Harga Beras Naik, Kesejahteraan Petani Justru Turun

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
04 April 2018 14:19
Harga Beras Naik, Kesejahteraan Petani Justru Turun
Foto: REUTERS/Edgard Garrido
Jakarta, CNBC Indonesia - Slogan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk 'memuliakan petani' kian terdengar 'jauh panggang dari api' pada triwulan pertama tahun ini, menyusul turunnya nilai tukar petani (NTP) secara berturut-turut di tengah kenaikan harga yang memicu impor beras.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan NTP pada Maret 2018 secara nasional turun 0,39% menjadi 101,94. Ini merupakan penurunan empat bulan berturut-turut sejak November pada tahun lalu.

Penurunan terjadi seiring turunnya Indeks Harga yang Diterima Petani (It) sebesar 0,24%, sedangkan Indeks Harga yang Dibayar Petani (Ib) naik 0,15%. Penurunan terparah terjadi di Riau, sebesar 1,5%, sedangkan Sulawesi Barat mencatat kenaikan NTP tertinggi (1,81%).

Subsektor Tanaman Pangan menyumbang penurunan terbesar NTP, yakni sebesar 1,18%, diikuti subsektor Peternakan (0,15%), dan subsektor Perikanan (0,17%). Sebaliknya, subsektor yang mengalami kenaikan NTP adalah Hortikultura sebesar 0,05% dan Tanaman Perkebunan Rakyat sebesar 0,13%.
Harga Beras Naik, Kesejahteraan Petani di Q1 Justru TurunSumber: BPS
NTP (term of trade) adalah perbandingan antara indeks harga yang diterima petani atas produk pertanian mereka, dengan indeks harga yang dibayar petani untuk membeli kebutuhan pokoknya.

NTP menjadi salah satu indikator dalam menentukan tingkat kesejahteraan petani, dengan melihat tingkat daya beli mereka di perdesaan. Semakin tinggi NTP, makin tinggi pula daya beli petani dan secara relatif menunjukkan kenaikan kesejahteraan masyarakat perdesaan.

Penurunan NTP bulan ini terjadi ketika petani beras menghadapi panen raya sejak Januari dan diperkirakan memuncak pada April. Berdasarkan pantauan tim Riset CNBC Indonesia, panen sudah dimulai sejak Januari 2018 di Bojonegoro, Demak, Kudus, Grobogan, dan Sragen.

Awal masa panen raya ini juga terjadi di sejumlah daerah di Jawa Barat (Subang dan Karawang), di Sleman, DI Yogyakarta, serta Banyuasin, Sumatera Selatan. Di beberapa lokasi, seperti Subang dan Grobogan, masa panen bahkan telah dimulai sejak Desember tahun lalu.
Bertentangan dengan hukum supply and demand, panen raya pada tiga bulan pertama yang seharusnya mendongkrak suplai di pasar dan menurunkan harga justru berujung pada anomali, yakni kenaikan harga, tetapi bukan di tingkat petani.

Selama Maret 2018, rata-rata harga gabah kering panen (GKP) di tingkat petani tercatat hanya Rp 4.757 per kg atau turun 8,65% dan di tingkat penggilingan Rp4.845 per kg atau turun 8,67% dibandingkan harga gabah kualitas yang sama pada Februari 2018.

Hipotesis yang berkembang adalah beras medium dari petani tersebut kemudian diproses menjadi produk premium karena kebijakan harga eceran tertinggi (HET) yang tidak membagikan mergin keuntungan kecil untuk beras medium. Kondisi ini akhirnya memicu kelangkaan "beras rakyat" tersebut di pasaran.

Data BPS menyebutkan harga beras medium sejak Desember 2017 telah naik, sebesar 2,7%, dari Rp 9.280 per kilogram (kg) menjadi Rp 9.526 per kg. Pada 29 Januari, harga beras di DKI Jakarta telah menyentuh angka Rp 13.750 per kg, sementara di Bali mencapai Rp 11.700.

Kondisi anomali tersebut memberi jalan bagi pemerintah untuk mengimpor beras, dengan dalih mengendalikan harga makanan pokok nasional dan inflasi. Ini merupakan impor beras yang pertama di era Jokowi sejak 2015.

Hanya saja, anehnya keputusan impor 500.000 ton beras tersebut berlaku untuk beras IR64 yang merupakan produk premium, dan bukannya beras medium. Kebijakan itu diketok pada 11 Januari, usai rapat antara Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) dan para penyalur beras.
(ags/ags) Next Article BPS: Nilai Tukar Petani Oktober Turun Tipis

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular