Ngeri! Bukan Dutch Disease, RI Terkena Kutukan Rente

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
01 February 2024 17:10
Ramalan Orang Dalam: Bisnis Ini Bakal Moncer di Tahun Politik
Foto: Infografis/ Ramalan Orang Dalam: Bisnis Ini Bakal Moncer di Tahun Politik/ Ilham Restu

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah mengakui, Indonesia telah terpapar dutch disease pasca 2002. Namun, penyakit yang merusak struktur perekonomian Indonesia itu lebih buruk dari sekedar Penyakit Belanda itu.

Analis Senior Indonesia Strategic and Economics Action Institution Ronny P Sasmita menjelaskan, ada perbedaan mendasar dutch disease yang melanda Indonesia, dengan yang dialami Belanda, sebagai negara yang mendasari munculnya istilah dutch disease pada 1977.

Ronny menjelaskan hal itu sebagai respons pernyataan Deputi Bidang Ekonomi Kementerian PPN/Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti terkait dutch disease yang dialami Indonesia, dalam acara Peluncuran Laporan Perekonomian Indonesia 2023 yang digelar Bank Indonesia di Jakarta, kemarin.

Menurutnya, dutch disease yang dialami Belanda pada era 1970-an itu lebih disebabkan deindustrialisasi karena nilai tukar. Pada era itu Belanda menemukan cadangan gas yang besar, sehingga mereka mengeksplorasi, memproduksi, dan mengekspornya secara besar-besaran.

"Karena jumlahnya banyak, maka ekspornya pun besar, sehingga Belanda ketiban devisa besar dalam bentuk dollar," kata Ronny kepada CNBC Indonesia, Kamis (1/2/2023).

Besarnya cadangan devisa yang dinikmati Belanda karena ekspor besar-besaran sumber daya alam gas itu, otomatis membuat mata uang Belanda saat itu, yakni Gulden menguat tajam, membuat ekspor manufakturnya mendadak tidak kompetitif karena mahal.

Akibatnya, pelaku industri manufaktur kehilangan banyak permintaan, karena negara-negara importir yang awalnya mengimpor dari Belanda beralih ke negara lain yang mata uangnya lemah, seperti Jerman.

"Dan hasil akhirnya, banyak pelaku manufaktur yang gulung tikar. Kontribusi manufaktur mendadak turun alias mengalami deindustrialisasi," tegas Ronny.

Sementara di Indonesia, deindustrialisasi di Indonesia menurut Ronny lebih disebabkan masih besarnya barang-barang impor untuk konsumsi, karena harganya yang masih murah dibanding produksi dalam negeri.

"Deindustrialisasi tidak karena kutukan apresiasi Rupiah. Mata uang kita semakin melemah dari waktu ke waktu. Yang kita alami adalah persis seperti Amerika, kehancuran domestic supply chain karena pertumbuhan terlalu bergantung pada konsumsi," ucap Ronny.

Untuk menyenangkan konsumen dengan barang murah, barang impor akhirnya mendominasi karena lebih murah. Manufaktur Indonesia pada era pasca 2002 menurutnya kalah bersaing secara teknologi dan gagal menghasilkan produk yang lebih kompetitif dan murah.

"Kita belum mampu memproduksi barang manufaktur yang bisa bersaing dengan produk China, Jepang, Malaysia, atau Bangladesh, misalnya. Jadi jauh lebih akut dan struktural dari Dutch Disease, seperti yang disampaikan ibu (Amalia)," tuturnya.

Deindustrialisasi pasca 2002 hingga saat ini yang terjadi di Indonesia ia anggap lebih cocok dijelaskan dengan teori Rent Curse atau kutukan rente. Teori yang diperkenalkan Richard Auty pada 2019, itu menjelaskan struktur ekonomi didominasi oligarki sehingga pertumbuhan ekonomi mandek.

Teori ini kata Ronny hasil revisi Richard Auty terhadap teori awal yang ia cetuskan, yakni Resource Curse atau kutukan SDA untuk memandang deindustrialisasi di Indonesia. Teori Kutukan Sumber daya alam ini dicetuskan Richard Auty pada 1993, untuk menggambarkan negara-negara pemilik SDA berlimpah gagal mendapatkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

"Karena rente di mana-mana, investasi menjadi mahal, inovasi mandeg, dan lalu kalah bersaing. Tapi jejaring pelaku ekonomi rente ini tetap menikmati banyak keuntungan ekonomi dari situasi yang seperti itu," ucap Ronny.

"Sehingga akhirnya melahirnya jejaring oligarki, sekelompok elit yang itu-itu saja yang mendapatkan kue ekonomi paling banyak, sementara masyarakat jadi penonton saja," tutur Ronny.

Sebelumnya, Amalia mengatakan, dutch disease yang melanda Indonesia pasca periode 2002 membuat industri pengolahan tidak berkembang, menyebabkan kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) turun drastis secara konsisten dari saat periode 2002 sebesar 32% menjadi hanya 18,3% pada 2022.

"Artinya kita belum mencapai negara maju tapi sektor industri manufaktur kita kontribusinya ke PDB sudah turun," ucap Amalia yang juga akrab disapa Winny.

Dutch Disease memiliki efek samping yang buruk terhadap perekonomian, salah satunya adalah semakin sulitnya Indonesia keluar dari jebakan negara berpendapatan menengah atau middle income trap.

Negara-negara yang mampu keluar dari middle income trap, seperti Korea Selatan memiliki share industri terhadap PDB di level 24,7% pada saat memasuki fase negara maju pada 1996, dan Singapura sebesar 26,6% pada 1991.

"Idealnya kalau kita mau loncat menjadi negara maju biasanya sektor industri manufaktur itu yang menjadi prime mover dan memberi kontribusi ke PDB yang cukup tinggi," tegas Amalia.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Ekonom Peringatkan Ancaman Pelemahan Daya Beli Warga Miskin!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular