Mengukur Kemajuan Program 35 Ribu Megawatt

Raditya Hanung Prakoswa, CNBC Indonesia
25 April 2018 15:58
Mengukur Kemajuan Program 35 Ribu Megawatt
Foto: CNBC Indonesia/ Andrean Kristianto
Jakarta, CNBC Indonesia- Sejak dicanangkan pertama kali pada Mei 2015, program 35.000 megawatt (MW) mencuri perhatian publik karena skalanya yang sangat besar, dengan proyek tersebar dari Sumatera hingga Papua.

Proyek ini juga menjadi semacam keharusan di tengah kenaikan konsumsi listrik domestik dari tahun ke tahun. Berdasarkan kalkulasi PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) pada tahun 2015, konsumsi listrik diperkirakan meningkat dari 183.226 MW (2013) menjadi 244.346 MW (2020), atau bertambah sekitar 61.000 MW.

Artinya, pemerintah perlu meningkatkan pasokan listrik sekitar 7.000 MW per tahun, atau dalam periode 5 tahun pemerintahan Jokowi-JK adalah sebesar 35.000 MW. Angka itu ditambah warisan program listrik 10.000 MW pada era pemerintahan SBY di mana 2.000 MW di antaranya masih menjadi pekerjaan rumah bagi PLN.

Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Listrik No. 30/2009, sektor energi Indonesia dikuasai oleh PLN dan anak perusahaannya, sembari melibatkan perusahaan swasta di proses pembangkitan listrik, transmisi, dan kegiatan distribusi.
Partisipasi swasta dalam pembangkitan listrik masih terbatas sebagai Independent Power Producer (IPP). Melalui Power Purchase Agreement (PPA), IPP menjual listrik ke PLN pada harga yang telah disetujui. Berikut siklus produksi listrik, dari tahapan pembangkit hingga distribusi.

Mengukur Kemajuan Program 35 Ribu Megawatt


Mengukur Kemajuan Program 35 Ribu Megawatt


Kini setelah tiga tahun berlalu, sampai sejauh mana program itu berjalan? Benarkah pemerintah, atau dalam hal ini PLN, "jalan di tempat" karena baru memproduksi listrik 1.500 MW atau sekitar 4% dari total target 35.000 MW? Tim riset CNBC Indonesia melakukan pembobotan (scoring) kemajuan program ini, dan menyajikan laporannya sebagai berikut.

Tidak Sesederhana Membangun Genset

Menurut hemat kami, definisi 'kemajuan proyek' di program 35.000 MW harus ditempatkan sesuai dengan konteksnya, yakni memakai perspektif konstruksi dengan memperhatikan tahapan-tahapan yang ada mulai dari perizinan, pengadaan lahan, hingga instalasi pembangkit.

Pengadaan listrik tidak semestinya diukur berdasarkan watt listrik yang dihasilkan semata. Pasalnya, pengadaan listrik harus melalui tahap konstruksi. Ibaratnya, ketika proyek jalan tol masih dalam tahap konstruksi, maka penghitungan kemajuan proyek tidak hanya berdasarkan pada berapa kilometer jalan yang sudah bisa dilewati, melainkan juga mengukur mulai dari kemajuan pembebasan lahan dan konstruksi.

Karenanya, dalam menghitung nilai tahap pembangkitan listrik di program 35.000 MW, tim Riset CNBC Indonesia tidak hanya mengukur nilai yang sudah COD/ commissioning, karena tahapan yang lain juga mempunyai bobot masing-masing dalam kemajuan proyek. Berikut perhitungannya.

Mengukur Kemajuan Program 35 Ribu Megawatt


Dari pembobotan tersebut, terlihat bahwa total pembangkitan listrik PLN mencapai 5.144,85 MW, atau mencapai 57,8% dari target produksi 8.900 MW. Lalu, bagaimana dengan kemajuan IPP? Berikut perhitungannya:

Mengukur Kemajuan Program 35 Ribu Megawatt


Total pembangkitan IPP tercatat sebesar 16.302,32 MW atau mencatat kemajuan sebesar 60,6% dari total 26.900 MW. Apabila digabungkan, kemajuan proyek PLN dan IPP setara dengan 24.517,17 MW, atau 68,48% dari total target 35.800 MW.

Capaian ini dibukukan hanya dalam waktu tiga tahun, atau 60% dari target waktu yang tersedia yakni lima tahun. Artinya, PLN telah menyelesaikan nyaris 70% dari target program 35.000 MW, hanya dalam 60% dari jangka waktu yang tersedia.

Percepatan proyek listrik itu tercapai setelah Jokowi mengeluarkan dua Perpres dalam kurun waktu setahun, yakni Perpres No.4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan dan Perpres No. 14 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Perpres No. 4 Tahun 2016.

Tidak cukup dengan itu, program 35.000 MW juga dimasukkan ke dalam Proyek Strategis Nasional melalui Perpres No. 58 Tahun 2017 tentang Perubahan Atas Perpres No. 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. 

Dalam Perpres No. 4 Tahun 2016, Jokowi mengeluarkan beberapa kebijakan yang diyakini dapat menjadi solusi agar kesalahan masa lampau di proyek Fast Track Program (FTP) dari pemerintahan sebelumnya, tidak terulangi. 

