Piala Dunia 2018

Sepakbola Level Klub Kian Menarik, Magis Piala Dunia Pudar?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 July 2018 16:53
Sepakbola Level Klub Kian Menarik, Magis Piala Dunia Pudar?
Foto: Arie Pratama
Jakarta, CNBC Indonesia - Ingar-bingar Piala Dunia 2018 hampir mencapai puncaknya. Malam nanti, akan digelar partai pamungkas di Rusia 2018 yang mempertemukan Prancis dan Kroasia. 

Namun bagi sebagian orang (atau banyak, entahlah) Piala Dunia tidak menawarkan kesenangan yang paripurna. Justru sebagian orang ini lebih menyukai dinamika sepakbola yang terjadi di level klub, terutama di Eropa. 

Sir Alex Ferguson, eks manajer Manchester United, pernah berseloroh bahwa Piala Dunia adalah ajang rutin yang agak menyebalkan. Ferguson mengibaratkannya bagai pergi ke dokter gigi, sesuatu yang wajib dilakukan tetapi hanya sebuah rutinitas yang membosankan atau kadang malah menyakitkan. 

"Enam Piala Dunia terakhir ibarat pergi ke dokter gigi. Di Liga Champions Eropa, Anda akan lebih banyak mendapatkan pertandingan yang luar biasa," tegas Ferguson dalam sebuah kesempatan pada 2010, dikutip dari Reuters. 

Dalam era sepakbola yang sudah menjelma menjadi industri berskala besar, ada yang merasa sepakbola level internasional menjadi liliput di hadapan Gulliver. Contoh, seorang Sergio Romero atau Willy Caballero sering menjadi pilihan utama di tim nasional Argentina. Namun di klubnya masing-masing, mereka adalah penghuni setia bangku cadangan.

Buat seorang kiper, menghuni bangku cadangan artinya penampilan di setiap musim bisa dihitung jari. Romero bergabung ke Manchester United pada 2015. Tiga tahun kemudian, dia cuma tujuh kali tampil menjaga gawang Setan Merah. Kalau tidak ada apa-apa terhadap David de Gea, jangan harap Romero bisa bermain. 

Bersama klub, seorang pemain juga seringkali lebih mampu mengeluarkan kemampuan terbaiknya. Penampilan Lionel Messi di Barcelona begitu menyihir dan membuat betah mata yang menyaksikannya. Performa magis Messi membuatnya diganjar gelar Ballon d'Or lima kali. 

Kalau saja ukurannya penampilan bersama tim nasional, mungkin satu Ballon d'Or saja tida bisa didapat Messi. Argentina sulit memperoleh gelar baik Piala Dunia mapu Copa America walau sudah ada Messi. Sebabnya ya karena di tim nasional tidak ada pemain yang bisa mendukung Messi sehingga kemampuan terbaiknya tidak terlihat. 

Kemudian, seperti kata Ferguson, sepakbola antar klub sering sering menyajikan partai-partai seru. Katakanlah di Inggris, saat ini setidaknya ada enam klub besar (Manchester City, Tottenham Hostspur, Manchester United, Liverpool, Chelsea, Arsenal). Setiap kali mereka bertemu, minimal dua kali dalam semusim, pasti akan menarik minat jutaan penggemar sepakbola.

Itu baru di Inggris, belum masuk Liga Champions yang disebutkan Ferguson. Permutasinya lebih banyak lagi.

Dari sisi finansial, sepakbola di level klub juga jauh lebih seksi. Pada musim 2016/2017, pagelaran Liga Champions Eropa berhasl memperoleh pemasukan sebesar 2,09 miliar euro (Rp 35,15 triliun dengan kurs sekarang). Naik 2,75% dibandingkan musim sebelumnya. 

Untuk musim depan, Federasi Sepakbola Eropa (EUFA) menawarkan hadiah yang menggiurkan bagi para peserta Liga Champions. Total hadiah yang disediakan UEFA mencapai 2,04 miliar euro (Rp 34,32 triliun). Bagi klub juara Liga Champions musim 2018/2019, hadiahnya pun fantastis yaitu mencapai 54,5 juta euro (Rp 916,89 miliar). 

Bagi klub yang lolos ke Liga Champions, jaminan kenaikan pendapatan sudah di depan mata. Tidak hanya mendapat 'subsidi' UEFA, sponsor pun mengantre jika klub bisa tampil di Liga Champions. Pendapatan dari tiket masuk pun bisa naik karena stadion akan lebih banyak digunakan. 

Sementara Federasi Sepakbola Dunia (FIFA), mengutip CNBC Internasional, diperkirakan meraup US$ 6 miliar (Rp 86,28 triliun) dari gelaran Rusia 2018. Dari jumlah tersebut FIFA diperkirakan mengantongi keuntungan sekitar US$ 2,6 miliar (Rp 37,39 triliun). 

Dengan keuntungan yang begitu besar, berapa yang didistribusikan kepada negara-negara peserta? US$ 400 juta (Rp 5,75 triliun) saja. Berapa yang didapat peraih Piala Dunia? US$ 39,5 juta (Rp 568,01 miliar) saja. 

Tidak heran FIFA mendapat sorotan soal keuangan. Bahkan Biro Investasi Federal Amerika Serikat (FBI) sempat masuk mengusut praktik suap dalam pemilihan tuan rumah Piala Dunia. 


Namun, Piala Dunia ternyata tetap menyuguhkan kharisma yang berbeda. Di level klub, dominasi kekuatan besar semakin terasa. Mereka yang kaya semakin kaya karena distribusi keuntungan yang berpihak kepada yang disukai pasar.  

Barcelona dan Real Madrid pasti mendapat uang hak siar yang lebih besar ketimbang Espanyol atau Rayo Vallecano karena lebih mampu menyedot animo penonton. Itu terjadi setiap tahun sehingga Barcelona dan Real Madrid semakin kaya, bisa membeli pemain-pemain top berharga mahal, jauh meninggalkan klub-klub lain di La Liga. 

Piala Dunia memberikan jeda dari urusan uang. Piala Dunia adalah urusan gairah. Mengutip Reuters, tidak pernah 99,6% penonton di Islandia menyaksikan acara yang sama yaitu pertandingan Islandia kontra Argentina di Rusia 2018. Piala Dunia menyatukan satu negara. 

Berkat Piala Dunia pula kota Mexico City dilanda gempa mini. Getaran tercipta akibat orang-orang di ibukota Maksiko itu melompat-lompat secara bersamaan saat Hirving Lozano membobol gawang Jerman di partai pembuka Grup F. Kegembiraan rakyat Meksiko telah mengguncang seisi kota, mengguncang dalam arti harfiah. 

Oleh karena itu, meski sepakbola di level klub semakin menarik, tetapi tidak (atau belum, siapa yang tahu?) mencapai level gairah yang sama dengan Piala Dunia. Gairah yang mampu membuat satu negara berbagi perasaan yang sama.

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular