Bank Mandiri: Dutch Disease Picu Deindustrialisasi Indonesia

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
18 April 2018 16:10
Indonesia dinilai mengidap Dutch Disease, di mana berlimpahnya ekspor sumber daya alam memukul sektor manufaktur.
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman
Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia dinilai mengidap Dutch Disease, di mana berlimpahnya ekspor berbasis sumber daya alam memicu penguatan kurs dan memukul sektor manufaktur, sehingga industri mengalami perlambatan (deindustrialisasi) terutama dalam 3 tahun terakhir.

Dalam laporan riset terbarunya, PT Bank Mandiri Tbk menyebutkan tiga alasan di balik pelemahan industri manufaktur nasional, yang terjadi sejak era 2000.

"Salah satu alasan yang penting menurut kami adalah Dutch disease karena booming komoditas berujung pada penguatan kurs Rupiah dan melemahnya daya saing ekspor produk manufaktur," tulis Mandiri Group Research dalam laporan riset.

Dalam laporan tersebut, Bank Mandiri menemukan adanya hubungan negatif antara real effective exchange rate (REER) dan pertumbuhan manufaktur. Ini mengindikasikan bahwa nilai tukar yang kuat telah menekan pertumbuhan manufaktur termasuk daya saing ekspor.

Alasan penting lainnya terkait dengan isu produktivitas yang membuat produk-produk Indonesia kalah berkompetisi dengan produk negara lain. Problem produktivitas rendah menjadi makin parah karena kenaikan upah pada era Reformasi. Kenaikan upah ini menjadi salah satu pemicu tutupnya perusahaan garmen, alas kaki, dan furniture.

"Selain itu, kami melihat rendahnya pengembangan produk lewat aktivitas riset dan pengembangan (research and development/ R&D) juga turut menjadi pemicu. Contohnya adalah perusahan jamu Nyonya Meneer yang tutup setelah gagal menyesuaikan produknya dengan dinamika perilaku konsumen," tulis Bank Mandiri.

Di sisi lain, perusahaan yang sangat bergantung pada bahan baku impor terpukul oleh kondisi makro ekonomi dalam 3 tahun terakhir. Fluktuasi tinggi kurs rupiah membuat perusahaan kesulitan mengelola kebutuhan impornya.

Kenaikan rupiah secara signifikan menjadi problem besar bagi perusahaan yang bahan bakunya bergantung impor tetapi produknya dijual di pasar domestik seperti misalnya industri plastik dan kulit.

Kondisi ini membuat kinerja ekspor nasional terpaku pada industri berbasis sumber daya alam dan padat karya. Sejalan dengan tren industri di produk domestik bruto (PDB), struktur ekspor Indonesia tak bertransformasi dengan produk yang lebih baik dan rumit proses pembuatannya.

Selama lebih dari 30 tahun, atau sejak strategi industrialisasi dicanangkan pada 1986, kebanyakan produk yang berkembang terjebak pada produk sumber daya mentah, kertas lapis, kertas, minyak sawit mentah (crude palm oil/ CPO), dan kertas, serta produk padat karya seperti pakaian jadi dan alas kaki.

Solusinya, Bank Mandiri mengusulkan langkah-langkah klasik yang seharusnya telah ditempuh pemerintah untuk memperbaiki kualitas industri manufakturnya, seperti pengembangan sumber daya manusia, mencetak wirausahawan berkualitas, mendorong aktivitas dan investasi R&D, serta memberikan insentif yang tepat guna.



(ags/ags) Next Article Ekspor RI Meroket, Awas Kena 'Penyakit Belanda'!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular