Program 35 Ribu Megawatt Tekan Neraca PLN?
Arif Gunawan, CNBC Indonesia
25 April 2018 18:26

Jakarta, CNBC Indonesia- Pada September tahun lalu publik sempat dikejutkan oleh beredarnya surat Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati kepada PT Perusahaan Listrik Negara (PLN), yang mengingatkan kenaikan risiko keuangan negara atas penugasan infrastruktur kelistrikan.
Surat yang bocor ke publik itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang istimewa karena "early warning" demikian adalah mekanisme wajar yang telah dijalankan beberapa tahun sebelumnya. Pemerintah, dalam hal ini Kemenkeu, memang harus mengingatkan perusahaan milik negara tersebut untuk mengelola risiko keuangannya dengan baik.
Hanya saja, surat tersebut memicu spekulasi dan dugaan bahwa neraca keuangan PLN pada tahun lalu mulai terbebani oleh proyek ambisius pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Maklum saja, program yang bernilai sekitar Rp 1.200 triliun tersebut merupakan proyek terbesar nasional yang digarap oleh BUMN.
BUMN dengan Nilai Proyek Terbesar
BUMN Total Nilai Proyek
PLN Rp 725 triliun*
Pertamina Rp 700 triliun
BUMN Karya Rp 400 triliun
*) dari total investasi program 35.000 MW senilai Rp 1.200 triliun
Sumber: CNBC Indonesia Research
Apakah proyek tersebut benar-benar membebani kinerja keuangan PLN? Jawabannya tentu saja: iya, mengingat nilai proyek tersebut sangat besar. Namun apakah hal ini berujung membahayakan keseimbangan arus kas dan neraca keuangan PLN? Berikut laporan tim Riset CNBC Indonesia, dengan mengacu pada kinerja keuangan perseroan yang terbaru.
Game Changer Bernama Revaluasi
Dengan mengacu pada laporan keuangan perseroan terbaru, kinerja keuangan PLN terlihat masih sehat, setelah mereka melakukan penghitungan kembali asetnya (revaluasi aset) pada 2015. Langkah tersebut mendongkrak aset perseroan dua kali lipat lebih, dari Rp 590 triliun pada 2014, menjadi Rp 1.227 triliun pada 2015.
Pada 2015, PLN melakukan re-assessment atas Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) 8 dan menyimpulkan bahwa perjanjian jual beli tenaga listrik antara PLN dengan perusahaan pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) tidak seharusnya dicatat sebagai transaksi sewa guna usaha.
Alasannya, penerapan ISAK 8 tidak menggambarkan kondisi riil dan mengabaikan substansi/fakta legal sehingga PLN seolah-olah harus mencatat aset dan utang swasta (peserta IPP) di neraca keuangannya. Selain itu, ISAK 8 juga tidak mencerminkan realisasi kinerja operasi PLN. Sementara itu, investor global umumnya tidak menggunakan laporan keuangan berbasis ISAK-8. Demikian juga dengan perbankan lokal, otoritas perpajakan, dan bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Selain itu, penerapan ISAK-8 telah meningkatkan beban keuangan negara yaitu kenaikan subsidi listrik sekitar Rp 2 triliun per tahun dan menurunkan potensi penerimaan negara dari dividen. Dengan penerapan ISAK-8, kemampuan PLN sebagai proksi pemerintah menjalankan program 35.000 MW semakin terbatas, karena harus memikul beban utang IPP sekitar US$40 miliar ke depannya.
Setelah revaluasi aset dijalankan, terlihat bahwa buku keuangan PLN menjadi jauh lebih sehat, terutama dengan kenaikan aset yang dicatatkan. Terakhir di laporan keuangan per Desember 2017 (unaudited) total aset perseroan naik 4,86% menembus Rp 1.337 triliun.
Neraca Keuangan PLN
2013 2014 2015 2016
Aset 523 539 1.227 1.275
Liabilitas 439 438 509 393
Ekuitas 150 164 804 878
Pendapatan 261 292 217 222
Beban 220 246 225 254
Kas 25 27 23 41
Laba bersih (26) 11 6 8
Sumber: Laporan Keuangan
Dengan kenaikan aset tersebut, rasio utang perseroan pun membaik, dari 81,26% pada 2014 menjadi hanya 41,48% pada 2015. Mengacu pada laporan keuangan PLN per September 2017, di mana aset PLN menembus Rp 1.309,49 triliun dan liabilitas atau kewajiban sebesar Rp 429,33 triliun, rasio utang (terhadap aset) perseroan masih terjaga di kisaran 32%.
Kenaikan aset PLN sejak 2015 itu diikuti kenaikan ekuitasnya. Jika aset merupakan sumber daya yang diperoleh dari transaksi atau kegiatan lain di masa lalu sehingga menjadi milik perusahaan, maka ekuitas adalah hak residual atas aset perusahaan setelah pengurangan seluruh liabilitasnya.
Per September 2017, ekuitas PLN naik ke level Rp 880,17 triliun, sehingga berujung pada rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio/ DER) sebesar 48,79% (per September 2017). Secara teoritis, DER di angka tersebut memungkinkan perseroan menggali dana hingga Rp 2.000 triliun.
Alasannya, utang perseroan masih lebih kecil dari modalnya. Ini berbeda dari posisi 2014 ketika posisi DER mencapai 267% karena belum dijalankannya revaluasi aset.
Dengan menggarap hanya sepertiga dari program 35.000 MW secara langsung, atau sekitar 10.000 MW pembangkit listrik (karena sisanya digarap swasta), maka beban pembiayaan perseroan di program tersebut ke depannya hanya sekitar Rp 340 triliun. Jika dua pertiganya dipenuhi dari pinjaman eksternal-karena sepertiganya harus berasal dari ekuitas), maka utang yang harus ditarik berkisar Rp 100 triliun. Selanjutnya, jika ditambah kebutuhan investasi PLN untuk membangun proyek transmisi dan distribusi listrik 35.000 MW yang totalnya mencapai Rp 385 triliun, maka secara total PLN perlu berutang sebesar Rp 485 triliun.
Dengan mengasumsikan tidak ada penambahan aset pada tahun ini, dan seluruh kebutuhan pendanaan sekitar Rp 485 triliun itu diambil melalui pinjaman murni, maka total liabilitas perseroan naik menjadi Rp 978 triliun dan DER akan beranjak naik menjadi 76,89%. Posisi DER ini jelas masih sehat, jauh dari level 100%.
Pada umumnya, investor menilai perusahaan dengan DER di bawah 100% sebagai layak investasi, karena perusahaan tersebut memiliki aset yang lebih besar dibandingkan dengan kewajibannya, seandainya suatu saat diperlukan untuk membayar keseluruhan utangnya.
Di samping mencatatkan rasio utang yang kecil, risiko keuangan PLN juga relatif terbatas karena hampir muskil bagi BUMN ini mengalami gagal bayar atas kewajiban utangnya (default). Alasannya, utang perseroan tersebut dijamin oleh negara yang notabene merepresentasikan seluruh pembayar pajak di Indonesia.
Amankan Proyek Dari Awal
[Gambar:Video CNBC]
Di bawah kendali Sofyan Basyir, PLN menerapkan sistem baru dalam tender peserta proyek pembangunan pembangkit listrik program 35.000 MW. Salah satu ketentuan itu, yang sempat diprotes banyak pihak, yakni kewajiban menyetor dana jaminan sebesar 10% dari nilai proyek.
Selain itu, independent power producer (IPP) juga diharuskan meneken financial close pendanaan proyek dalam jangka waktu 12 bulan. Bahkan, untuk proyek kecil di bawah 100 MW, financial close harus diteken dalam jangka waktu 6 bulan.
Ketentuan tersebut memang memberatkan bagi para peserta tender yang tidak serius atau tidak memiliki kesiapan pendanaan. Namun bagi keberlangsungan program strategis nasional, justru menjadi game changer kedua di proyek 35.000 MW karena berujung pada bergulirnya proyek pembangunan pembangkit listrik yang ada.
Hal ini terlihat dari megaproyek PLTU Batang yang saat ini telah melakukan konstruksi rangka baja boiler. Dana proyek pembangkit berkapasitas 2 x 1.000 MW itu berasal dari dana setoran awal sebesar 10% dari nilai proyek yang totalnya mencapai US$5,87 miliar.
Saat ini, kemajuan PLTU Batang telah mencapai 30% dari target konstruksi.
Pada praktik sebelumnya, tidak jarang peserta tender hanya mengandalkan desain dan proposal harga proyek tanpa estimasi yang terukur dalam hal pendanaan. Akibatnya, banyak proyek yang terhenti atau mangkrak karena pada kenyataannya mereka tidak memiliki dana cukup untuk memulai proyek tersebut. Tak jarang, mereka bahkan mengalihkan izinnya kepada pihak lain.
Dengan berbagai strategi tersebut, PLN bisa mengurangi jumlah proyek yang mangkrak dalam program 35.000 MW tiga tahun terakhir ini dan bahkan mencatatkan percepatan penyelesaian proyek.
Secara bersamaan, profitabilitas PLN relatif masih terjaga meski menggarap proyek raksasa tersebut. Pada triwulan III/2017, pendapatan PLN tumbuh 14,98% mencapai Rp 187,88 triliun. Perseroan sukses mendongkrak penjualan listriknya sebesar 15,52%, menjadi Rp 181,81 triliun.
Pertumbuhan pendapatan usaha itu sukses melampaui kenaikan beban usahanya, yang tercatat sebesar 11,75% menjadi Rp 200,31 triliun. Hanya saja, laba bersih turun 72,1% menjadi Rp 3,06 triliun. Akibatnya, rugi usaha pun menurun sebesar 21,55% menjadi Rp 12,43 triliun.
Kinerja Keuangan PLN (Rp Triliun)
Q3/2013 Q3/2014 Q3/2015 Q3/2016 Q3/2017
Pendapatan 184,66 221,34 206,51 163,41 187,88
Penjualan Listrik 110,45 133,25 153,99 157,39 181,82
Beban Usaha 155,2 177,98 164,72 179,25 200,31
Laba Usaha 29,46 43,45 41,78 23,97 23,76
Laba (Rugi) Kurs (38,05) 2,39 (45,71) 3,03 (2,23)
Laba bersih (21,43) 18,13 (27,44) 10,98 3,06
Sumber: Laporan Keuangan
Namun sayangnya, PLN harus menghadapi kenyataan bahwa pelemahan rupiah tahun lalu memicu kerugian kurs senilai Rp 2,23 triliun. Padahal pada periode yang sama tahun lalu, perseroan masih membukukan keuntungan kurs senilai Rp 3,03 triliun.
Tidak hanya itu, nilai subsidi listrik dari pemerintah pun terpangkas sebesar Rp 3,62 triliun menjadi hanya Rp 36,19 triliun. Akibatnya, laba bersih perseroan turun 72,1% menjadi Rp 3,06 triliun, dari capaian pada periode yang sama tahun lalu senilai Rp 10,98 triliun.
Faktor subsidi memang berpengaruh besar terhadap capaian laba bersih perseroan, karena PLN memang memikul kewajiban layanan publik (public service obligation/ PSO), di mana BUMN tersebut sering-kali menjual rugi listriknya untuk melayani masyarakat menengah bawah, terutama di daerah-daerah pulau terluar.
Meski demikian, berdasarkan paparan di atas bisa disimpulkan bahwa perseroan secara umum masih bisa menjaga keseimbangan neracanya. ***
(ags/gus) Next Article Mengukur Kemajuan Program 35 Ribu Megawatt
Surat yang bocor ke publik itu sebenarnya bukanlah sesuatu yang istimewa karena "early warning" demikian adalah mekanisme wajar yang telah dijalankan beberapa tahun sebelumnya. Pemerintah, dalam hal ini Kemenkeu, memang harus mengingatkan perusahaan milik negara tersebut untuk mengelola risiko keuangannya dengan baik.
Hanya saja, surat tersebut memicu spekulasi dan dugaan bahwa neraca keuangan PLN pada tahun lalu mulai terbebani oleh proyek ambisius pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Maklum saja, program yang bernilai sekitar Rp 1.200 triliun tersebut merupakan proyek terbesar nasional yang digarap oleh BUMN.
BUMN Total Nilai Proyek
PLN Rp 725 triliun*
Pertamina Rp 700 triliun
BUMN Karya Rp 400 triliun
*) dari total investasi program 35.000 MW senilai Rp 1.200 triliun
Sumber: CNBC Indonesia Research
Apakah proyek tersebut benar-benar membebani kinerja keuangan PLN? Jawabannya tentu saja: iya, mengingat nilai proyek tersebut sangat besar. Namun apakah hal ini berujung membahayakan keseimbangan arus kas dan neraca keuangan PLN? Berikut laporan tim Riset CNBC Indonesia, dengan mengacu pada kinerja keuangan perseroan yang terbaru.
Game Changer Bernama Revaluasi
Dengan mengacu pada laporan keuangan perseroan terbaru, kinerja keuangan PLN terlihat masih sehat, setelah mereka melakukan penghitungan kembali asetnya (revaluasi aset) pada 2015. Langkah tersebut mendongkrak aset perseroan dua kali lipat lebih, dari Rp 590 triliun pada 2014, menjadi Rp 1.227 triliun pada 2015.
Pada 2015, PLN melakukan re-assessment atas Interpretasi Standar Akuntansi Keuangan (ISAK) 8 dan menyimpulkan bahwa perjanjian jual beli tenaga listrik antara PLN dengan perusahaan pengembang listrik swasta (Independent Power Producer/IPP) tidak seharusnya dicatat sebagai transaksi sewa guna usaha.
Alasannya, penerapan ISAK 8 tidak menggambarkan kondisi riil dan mengabaikan substansi/fakta legal sehingga PLN seolah-olah harus mencatat aset dan utang swasta (peserta IPP) di neraca keuangannya. Selain itu, ISAK 8 juga tidak mencerminkan realisasi kinerja operasi PLN. Sementara itu, investor global umumnya tidak menggunakan laporan keuangan berbasis ISAK-8. Demikian juga dengan perbankan lokal, otoritas perpajakan, dan bahkan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Selain itu, penerapan ISAK-8 telah meningkatkan beban keuangan negara yaitu kenaikan subsidi listrik sekitar Rp 2 triliun per tahun dan menurunkan potensi penerimaan negara dari dividen. Dengan penerapan ISAK-8, kemampuan PLN sebagai proksi pemerintah menjalankan program 35.000 MW semakin terbatas, karena harus memikul beban utang IPP sekitar US$40 miliar ke depannya.
Setelah revaluasi aset dijalankan, terlihat bahwa buku keuangan PLN menjadi jauh lebih sehat, terutama dengan kenaikan aset yang dicatatkan. Terakhir di laporan keuangan per Desember 2017 (unaudited) total aset perseroan naik 4,86% menembus Rp 1.337 triliun.
Neraca Keuangan PLN
2013 2014 2015 2016
Aset 523 539 1.227 1.275
Liabilitas 439 438 509 393
Ekuitas 150 164 804 878
Pendapatan 261 292 217 222
Beban 220 246 225 254
Kas 25 27 23 41
Laba bersih (26) 11 6 8
Sumber: Laporan Keuangan
Dengan kenaikan aset tersebut, rasio utang perseroan pun membaik, dari 81,26% pada 2014 menjadi hanya 41,48% pada 2015. Mengacu pada laporan keuangan PLN per September 2017, di mana aset PLN menembus Rp 1.309,49 triliun dan liabilitas atau kewajiban sebesar Rp 429,33 triliun, rasio utang (terhadap aset) perseroan masih terjaga di kisaran 32%.
![]() |
Kenaikan aset PLN sejak 2015 itu diikuti kenaikan ekuitasnya. Jika aset merupakan sumber daya yang diperoleh dari transaksi atau kegiatan lain di masa lalu sehingga menjadi milik perusahaan, maka ekuitas adalah hak residual atas aset perusahaan setelah pengurangan seluruh liabilitasnya.
Per September 2017, ekuitas PLN naik ke level Rp 880,17 triliun, sehingga berujung pada rasio utang terhadap modal (debt to equity ratio/ DER) sebesar 48,79% (per September 2017). Secara teoritis, DER di angka tersebut memungkinkan perseroan menggali dana hingga Rp 2.000 triliun.
Alasannya, utang perseroan masih lebih kecil dari modalnya. Ini berbeda dari posisi 2014 ketika posisi DER mencapai 267% karena belum dijalankannya revaluasi aset.
![]() |
Dengan menggarap hanya sepertiga dari program 35.000 MW secara langsung, atau sekitar 10.000 MW pembangkit listrik (karena sisanya digarap swasta), maka beban pembiayaan perseroan di program tersebut ke depannya hanya sekitar Rp 340 triliun. Jika dua pertiganya dipenuhi dari pinjaman eksternal-karena sepertiganya harus berasal dari ekuitas), maka utang yang harus ditarik berkisar Rp 100 triliun. Selanjutnya, jika ditambah kebutuhan investasi PLN untuk membangun proyek transmisi dan distribusi listrik 35.000 MW yang totalnya mencapai Rp 385 triliun, maka secara total PLN perlu berutang sebesar Rp 485 triliun.
Dengan mengasumsikan tidak ada penambahan aset pada tahun ini, dan seluruh kebutuhan pendanaan sekitar Rp 485 triliun itu diambil melalui pinjaman murni, maka total liabilitas perseroan naik menjadi Rp 978 triliun dan DER akan beranjak naik menjadi 76,89%. Posisi DER ini jelas masih sehat, jauh dari level 100%.
Pada umumnya, investor menilai perusahaan dengan DER di bawah 100% sebagai layak investasi, karena perusahaan tersebut memiliki aset yang lebih besar dibandingkan dengan kewajibannya, seandainya suatu saat diperlukan untuk membayar keseluruhan utangnya.
Di samping mencatatkan rasio utang yang kecil, risiko keuangan PLN juga relatif terbatas karena hampir muskil bagi BUMN ini mengalami gagal bayar atas kewajiban utangnya (default). Alasannya, utang perseroan tersebut dijamin oleh negara yang notabene merepresentasikan seluruh pembayar pajak di Indonesia.
Amankan Proyek Dari Awal
[Gambar:Video CNBC]
Di bawah kendali Sofyan Basyir, PLN menerapkan sistem baru dalam tender peserta proyek pembangunan pembangkit listrik program 35.000 MW. Salah satu ketentuan itu, yang sempat diprotes banyak pihak, yakni kewajiban menyetor dana jaminan sebesar 10% dari nilai proyek.
Selain itu, independent power producer (IPP) juga diharuskan meneken financial close pendanaan proyek dalam jangka waktu 12 bulan. Bahkan, untuk proyek kecil di bawah 100 MW, financial close harus diteken dalam jangka waktu 6 bulan.
Ketentuan tersebut memang memberatkan bagi para peserta tender yang tidak serius atau tidak memiliki kesiapan pendanaan. Namun bagi keberlangsungan program strategis nasional, justru menjadi game changer kedua di proyek 35.000 MW karena berujung pada bergulirnya proyek pembangunan pembangkit listrik yang ada.
Hal ini terlihat dari megaproyek PLTU Batang yang saat ini telah melakukan konstruksi rangka baja boiler. Dana proyek pembangkit berkapasitas 2 x 1.000 MW itu berasal dari dana setoran awal sebesar 10% dari nilai proyek yang totalnya mencapai US$5,87 miliar.
Saat ini, kemajuan PLTU Batang telah mencapai 30% dari target konstruksi.
Pada praktik sebelumnya, tidak jarang peserta tender hanya mengandalkan desain dan proposal harga proyek tanpa estimasi yang terukur dalam hal pendanaan. Akibatnya, banyak proyek yang terhenti atau mangkrak karena pada kenyataannya mereka tidak memiliki dana cukup untuk memulai proyek tersebut. Tak jarang, mereka bahkan mengalihkan izinnya kepada pihak lain.
Dengan berbagai strategi tersebut, PLN bisa mengurangi jumlah proyek yang mangkrak dalam program 35.000 MW tiga tahun terakhir ini dan bahkan mencatatkan percepatan penyelesaian proyek.
Secara bersamaan, profitabilitas PLN relatif masih terjaga meski menggarap proyek raksasa tersebut. Pada triwulan III/2017, pendapatan PLN tumbuh 14,98% mencapai Rp 187,88 triliun. Perseroan sukses mendongkrak penjualan listriknya sebesar 15,52%, menjadi Rp 181,81 triliun.
Pertumbuhan pendapatan usaha itu sukses melampaui kenaikan beban usahanya, yang tercatat sebesar 11,75% menjadi Rp 200,31 triliun. Hanya saja, laba bersih turun 72,1% menjadi Rp 3,06 triliun. Akibatnya, rugi usaha pun menurun sebesar 21,55% menjadi Rp 12,43 triliun.
Kinerja Keuangan PLN (Rp Triliun)
Q3/2013 Q3/2014 Q3/2015 Q3/2016 Q3/2017
Pendapatan 184,66 221,34 206,51 163,41 187,88
Penjualan Listrik 110,45 133,25 153,99 157,39 181,82
Beban Usaha 155,2 177,98 164,72 179,25 200,31
Laba Usaha 29,46 43,45 41,78 23,97 23,76
Laba (Rugi) Kurs (38,05) 2,39 (45,71) 3,03 (2,23)
Laba bersih (21,43) 18,13 (27,44) 10,98 3,06
Sumber: Laporan Keuangan
Namun sayangnya, PLN harus menghadapi kenyataan bahwa pelemahan rupiah tahun lalu memicu kerugian kurs senilai Rp 2,23 triliun. Padahal pada periode yang sama tahun lalu, perseroan masih membukukan keuntungan kurs senilai Rp 3,03 triliun.
Tidak hanya itu, nilai subsidi listrik dari pemerintah pun terpangkas sebesar Rp 3,62 triliun menjadi hanya Rp 36,19 triliun. Akibatnya, laba bersih perseroan turun 72,1% menjadi Rp 3,06 triliun, dari capaian pada periode yang sama tahun lalu senilai Rp 10,98 triliun.
Faktor subsidi memang berpengaruh besar terhadap capaian laba bersih perseroan, karena PLN memang memikul kewajiban layanan publik (public service obligation/ PSO), di mana BUMN tersebut sering-kali menjual rugi listriknya untuk melayani masyarakat menengah bawah, terutama di daerah-daerah pulau terluar.
Meski demikian, berdasarkan paparan di atas bisa disimpulkan bahwa perseroan secara umum masih bisa menjaga keseimbangan neracanya. ***
(ags/gus) Next Article Mengukur Kemajuan Program 35 Ribu Megawatt
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular