
BIS: Ada Potensi Krisis Perbankan di China
Roy Franedya, CNBC Indonesia
12 March 2018 14:02

Jakarta, CNBC Indonesia - The Bank for International SettlementĀ (BIS) kembali mengingatkan China akan adanya potensi krisis perbankan. Ini merupakan hasil riset BIS yang terbitkan secara kuartalan pada Minggu (11/3/2018).
Dalam laporan tersebut, BIS menemukan potensi krisis berasal dari utang China, selisih kredit terhadap produk domestik bruto (PDB), yang melebihi kesepakatan yang ditetapkan yang akan berdampak pada sistem. China juga memilliki rasio utang terhadap pendapatan atawa debt servicing ratio (DSR) yang tinggi yang membuat sistem perbankan yang lebih rentan.
DSR merupakan salah satu alat yang mengukur kemampuan untuk melunasi pinjaman yang berasal dari pendapatan. Rasio DSR yang tinggi menunjukkan peminjam telah mengambil utang terlalu banyak dan tidak didukung pemasukan pendapatan.
Selain China, BIS menemukan Kanada dan Hong Kong pun berisiko mengalami krisis perbankan. Kerentanan kedua ekonomi tersebut sebagian disebabkan kenaikan harga properti.
Bank Sentral dan regulator sistem keuangan ketiga negara ini,The People's Bank of China, the Bank of Canada dan the Hong Kong Monetary Authority, tidak merespon permintaan komentar dari CNBC International.
Meski ada tanda-tanda yang menunjukkan sistem perbankan di tiga ekonomi tersebut tertekan, BIS menyatakan bukan berarti China, Kanada dan Hong Kong pasti sedang mengalami krisis.
"(Indikator-indikator yang digunakan) telah dikalibrasikan berdasarkan pengalaman masa lalu, dan tidak memperhitungkan perusahaan kelembagaan dan ekonomi yang lebih luas sejak krisis sebelumnya. Penggunaan langkah-langkah makroprudensial yang jauh lebih efektif seharusnya memperkuat ketahanan sistem keuangan," ujar BIS.
Bukan yang pertama kali
BIS bukanlah badan internasional pertama yang memperingatkan China akan adanya potensi krisis. Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF), dalam laporan yang terbit pda bulan Desember 2017, mengidentifikasi tiga 'tekanan besar' dalam sistem keuangan China.
(roy/roy) Next Article Sri Mulyani Sebut Jerman Sampai India Sedang Susah, Benarkah?
Dalam laporan tersebut, BIS menemukan potensi krisis berasal dari utang China, selisih kredit terhadap produk domestik bruto (PDB), yang melebihi kesepakatan yang ditetapkan yang akan berdampak pada sistem. China juga memilliki rasio utang terhadap pendapatan atawa debt servicing ratio (DSR) yang tinggi yang membuat sistem perbankan yang lebih rentan.
DSR merupakan salah satu alat yang mengukur kemampuan untuk melunasi pinjaman yang berasal dari pendapatan. Rasio DSR yang tinggi menunjukkan peminjam telah mengambil utang terlalu banyak dan tidak didukung pemasukan pendapatan.
Meski ada tanda-tanda yang menunjukkan sistem perbankan di tiga ekonomi tersebut tertekan, BIS menyatakan bukan berarti China, Kanada dan Hong Kong pasti sedang mengalami krisis.
"(Indikator-indikator yang digunakan) telah dikalibrasikan berdasarkan pengalaman masa lalu, dan tidak memperhitungkan perusahaan kelembagaan dan ekonomi yang lebih luas sejak krisis sebelumnya. Penggunaan langkah-langkah makroprudensial yang jauh lebih efektif seharusnya memperkuat ketahanan sistem keuangan," ujar BIS.
Bukan yang pertama kali
BIS bukanlah badan internasional pertama yang memperingatkan China akan adanya potensi krisis. Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF), dalam laporan yang terbit pda bulan Desember 2017, mengidentifikasi tiga 'tekanan besar' dalam sistem keuangan China.
Otoritas China yang berwenang mengakui adanya risiko terebut dan mengambil tindakan untuk memperlambat pertumbuhan utang bahkan sebelum laporan IMF dirilis. China melakukan upaya tersebut di tahun 2017 dengan memperkuat pengawasan peraturan dan menutup celah dalam ekonomi.
Langkah utama yang dilakukan termasuk pembentukan 'regulator keuangan super' untuk mengkoordinasikan pengawasan perbankan, sekuritas dan sektor asuransi. Pemerintah China mengusulkan pelarangan bagi perusahaan penerbitan produk wealth management menawarkan jaminan 'di bawah tangan' pada investor.
Langkah utama yang dilakukan termasuk pembentukan 'regulator keuangan super' untuk mengkoordinasikan pengawasan perbankan, sekuritas dan sektor asuransi. Pemerintah China mengusulkan pelarangan bagi perusahaan penerbitan produk wealth management menawarkan jaminan 'di bawah tangan' pada investor.
(roy/roy) Next Article Sri Mulyani Sebut Jerman Sampai India Sedang Susah, Benarkah?
Most Popular