Sebagai informasi, FTP merupakan proyek listrik skala besar pertama di Indonesia yang terbagi menjadi dua fase, yaitu FTP 1 (2006-2011) dan FTP 2 (2010-2014), masing-masing menargetkan pembangunan pembangkit hingga 10.000 MW dalam 5 tahun. Hingga tahun 2014, proyek FTP masih menyisakan banyak proyek pembangkit yang totalnya mencapai sekitar 7.000 MW, yang kemudian bertambah seiring ditemukannya proyek mangkrak di kemudian hari. Ada sekitar 34 proyek pembangkit listrik mangkrak yang sempat jadi sorotan. 

Pada akhirnya, sisa 7.000 lebih MW itu diambil alih oleh Presiden Jokowi untuk menjadi tambahan bagi proyek 35.000 MW.

Mengukur Kemajuan Program 35 Ribu Megawatt
Kendala-kendala utama dalam proyek FTP, seperti penggunaan lahan, dicarikan solusinya melalui Perpres 14/2017, yakni tertuang dalam Pasal 33 Ayat (2) dan (5) yang berbunyi:
  • Pasal  33 Ayat (2): Penyediaan tanah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dilakukan melalui pengadaan tanah atau pemanfaatan atas tanah infrastruktur lainnya.
  • Pasal 33 Ayat (5): Pemanfaatan atas tanah infrastruktur lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) merupakan pemanfaatan atas tanah yang digunakan infrastruktur jalan, infrastruktur rel kereta api, atau infrastruktur pipa gas untuk dilintasi infrastruktur ketenagalistrikan baik di atas tanah maupun di bawah tanah.
Dengan aturan tersebut, jika dahulu PLN harus punya jalur sendiri untuk lahannya, saat ini bisa menumpang di proyek infrastruktur negara yang lain seperti jalan tol dan pelabuhan. Di proyek-proyek tersebut, PLN bisa ikut membangun gardu induk, grid, dsb.

Dengan konsep nebeng, perizinan pun tidak lagi serumit dulu. Selain itu, masih ada beberapa aturan lain yang dikemukakan pada Perpres 4/2016 dan 14/2017, yang bahan diperkuat dengan Peraturan dari Menteri ESDM, untuk mengatasi permasalahan lama, seperti misalnya:
  1. Akselerasi proses pengadaan melalui “Penunjukan dan Seleksi Langsung”untuk energi terbarukan, mulut tambang, dan kelebihan energi. (Permen ESDM No. 3/2015);
  2. Pemberlakuan Layanan Satu Pintu (PTSP) di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) (Perpres 4/2016);
  3. PLN, anak perusahaan PLN, dan/atau Pengembang Pembangkit Listrik dapat bekerja sama dengan badan usaha asing yang memiliki komitmen dalam pengembangan peralatan dan komponen ketenagalistrikan, sumber daya manusia nasional, dan transfer teknologi yang diperlukan (Perpres 14/2017);
  4. Pembelian tenaga listrik oleh PLN dari IPP dan Excess Power dilaksanakan berdasarkan harga patokan tertinggi tidak memerlukan persetujuan harga jual dari Menteri ESDM (Permen ESDM No.3/2015)

Efektivitas Konstruksi Meningkat


Lalu efektifkah upaya-upaya yang diambil PLN tersebut?  Mari kita lihat data berikut.

Mengukur Kemajuan Program 35 Ribu Megawatt

Dapat dilihat bahwa program FTP I yang tak kunjung selesai sejak dimulai tahun 2006, kini 2.406 MW di antaranya sudah memasuki tahapan Commercial Operation Date (COD)/SLO, sementara 255 MW masih dalam tahapan konstruksi. 

Begitu juga dengan program FTP II yang 631 MW di antaranya sudah masuk tahap COD/SLO, sementara 720 MW sisanya sudah masuk tahap konstruksi. Artinya, kemajuan program FTP sudah 100% melewati fase perencanaan, pengadaan, dan kontrak.

Apabila dijumlahkan dengan proyek reguler, dari total Proyek FTP sebesar 7.831 MW, sudah ada 6.425 MW yang statusnya COD/SLO (82,05% listrik bisa dinikmati masyarakat), sementara 1.406 MW listrik (17,95%) masih dalam tahap pembangunan. 

Capaian ini jelas lebih baik dari medio 2015 saat 17.403 MW dari FTP II (atau 99,68%) terkendala/mangkrak. Jika ditotal dengan 1.500 MW listrik yang diproduksi dalam program 35.000 MW, maka PLN dalam 3 tahun terakhir telah memproduksi sekitar 7.900 MW (atau 2.633,33 MW per tahun).

Jika dibandingkan dengan periode pemerintahan sebelumnya, capaian ini tentu saja jauh lebih baik. Dalam 10 tahun pada periode 2004-2014, pemerintahan SBY menuntaskan proyek listrik sebesar 13.000 MW, atau rata-rata 1.300 MW per tahun.

Mengukur Kemajuan Program 35 Ribu Megawatt
Mengukur Kemajuan Program 35 Ribu Megawatt
Mengukur Kemajuan Program 35 Ribu Megawatt

Sementara itu, pembangunan gardu induk tercatat meningkat 14,29% ke 16.210 MVA, dan pembangunan transmisi bertambah 61,51% ke 4.616 km. Dengan capaian-capaian tersebut, tidak berlebihan jika disimpulkan bahwa Perpres Percepatan memang benar-benar “mempercepat” megaproyek PLN ini.***


Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular