penumpang gelap karena tahun politik. Penumpang gelap itu orang-orang yang biasanya datang, pendekatan politik, membeli aset bekerja sama dengan Pertamina, dengan tanda kutip yang diarahkan untuk kepentingan politik," kata Said Didu, seperti dikutip dari Detik Finance, Kamis (19/07/2018)."Situasi di atas lantas menggambarkan seberapa besarnya risiko yang harus ditanggung Pertamina saat melepas asetnya kelak. Padahal, berdasarkan penelitian Tim Riset CNBC Indonesia, kesehatan arus kas Pertamina sebenarnya masih dapat dibilang aman, yang artinya perusahaan masih memiliki ruang untuk menggali pendanaan tanpa harus melego asetnya. 

Surat Rini, Aksi Penyelamatan atau Penjerumusan Pertamina?

Pertama, rasio utang terhadap Earnings Before Interest, Taxes, Depreciation, and Amortization (EBITDA) dari Pertamina memang sedikit memburuk pada tahun 2017, setelah sejak tahun 2014 selalu membaik.

Berdasarkan data di atas, terlihat bahwa Pertamina membukukan rasio sebesar 1,8 pada tahun 2017, atau sedikit naik dari capaian 2016 sebesar 1,4. Meski demikian angka di tahun 2017 masih cukup jauh dari standar maksimum sebesar 4 kali. Bahkan, jika dibandingkan dengan rasio utang terhadap EBITDA dari sejumlah BUMN yang ada di Indonesia, Pertamina merupakan salah satu yang paling sehat.

Sebagai contoh, PT PGN, PT PLN, dan PT ANTAM, masing-masing memiliki rasio sebesar 4,2, 4,9, dan 6,6 di tahun lalu. Rasio utang terhadap EBITDA menggambarkan kemampuan perseroan mendongkrak pemasukannya lebih tinggi dibandingkan dengan beban utang yang harus dipikulnya, dan memang menjadi andalan perusahaan pemeringkat untuk mengukur kemungkinan gagal bayar (default) utang yang telah diterbitkan.

Kedua, rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER) menunjukkan perbaikan yang konsisten sejak tahun 2014. Pada tahun 2017 saja, DER Pertamina hanya berkisar 54%, membaik dari tahun sebelumnya sebesar 56%. Angka itu juga masih jauh di bawah rasio 3 kali (300%) yang merupakan ambang batas kesehatan rasio likuiditas sebuah perusahaan.

Terlebih, lagi-lagi Pertamina menjadi salah satu BUMN yang paling sehat di Indonesia. Misalnya, PT PGN, PT PLN, dan PT ANTAM, masing-masing memiliki rasio DER sebesar 74, 74, dan 51 di tahun 2017. Perusahaan sekelas PT Garuda Indonesia bahkan membukukan rasio DER sebesar 183 di periode yang sama.

Sebagai informasi, rasio DER mencerminkan daya ungkit atauleverage sebuah perusahaan untuk menggali pendanaan guna mendongkrak kapasitasnya dalam beroleh laba. Tidak hanya rasio DER, rasioleverage lainnya yaitu utang terhadap aset (Debt to Asset Ratio/DAR), juga terlihat semakin membaik.

Kesimpulannya, dengan keuangan perusahaan yang sehat seperti itu, ditambah pemerintah yang seharusnya dapat menginjeksi dana segar, aksi korporasi Pertamina untuk melego sebagian asetnya bisa dinilai terlalu dini. Jadi, mungkin demo sejumlah karyawan Pertamina pada akhir pekan lalu, ada benarnya.

Jangan sampai kebijakan yang dinilai pemerintah tokcer, malah jadi blunder yang merugikan negara.
Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular