Habis Lebaran, Indonesia Harus Waspada Harga Minyak Dunia

Rivi Satrianegara, CNBC Indonesia
12 June 2018 15:28
Saat Indonesia libur lebaran, situasi pasar global minyak dunia justru memanas karena akan digelarnya sidang OPEC di Wina.
Foto: skkmigas.go.id
Jakarta, CNBC Indonesia- Saat pemerintahan negeri ini belum berjalan optimal karena libur lebaran, dan para pemangku kepentingan masih sibuk halal bi halal, pasar global justru sedang kasak kusuk menanti nasib harga minyak dunia ke depan.

Ini terkait akan digelarnya sidang OPEC ke 174 di Wina, yang berlangsung 22 Juni mendatang.Namun, sebelum negara produsen dan eksportir minyak raksasa dunia ini bersidang akan digelar seminat terlebih dulu pada 20-21 Juni yang tak kalah pentingnya.



Kepada Divisi Teknologi dan Pengembangan Lapangan SKK Migas Benny Lubiantara memaparkan ada beberapa isu yang menjadi perhatian pelaku pasar soal kecenderungan harga minyak ke depan. Mulai dari isu sangsi Amerika Serikat terhadap Iran, penurunan produksi Venezuela, rencana pemangkasan produksi negara OPEC dan lainnya. "Pasar menanti keputusan OPEC untuk tetap mempertahankan level produksi atau menaikkan produksi," kata Benny, Selasa (12/6/2018).

Situasi sidang kali ini, kata Benny, secara psikologis berbeda dengan sidang OPEC ke 171 (30 November 2016) dimana terjadi ketegangan saat penentuan alokasi pemotongan produksi bagi negara-negara anggota untuk mencegah harga semakin merosot.

Sidang tersebut memutuskan pemotongan produksi OPEC dari 33.8 juta barel per hari menjadi 32.5 juta barel per hari. Kecenderungan harga naik belakangan ini sebenarnya membuat sidang OPEC kali ini mestinya relatif lebih rileks, namun tidak ada jaminan bahwa sidang untuk memutuskan tetap mempertahankan produksi sesuai perkiraan OPEC di Q2 2018 sekitar 32.4 juta barel per hari atau menaikkan produksi sesuai himbauan Presiden Trump akan berjalan mulus.

Nah, buat Indonesia harga minyak dunia ini menjadi polemik tersendiri. ebagai negara net importir minyak, dampak kenaikan harga minyak seperti dua sisi mata uang berbeda. Ia menyebut harga tinggi menyebabkan impor minyak membutuhkan dana yang semakin besar. Namun di sisi lain, harga minyak yang tinggi dapat menjadi insentif untuk mendorong kegiatan di hulu migas.

"Permasalahan inti yang harus dijawab adalah bagaimana memperkecil kesenjangan konsumsi dan produksi," kata Benny.

Penemuan cadangan minyak baru yang besar (giant discovery) atas kegiatan eksplorasi dan teknologi enhanced oil recovery (EOR) menjadi penunjang utama meningkatkan produksi yang berkesinambungan. Namun, dia mengakui dampaknya memang tak bisa instan dirasakan.

"Kebijakan visioner yang berorientasi ke depan mutlak diperlukan di sektor hulu migas. Visi yang menyatakan dan memetakan ke mana arah industri migas tersebut akan dibawa, suatu kondisi yang lebih baik, lebih berhasil dan lebih diinginkan dibanding kondisi sekarang," ujar Benny.

Dia menilai perlu ada sinergi lebih kuat antara pihak yang berkepentingan. Masing-masing pihak harus melihat kepentingan bangsa yang lebih besar dan tidak menghabiskan tenaga untuk berdebat demi kepentingan jangka pendek yang instan dan populer.

Kebijakan seperti itu dia nilai hanya mencapai indikator kinerja masing-masing institusi tanpa menyentuh akar permasalahan yang akan dihadapi negara dalam jangka menengah dan jangka panjang.
(gus/gus) Next Article Dampak Krisis Timur Tengah ke Harga Minyak Dipertanyakan

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular