
5 Proyek Ini Hindari RI Jadi Importir Gas di Masa Depan
Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
09 July 2018 11:06

Jakarta, CNBC Indonesia- Agensi energi internasional (International Energy Agency/IEA) memprediksi Indonesia akan menjadi importir gas mulai 2040. Karena konsumsi yang meningkat dan tidak didukung oleh produksi yang memadai.
Pertanyaan ini juga diutarakan oleh Chairman The Sasaka Peace Foundation Nobuo Tanaka, yang juga merupakan mantan Direktur Eksekutif IEA kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan, di dalam forum pada acara 27th World Gas Conference, Washington DC, Rabu (27/6/2018).
Sebenarnya apa yang disampaikan IEA senada dengan dokumen Indonesia Energy Outlook 2016 yang disusun oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Berdasarkan proyeksi DEN, permintaan gas dalam negeri akan meningkat hingga 198 juta tonne of oil equivalent (ToE) dengan skenario Business as Usual (BAU), 180 juta ToE dengan skenario Alternatif I (ALT 1), dan 234 juta ToE dengan skenario Alternatif II (ALT 2), pada tahun 2050.
Sebagai informasi, skenario BAU menggunakan asumsi dasar pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) moderat 5,6% per tahun, skenario ALT 1 menggunakan asumsi dasar pertumbuhan PDB moderat 5,6%, dengan penerapan teknologi Energi Baru Terbarukan (EBT), dan skenario ALT 2 memakai asumsi dasar pertumbuhan PDB tinggi 7,1% dan penerapan EBT.
Untuk memenuhi kebutuhan semasif tersebut, produksi gas tanah air yang saat ini sebesar 2,3 juta barel setara minyak (BoE)/hari atau kira-kira 839,5 juta BoE/tahun (setara 125,92 juta ToE/tahun) tentunya memang tidak akan mencukupi. Untuk memenuhi proyeksi skenario BaU tahun 2050 saja, Indonesia setidaknya membutuhkan tambahan produksi sebesar 72,08 juta ToE. Apabila memang Indonesia produksi Indonesia tidak dapat digenjot lebih besar, otomatis Indonesia akan membuka kran impor.
Berdasarkan laporan tahunan Kementerian ESDM Tahun 2017, saat ini produksi gas Indonesia disokong oleh 10 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) utama.
10 besar KKKS tersebut menyumbang produksi gas bumi rata-rata sebesar 6.053 Million Standard Cubic Feet of Gas per Day (MMSCFD), atau setara dengan 55,11 juta ToE/tahun. Selain lapangan tersebut, terdapat beberapa KKKS yang on stream di sepanjang tahun 2017, di antaranya Husky CNOOC Madura Ltd. dan PT Tropik Energi Pandan, masing-masing menyumbang produksi gas sebesar 0,27 juta ToE/tahun dan 0,003 juta ToE/tahun.
Namun, mengandalkan sejumlah KKKS di atas saja nampaknya tidak akan cukup. Oleh karena itu, pemerintah telah menetapkan 5 proyek hulu gas, yang bahkan ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional, dan tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 58 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Perpres No.3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Kelima proyek tersebut adalah Pengembangan Lapangan Abadi Wilayah Kerja Masela, Indonesia Deepwater Development Project/IDD, Proyek Tangguh LNG Train 3, Pengembangan Lapangan Jangkrik dan Jangkrik North East Wilayah Kerja Muara Bakau, dan Pengembangan Lapangan Unitisasi Gas Jambaran-Tiung Biru.
Dari kelima proyek tersebut, Lapangan Abadi memiliki kapasitas produksi terbesar, yakni mencapai 6,97 triliun kaki kubik, atau setara dengan 19.140 MMSCD. Proyek gas ini memang digadang-gadang akan menjadi proyek gas terbesar di dunia. Capaian tersebut disusul oleh proyek IDD dengan kapasitas produksi sebesar 1.230 MMSCFD.
Apabila kapasitas produksi kelima proyek strategis gas tersebut ditotal, maka jumlahnya mencapai 21.850 MMSCFD, atau setara dengan 198,92 juta ToE. Jumlah sebesar itu tentunya akan sangat menutupi gap kebutuhan gas Indonesia sebesar 72,08 juta ToE dengan skenario BAU (seperti yang diproyeksikan DEN). Bahkan, saat digunakan skenario ALT 2 (PDB tumbuh 7,1%), gap kebutuhan gas sebesar 108,08 juta ToE pun dapat dengan mudah diatasi.
Namun, tentu situasi tersebut adalah dengan catatan kapasitas produksi dari kelima proyek tersebut dapat dioptimalkan. Sebagai tambahan, nilai investasi yang perlu dikeluarkan tidak kecil, yakni total mencapai US$41,25 miliar, atau sekitar Rp577,5 triliun (kurs 14.000). Jumlah sebesar itu setara dengan 26% dari total belanja pemerintah pada APBN 2018.
Tapi seperti diketahui, beberapa dari proyek 'juru selamat' ini masih terhambat di antaranya pengembangan IDD Chevron yang bolak balik revisi proposal dan juga blok Masela. Dua proyek kunci ini, perlu segera ditentukan nasibnya jika Indonesia masih mau menggunakan predikat "Indonesia Bebas Impor Gas Hingga 2050".
(gus/gus) Next Article Dua Blok Gas Raksasa RI Mangkrak, Padahal RI Butuh Banyak Gas
Pertanyaan ini juga diutarakan oleh Chairman The Sasaka Peace Foundation Nobuo Tanaka, yang juga merupakan mantan Direktur Eksekutif IEA kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan, di dalam forum pada acara 27th World Gas Conference, Washington DC, Rabu (27/6/2018).
Sebenarnya apa yang disampaikan IEA senada dengan dokumen Indonesia Energy Outlook 2016 yang disusun oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Berdasarkan proyeksi DEN, permintaan gas dalam negeri akan meningkat hingga 198 juta tonne of oil equivalent (ToE) dengan skenario Business as Usual (BAU), 180 juta ToE dengan skenario Alternatif I (ALT 1), dan 234 juta ToE dengan skenario Alternatif II (ALT 2), pada tahun 2050.
![]() |
Untuk memenuhi kebutuhan semasif tersebut, produksi gas tanah air yang saat ini sebesar 2,3 juta barel setara minyak (BoE)/hari atau kira-kira 839,5 juta BoE/tahun (setara 125,92 juta ToE/tahun) tentunya memang tidak akan mencukupi. Untuk memenuhi proyeksi skenario BaU tahun 2050 saja, Indonesia setidaknya membutuhkan tambahan produksi sebesar 72,08 juta ToE. Apabila memang Indonesia produksi Indonesia tidak dapat digenjot lebih besar, otomatis Indonesia akan membuka kran impor.
Berdasarkan laporan tahunan Kementerian ESDM Tahun 2017, saat ini produksi gas Indonesia disokong oleh 10 Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) utama.
10 besar KKKS tersebut menyumbang produksi gas bumi rata-rata sebesar 6.053 Million Standard Cubic Feet of Gas per Day (MMSCFD), atau setara dengan 55,11 juta ToE/tahun. Selain lapangan tersebut, terdapat beberapa KKKS yang on stream di sepanjang tahun 2017, di antaranya Husky CNOOC Madura Ltd. dan PT Tropik Energi Pandan, masing-masing menyumbang produksi gas sebesar 0,27 juta ToE/tahun dan 0,003 juta ToE/tahun.
Namun, mengandalkan sejumlah KKKS di atas saja nampaknya tidak akan cukup. Oleh karena itu, pemerintah telah menetapkan 5 proyek hulu gas, yang bahkan ditetapkan sebagai Proyek Strategis Nasional, dan tercantum dalam Peraturan Presiden (Perpres) No. 58 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Perpres No.3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional.
Kelima proyek tersebut adalah Pengembangan Lapangan Abadi Wilayah Kerja Masela, Indonesia Deepwater Development Project/IDD, Proyek Tangguh LNG Train 3, Pengembangan Lapangan Jangkrik dan Jangkrik North East Wilayah Kerja Muara Bakau, dan Pengembangan Lapangan Unitisasi Gas Jambaran-Tiung Biru.
![]() |
Dari kelima proyek tersebut, Lapangan Abadi memiliki kapasitas produksi terbesar, yakni mencapai 6,97 triliun kaki kubik, atau setara dengan 19.140 MMSCD. Proyek gas ini memang digadang-gadang akan menjadi proyek gas terbesar di dunia. Capaian tersebut disusul oleh proyek IDD dengan kapasitas produksi sebesar 1.230 MMSCFD.
Apabila kapasitas produksi kelima proyek strategis gas tersebut ditotal, maka jumlahnya mencapai 21.850 MMSCFD, atau setara dengan 198,92 juta ToE. Jumlah sebesar itu tentunya akan sangat menutupi gap kebutuhan gas Indonesia sebesar 72,08 juta ToE dengan skenario BAU (seperti yang diproyeksikan DEN). Bahkan, saat digunakan skenario ALT 2 (PDB tumbuh 7,1%), gap kebutuhan gas sebesar 108,08 juta ToE pun dapat dengan mudah diatasi.
Namun, tentu situasi tersebut adalah dengan catatan kapasitas produksi dari kelima proyek tersebut dapat dioptimalkan. Sebagai tambahan, nilai investasi yang perlu dikeluarkan tidak kecil, yakni total mencapai US$41,25 miliar, atau sekitar Rp577,5 triliun (kurs 14.000). Jumlah sebesar itu setara dengan 26% dari total belanja pemerintah pada APBN 2018.
Tapi seperti diketahui, beberapa dari proyek 'juru selamat' ini masih terhambat di antaranya pengembangan IDD Chevron yang bolak balik revisi proposal dan juga blok Masela. Dua proyek kunci ini, perlu segera ditentukan nasibnya jika Indonesia masih mau menggunakan predikat "Indonesia Bebas Impor Gas Hingga 2050".
(gus/gus) Next Article Dua Blok Gas Raksasa RI Mangkrak, Padahal RI Butuh Banyak Gas
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular