Internasional

Tak Hanya Ekonomi, Krisis Venezuela Juga Lumpuhkan Pendidikan

Ester Christine Natalia, CNBC Indonesia
19 April 2018 17:38
Pihak universitas harus mengurangi jam kuliahnya jadi tiga hari seminggu karena mahasiswa, karyawan, dan dosen tak punya uang untuk tiba di kampus.
Foto: REUTERS/Marco Bello
Caracas, CNBC Indonesia - Para dosen tidak mampu membayar ongkos perjalanan bis ke sekolah, para murid berdiri dalam antrean panjang demi dapat membeli makanan dengan harga murah. Para akademisi Venezuela mengatakan krisis perekonomian yang parah juga melumpuhkan universitas-universitas di negara itu.

Universitas di Venezuela masuk ke dalam jajaran perguruan tinggi terbaik di Amerika Latin. Namun, krisis perekonomian dan politik akut memaksa mahasiswa angkat kaki, diikuti para dosen yang turut keluar dari negara itu.

Bulan lalu, University of Zulia (LUZ) di sebelah barat laut Kota Maracaibo memangkas jadwal masuk kelas hanya menjadi tiga hari dalam seminggu untuk mencoba meringankan masalah yang dihadapi para mahasiswa, profesor, dan karyawan jika harus hadir setiap hari.

"Kami bekerja setiap hari, tetapi kami mengatur agar setiap dosen, mahasiswa, atau karyawan hadir sekitar tiga kali dalam seminggu," kata Judith Aular, Rektor LUZ, dilansir dari AFP. Selebihnya, kuliah dan materi pembelajaran diberikan melalui internet.

Strategi itu adalah upaya untuk membatasi situasi yang semakin menguras otak di Venezuela. Pasalnya, para dosen dan mahasiswa berusaha untuk keluar dari negara yang sedang dilanda krisis itu, kata Aular.


"Kami memperbolehkan para dosen mencari sumber penghasilan lain. Dengan apa yang mereka peroleh, mereka tidak bisa menopang keluarganya."

Semua universitas di negara Amerika Latin yang kaya minyak ini menghadapi masalah serupa.

Sejak 2016, ketika krisis terjadi dipicu oleh anjloknya harga minyak yang semakin dalam, 25% tenaga pengajar dan 40% mahasiswa di Oriente University yang berlokasi di timur Kota Cumana mengepak barang mereka dan beremigrasi, menurut Direktur Universitas Oriente Milena Bravo.

Para profesor yang paling berpengalaman di negara itu bekerja penuh waktu dan memperoleh 3,9 juta bolivar (Rp 904.951) per bulan, atau setara dengan $10 di pasar gelap. Jumlah pendapatan tersebut, jika dihitung dengan nilai mata uang saat ini, hanya bisa digunakan untuk membeli lima kilogram daging.

Danilo Fuenmayor, yang baru saja menyelesaikan pendidikan Economic Studies di Luz, mengatakan dia lega hanya perlu menghadiri kuliah tiga hari dalam seminggu selama bulan terakhirnya di universitas.

"Saya harus berjalan tiga kilometer karena tidak punya uang untuk naik bis," katanya.

"15 profesor telah keluar dari fakultas saya, mobil tutor saya rusak, dan ia tidak bisa memperbaikinya. Transportasi tidak berjalan," kata mahasiswa berusia 23 tahun itu kepada AFP.

Anggaran terlahap

Venezuela menghadapi kekurangan uang tunai karena pemerintah tidak bisa cukup cepat mencetak uang agar bisa sejalan dengan tingkat inflasinya yang tertinggi di dunia. Inflasi negara itu diperkirakan menyentuh angka 13.000% tahun ini oleh Dana Moneter Internasional (IMF).

Presiden Venezuela Nicolas Maduro, yang pemerintahannya disalahkan atas mismanajemen perekonomian pasca-anjloknya harga minyak dengan buruk, mengatakan uang baru akan diterbitkan bulan Juni. Uang tersebut akan memangkas tiga nol dari nilai saat ini sebagai usaha melonggarkan tekanan masyarakat.

Krisis ini juga menyebabkan kekurangan makanan, obat-obatan, dan produk penting lainnya seperti komponan otomotif, yang membuat 80% armada bis lumpuh, menurut perserikatan transportasi publik.

Daniela Garcia, mahasiswi Teknik di Caracas, berkata dia sering membolos dari kelas karena harus ikut ibunya antre membeli bahan makanan pokok di supermarket.

Para dosen pun susah payah, kata Amalio Belmonte, Kepala Central University of Venezuela (UCV).

"Bagi dosen, jalan-jalan bisa menjadi sebuah pengembaraan karena mobilnya tidak diperbaiki atau uangnya sudah habis untuk makan."

Meningkatnya kekerasan di kampus

UCV, yang sudah hampir berusia 300 tahun dan memiliki 43.000 mahasiswa, juga berencana mengurangi kelasnya menjadi tiga hari per minggu, kata Belmonte. Masalah utamanya adalah kekurangan anggaran yang besar setelah UCV hanya menerima sepertiga dari jumlah yang diminta untuk tahun akademik ini.

"Sebagian besar lari ke upah. Uang untuk penelitian hanya cukup untuk membeli lima buah ban," katanya.

Belmonte berkata ia menandatangani sekitar 3.000 sertifikat setiap minggunya untuk para lulusan yang akan ke luar negeri. Jumlah itu meroket jika dibandingkan rata-rata sekitar 100 sertifikat per minggu di tahun sebelumnya.

Kekerasan di kampus pun meningkat, mencerminkan pelanggaran hukum yang semakin bertambah di negara itu. Di UCV, tidak ada karyawan yang terlihat di sore hari karena takut diserang.


"Orang-orang kabur sebelum malam. Tidak ada penerangan dan mereka bisa dirampok," kata Profesor Gabriela Rojas.

Hal itu ditambah dengan kekurangan bensin, dan di beberapa bagian negara, penjatahan listrik.

Terkait hal ini, Danilo Fuenmayor mengaku sudah muak dan hanya memikirkan satu hal, emigrasi.

"Saya sudah dirampok beberapa kali di universitas. Saya menerima upah minimal dan hanya cukup untuk membeli sekilo keju".
(prm) Next Article Upah Naik Jadi Rp 438 Ribu, Pengusaha Venezuela Gulung Tikar

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular