Eropa Memperlakukan CPO Indonesia Secara Tidak Adil

Samuel Pablo, CNBC Indonesia
30 March 2018 15:34
Tidak ada standar atau sertifikasi yang jelas untuk produk minyak nabati di kawasan Eropa, sehingga terkesan ada dikriminasi terhadap produk CPO asal Indonesia.
Foto: Antara Foto/Akbar Tado/via REUTERS
Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah menyayangkan perlakuan negara-negara Eropa atas minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) Indonesia yang dinilai tidak adil. Tidak ada standar atau sertifikasi yang jelas untuk produk minyak nabati di kawasan Eropa, sehingga terkesan ada dikriminasi terhadap produk CPO asal Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Deputi Pangan dan Pertanian Kemenko Perekonomian Musdhalifah Machmud, yang mengatakan bahwa saat ini hampir semua kebijakan pemerintah terkait Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dipantau negara-negara Eropa. Padahal tidak ada kewajiban penerapan standar/sertifikasi atas aspek sustainability dalam produksi minyak nabati lainnya, seperti soybean, sunflower, dan rapeseed oil, yang beredar di Eropa, dimmana produk-produk ter kompetitor dari CPO.

"(Dari) Negara lain tidak ada yang komoditasnya bersertifikat, sementara produk unggulan kita, dulu kayu sekarang kelapa sawit harus memberikan jaminan dikelola dengan sustainable. Jadi ya kita kadang merasa ini tidak fair, memangnya komoditas lain sudah terjamin sampai tidak perlu ada sertifikatnya?" ungkapnya saat ditemui di Menara 165, Kamis (29/3/2018).

Terkait ISPO, Musdhalifah mengaskan itu merupakan upaya stakeholders sawit menerapkan standar global sesuai dengan kondisi negara kita. "Memang kita harus punya ISPO sendiri karena komoditas itu diproduksi di negara kita. Kita menuntut kenapa vegetable oil yang lain tidak ada sertifikasinya seperti palm oil," ujarnya.

Kacuk Sumarto perwakilan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) mengatakan bahwa ISPO bukan hanya sekedar sertifikat, tapi lebih kepada upaya mengubah perilaku bangsa terkait tanaman sawit. Dengan demikian, butuh proses yang lama untuk mewujudkan industri sawit yang berkelanjutan.

Menurut Kacuk, pemerintah juga harus punya keseriusan menangani hal ini, termasuk di dalamnya konsistensi kebijakan antar pemerintah dalam satu periode dengan periode lainnya. Pemerintah saat ini juga harus memahami aturan yang telah dibuat pemerintah terdahulu.

"Saya ambil contoh definisi tentang Hutan. Kalau [perkebunan kelapa] sawit dimasukkan ke dalam definisi Hutan seperti Permenhut 2004, seluruh masalah ISPO bisa terselesaikan," ujar Kacuk.

Data Dirjen Perkebunan Kementerian Pertanian menyebutkan hingga saat ini sudah ada 346 sertifikat ISPO yang telah diterbitkan bagi 342 perusahaan perkebunan sawit besar, 1 asosiasi pekebun swadaya di Pelelawan, Riau, dan 3 koperasi unit desa (KUD) pekebun di kabupaten Bungo, Jambi; Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah dan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan.

Dengan demikian, total luas lahan sawit yang telah menerapkan ISPO adalah 2,04 juta hektar atau 18% dari seluruh lahan sawit nasional, dengan produksi CPO sebanyak 8,76 juta ton atau 28% dari total produksi nasional.
(hps) Next Article 35% Lahan Kantongi Sertifikat Sawit Berkelanjutan ala RI

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular