
Ada Jeritan Driver di Balik Kesuksesan Go-Jek Cs
Raydion Subiantoro, CNBC Indonesia
24 April 2018 08:14

Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin, Senin (23/4/2018), ribuan pengemudi ojek online kembali menggelar demonstrasi. Mereka menuntut hal yang sama sejak demo terakhir sebulan lalu: kenaikan tarif dan payung hukum bagi ojek online.
Demonstrasi kemarin digelar di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setelah unjuk rasa sebulan lalu di area depan Istana Negara tidak menghasilkan apapun.
Kilas ke belakang, demonstrasi pada 27 Maret 2018 itu dilakukan secara besar-besaran hingga menarik perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Kepala Negara kemudian memanggil perwakilan driver dan mengutus, antara lain Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi serta Menteri Sekretaris Negara Pratikno, untuk membereskan tuntutan para pengemudi ojek online.
Nyatanya, masalah itu belum juga beres sehingga driver ojek online memilih mengadukan nasibnya ke DPR hari Senin kemarin.
Tuntutan kenaikan tarif yang diminta para pengemudi ditolak aplikator, seperti Go-Jek dan Grab.
Grab dengan tegas mengatakan kenaikan tarif akan melemahkan permintaan, sementara Go-Jek melempar bola dan meminta pemerintah mencarikan solusi atas tuntutan driver.
Pemerintah sendiri mengaku tidak bisa intervensi soal kenaikan tarif dan hanya dapat berperan sebatas menjadi mediator antara aplikator dan driver.
"Pemerintah kan sudah menjadi mediator antara aplikator dan driver kemarin, tinggal bagaimana aplikator merespons ini. Tapi kelihatannya aplikator ini kurang kooperatif, ya," kata Dirjen Perhubungan Darat Budi Setiyadi, kemarin.
Demonstrasi kemarin pun rasanya tidak memiliki gaung sebesar bulan lalu. Jumlah pendemo terlihat lebih sedikit dan tidak berlangsung lama. Sebagian driver ojek online tampaknya sudah apatis terhadap mimpi mereka sendiri mengembalikan kejayaan masa lalu ketika tarif mencapai Rp 4.000/km.
Protes dari ribuan pengemudi ini menunjukkan di balik bisnis ojek online yang dipegang kuat oleh para aplikator bermodal hingga puluhan triliun rupiah ada driver yang merasa terpaksa bekerja dengan tarif yang rendah. Meski menilai tarif saat ini tak layak, mereka pada akhirnya tidak dapat berbuat banyak karena membutuhkan pekerjaan untuk bertahan hidup. Mereka harus rela hanya dicap sebagai "mitra", bukan karyawan dari Go-Jek atau Grab.
Aplikator, seperti Go-Jek dan Grab, tahu bahwa masyarakat di kota-kota besar, khususnya Jakarta, membutuhkan jasa mereka untuk mendapat makanan secara mudah, mengantar ke mana pun, hingga bisa pijat di rumah. Keberadaan mereka telah mendapat tempat di hati masyarakat dengan segala polemiknya, termasuk masalah kesejahteraan pengemudi dan payung hukum yang belum jelas.
(prm) Next Article Go-Jek Buka Suara Soal Ojek Online Tak Resmi di Republik Ini
Demonstrasi kemarin digelar di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) setelah unjuk rasa sebulan lalu di area depan Istana Negara tidak menghasilkan apapun.
Kilas ke belakang, demonstrasi pada 27 Maret 2018 itu dilakukan secara besar-besaran hingga menarik perhatian Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Nyatanya, masalah itu belum juga beres sehingga driver ojek online memilih mengadukan nasibnya ke DPR hari Senin kemarin.
Tuntutan kenaikan tarif yang diminta para pengemudi ditolak aplikator, seperti Go-Jek dan Grab.
Grab dengan tegas mengatakan kenaikan tarif akan melemahkan permintaan, sementara Go-Jek melempar bola dan meminta pemerintah mencarikan solusi atas tuntutan driver.
Pemerintah sendiri mengaku tidak bisa intervensi soal kenaikan tarif dan hanya dapat berperan sebatas menjadi mediator antara aplikator dan driver.
"Pemerintah kan sudah menjadi mediator antara aplikator dan driver kemarin, tinggal bagaimana aplikator merespons ini. Tapi kelihatannya aplikator ini kurang kooperatif, ya," kata Dirjen Perhubungan Darat Budi Setiyadi, kemarin.
Demonstrasi kemarin pun rasanya tidak memiliki gaung sebesar bulan lalu. Jumlah pendemo terlihat lebih sedikit dan tidak berlangsung lama. Sebagian driver ojek online tampaknya sudah apatis terhadap mimpi mereka sendiri mengembalikan kejayaan masa lalu ketika tarif mencapai Rp 4.000/km.
Protes dari ribuan pengemudi ini menunjukkan di balik bisnis ojek online yang dipegang kuat oleh para aplikator bermodal hingga puluhan triliun rupiah ada driver yang merasa terpaksa bekerja dengan tarif yang rendah. Meski menilai tarif saat ini tak layak, mereka pada akhirnya tidak dapat berbuat banyak karena membutuhkan pekerjaan untuk bertahan hidup. Mereka harus rela hanya dicap sebagai "mitra", bukan karyawan dari Go-Jek atau Grab.
Aplikator, seperti Go-Jek dan Grab, tahu bahwa masyarakat di kota-kota besar, khususnya Jakarta, membutuhkan jasa mereka untuk mendapat makanan secara mudah, mengantar ke mana pun, hingga bisa pijat di rumah. Keberadaan mereka telah mendapat tempat di hati masyarakat dengan segala polemiknya, termasuk masalah kesejahteraan pengemudi dan payung hukum yang belum jelas.
(prm) Next Article Go-Jek Buka Suara Soal Ojek Online Tak Resmi di Republik Ini
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular