
Mengapa Pertamina Bisa Kalah dengan Petronas? (2)
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
02 April 2018 10:37

Beban di Industri Hilir Migas Sementara itu, dari sisi hilir industri migas, Indonesia menanggung beban subsidi untuk bahan bakar minyak (BBM) yang lebih besar dari Malaysia. Berdasarkan data International Energy Agency (IEA), pada tahun 2014 Indonesia merealisasikan subsidi BBM sebesar US$ 19,31 miliar (sekitar Rp 230 Triliun), sementara Malaysia hanya mengeluarkan US$ 4,2 miliar (Rp 50 Triliun) untuk kepentingan yang sama. Dapat dilihat beban subsidi BBM Indonesia nyaris 5 kali lipatnya dari yang ditanggung Malaysia pada periode tersebut.
Namun, berdasarkan data realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Indonesia tahun 2015, realisasi subsidi BBM di Indonesia turun drastis ke angka Rp 60,76 triliun rupiah. Hal yang sama juga dibukukan oleh Malaysia, dimana realisasi subsidi BBM nya turun hingga 90,8% year on year (YoY) ke US$ 388,2 juta (sekitar Rp 5,2 triliun).
Hal itu terjadi karena pemerintah Indonesia dan Malaysia secara kompak menerapkan kebijakan penghapusan subsidi BBM, memasuki tahun 2015. Di Indonesia, hanya dalam waktu 3 bulan setelah menduduki kursi panas kepresidenan (Oktober 2014), presiden Jokowi menghapuskan kebijakan subsdi untuk BBM jenis premium, dan membiarkan harga BBM berfluktuasi sesuai dengan harga internasional, untuk pertama kalinya dalam 4 dekade terakhir.
Meskipun demikian, subsidi BBM jenis diesel tidak dihapuskan seluruhnya, melainkan hanya dibatasi sebesar Rp 1.000/liter, dengan alasan status diesel sebagai bahan bakar utama transportasi publik dan sektor perikanan. Setali tiga uang dengan Indonesia, pada November 2014, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak juga membuat keputusan radikal dengan menghapuskan subsidi untuk bensin dan diesel, yang berlaku pada hari pertama Desember 2014.
Kebijakan ini juga menandakan berakhirnya tiga dekade era subsidi BBM di Malaysia. Pada September 2013, sebenarnya pemerintahan Razak sudah secara sebagian mengurangi subsidi BBM, dengan mengumumkan kenaikan harga bensin dan diesel. Tercatat per September 2013, harga bensin RON 95 di Malaysia sudah sebesar MYR 2,10 (sekitar Rp 7.500) per liter, atau naik 10,5% dari harga sebelumnya sebesar MYR 1,9 (sekitar Rp 7.000) per liter. Reformasi subsidi BBM yang ditempuh kedua negara tak lain disebabkan oleh anjloknya harga minyak global memasuki tahun 2014.
Sebagai catatan, harga minyak jenis Brent pada September 2013 berada di level US$ 111/barel, kemudian pada November 2014 sudah anjlok ke US$ 79,44/barel. Jatuh bebasnya harga minyak global memang seolah menjadi “kesempatan dalam kesempitan” untuk mengatasi ketergantungan pada subsidi BBM.
Seperti diketahui, signifikannya subsidi BBM di kedua negara tersebut, telah menghambat pemerintah untuk mengalokasikan anggaran negara bagi pembangunan infrastruktur dan bantuan sosial. Belum lagi memperhitungkan risiko melebarnya defisit anggaran negara dan neraca perdagangan, yang kemudian berujung pada pelemahan nilai tukar. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah meskipun kedua negara sama-sama menerapkan reformasi subsidi pada tahun 2015, tetap saja alokasi subsidi BBM Indonesia masih jauh lebih besar dari Malaysia.
Hal ini disebabkan oleh konsumsi BBM Indonesia yang relatif jauh lebih besar dari Malaysia. Sepanjang tahun 2015, konsumsi final bahan bakar kendaraan bermotor untuk sektor transportasi di Indonesia mencapai 22,80 juta ton, atau sekitar dua kali lipatnya dari Malaysia sebesar 11,75 juta ton. Sebagai catatan, sektor transportasi merupakan sektor yang paling banyak menyerap produk minyak di kedua negara.
Sebagai tambahan, produksi Indonesia sendiri belum mampu mengimbangi kebutuhan BBM yang begitu besar, sehingga Indonesia pun terpaksa mengimpor bahan bakar kendaraan bermotor untuk sektor transportasi dalam jumlah yang cukup signifikan. Pada tahun 2015, impor bensin Indonesia mencapai 13,44 juta ton, atau nyaris dua kali lipatnya dari volume impor Malaysia sebesar 7,22 juta ton.
Alhasil, beban dari sisi perdagangan ini semakin menambah berat beban yang harus dipikul Indonesia di sektor hilir migas
(gus/gus)
![]() |
Hal itu terjadi karena pemerintah Indonesia dan Malaysia secara kompak menerapkan kebijakan penghapusan subsidi BBM, memasuki tahun 2015. Di Indonesia, hanya dalam waktu 3 bulan setelah menduduki kursi panas kepresidenan (Oktober 2014), presiden Jokowi menghapuskan kebijakan subsdi untuk BBM jenis premium, dan membiarkan harga BBM berfluktuasi sesuai dengan harga internasional, untuk pertama kalinya dalam 4 dekade terakhir.
Kebijakan ini juga menandakan berakhirnya tiga dekade era subsidi BBM di Malaysia. Pada September 2013, sebenarnya pemerintahan Razak sudah secara sebagian mengurangi subsidi BBM, dengan mengumumkan kenaikan harga bensin dan diesel. Tercatat per September 2013, harga bensin RON 95 di Malaysia sudah sebesar MYR 2,10 (sekitar Rp 7.500) per liter, atau naik 10,5% dari harga sebelumnya sebesar MYR 1,9 (sekitar Rp 7.000) per liter. Reformasi subsidi BBM yang ditempuh kedua negara tak lain disebabkan oleh anjloknya harga minyak global memasuki tahun 2014.
Sebagai catatan, harga minyak jenis Brent pada September 2013 berada di level US$ 111/barel, kemudian pada November 2014 sudah anjlok ke US$ 79,44/barel. Jatuh bebasnya harga minyak global memang seolah menjadi “kesempatan dalam kesempitan” untuk mengatasi ketergantungan pada subsidi BBM.
Seperti diketahui, signifikannya subsidi BBM di kedua negara tersebut, telah menghambat pemerintah untuk mengalokasikan anggaran negara bagi pembangunan infrastruktur dan bantuan sosial. Belum lagi memperhitungkan risiko melebarnya defisit anggaran negara dan neraca perdagangan, yang kemudian berujung pada pelemahan nilai tukar. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah meskipun kedua negara sama-sama menerapkan reformasi subsidi pada tahun 2015, tetap saja alokasi subsidi BBM Indonesia masih jauh lebih besar dari Malaysia.
Hal ini disebabkan oleh konsumsi BBM Indonesia yang relatif jauh lebih besar dari Malaysia. Sepanjang tahun 2015, konsumsi final bahan bakar kendaraan bermotor untuk sektor transportasi di Indonesia mencapai 22,80 juta ton, atau sekitar dua kali lipatnya dari Malaysia sebesar 11,75 juta ton. Sebagai catatan, sektor transportasi merupakan sektor yang paling banyak menyerap produk minyak di kedua negara.
![]() |
Alhasil, beban dari sisi perdagangan ini semakin menambah berat beban yang harus dipikul Indonesia di sektor hilir migas
(gus/gus)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular