
Kebijakan Trump Soal Baja dan Dampaknya ke Indonesia
Raditya Hanung, CNBC Indonesia
02 March 2018 15:18

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Donald Trump hari ini mengatakan AS akan mengenakan bea masuk 25% untuk baja, dan aluminium sebesar 10%.
Terkait hal itu, melalui artikel ini Tim Riset CNBC memaparkan hasil analisa tentang seberapa besar dampak kebijakan itu terhadap Indonesia.
Pertama, mari kita lihat pasar baja di dunia.
Melansir World Steel Association, produksi baja mentah dunia mecapai 1,69 miliar ton pada 2017 atau naik 5,3% dibandingkan dengan 2016.
Produksi baja mentah 2017 meningkat hampir di semua region, kecuali di Commonwealth of Independent States atau persemakmuran Rusia yang relatif stabil.
Di Asia, produksi baja mentah pada 2017 tercatat sebesar 1,16 miliar ton, di mana sebanyak 831,7 juta ton sendiri hanya berasal dari China.
Artinya, China menjadi produsen terbesar baja di dunia hingga menguasai 49,2% pangsa pasar.
Selain China, beberapa produsen baja mentah utama lainnya di Asia di antara lain Jepang, Korea Selatan, dan India.
Pada tahun 2017, produksi baja mentah di masing-masing negara tersebut adalah sebagai berikut: Jepang tercatat 104,7 juta ton (-0,1% year on year), India sebesar 101,4 juta ton (+6,2% YoY), dan Korea Selatan dengan 71,1 juta ton (+3,7% YoY).
Sementara itu, di region Uni Eropa, produksi baja mentah tercatat sebesar 168,7 juta ton, mengalami peningkatan 4,1% dari tahun sebelumnya.
Negara-negara yang berkontribusi bagi produksi baja mentah di region Uni Eropa, antara lain Italia (24 juta ton) dan Spanyol (14,5 juta ton).
Adapun di negara-negara persemakmuran Rusia, produksi baja mentah tercatat flat di angka 102,1 juta ton pada 2017. Produksi di Rusia sendiri tercatat meningkat 1,3% YoY ke 71,3 juta ton tahun lalu, namun produsen baja mentah utama lainnya di region ini, yakni Ukraina, mengalami pelemahan produksi hingga 6,4% menjadi 22,7 juta ton pada periode yang sama.
Beralih ke benua Amerika, Amerika Serikat tercatat sebagai produsen terbesar baja di kawasan ini. Volume produksi baja AS mencapai 81,6 juta ton atau naik 4% YoY dan membuat Negeri Paman Sam itu menjadi negara penghasil baja terbesar keempat.
Melihat posisi AS itu, pantas saja Presiden Donald Trump merasa percaya diri dengan kemampuan produksi dalam negerinya, meskipun jumlah tersebut masih jauh di bawah China.
Lalu, dimana posisi Indonesia?
Berdasarkan Steel Statistical Yearbook 2017 yang dipublikasikan oleh World Steel Association, produksi Indonesia pada tahun 2016 tercatat hanya sebesar 4,75 juta ton, melemah 2,22% dari tahun sebelumnya.
Jumlah tersebut jauh di bawah kebutuhan konsumsi domestik baja mentah (15,21 juta ton) dan produk baja jadi (12,67 juta ton) pada periode yang sama. Jumlah kebutuhan tersebut meningkat cukup signifikan dari tahun sebelumya menyusul masifnya proyek pembangunan infrastruktur.
Mengingat defisit yang cukup besar antara produksi dan kebutuhan, maka Indonesia secara rutin mengimpor baja khususnya dari China yang sangat dominan di industri ini.
Tercatat, Indonesia mengimpor produk baja (semi-finished dan finished) sebanyak 12,57 juta ton pada 2016, meningkat 10,7% dari tahun 2015.
Meski mengalami defisit poduksi baja, nyatanya Indonesia mampu mencatatkan ekspor yang cukup konsisten di komoditas ini, walau jumlahnya kalah jauh dari yang diimpor.
Pada 2016, ekspor produk baja (semi-finished dan finished) Indonesia tercatat sebesar 1,6 juta ton, menurun 20,17% dari tahun sebelumya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor komoditas besi/baja ke AS hanya sebesar 72.876,43 ton sepanjang tahun 2017 atau hanya 1,8% dari total ekspor besi/baja.
Jumlah tersebut juga masih jauh lebih kecil dibandingkan sekitar 4,4 juta ton ekspor baja Kanada ke AS. Sebagai catatan, 16% produk baja di AS diimpor dari Kanada, yang menjadikan Kanada sebagai pemasok terbesar baja ke AS.
Dibandingkan dengan dua negara eksportir baja utama ke AS lainnya, seperti Brazil dan Korea Selatan, jumlah ekspor baja Indonesia ke AS juga relatif sangat kecil. Ekspor baja Brazil dan Korea Selatan pada tahun 2017, masing-masing mencapai 3,6 juta ton dan 2,7 juta ton.
Hal itu menjadikan kebijakan Trump untuk menaikkan tarif impor baja menjadi relatif kurang signifikan kepada Indonesia, dibandingkan negara-negara lain yang merupakan mitra dagang AS di komoditas baja.
Meski demikian, lembaga riset Wood Mackenzie, berpendapat bawa kebijakan tarif baja Trump tidak akan memecahkan masalah fundamental dari tingginya harga baja di AS, yang akhirnya memaksa konsumen akhir baja kesulitan mencari baja murah.
Keinginan Trump untuk melindungi karyawan di sektor industri baja, akan terkompensasi oleh lebih banyaknya karyawan yang akan kehilangan pekerjaan di industri pengguna bahan baku baja, seperti industri manufaktur mobil.
(ray/ray) Next Article Kadin: Trump Kenakan Bea Masuk, Negara Produsen Baja Incar RI
Terkait hal itu, melalui artikel ini Tim Riset CNBC memaparkan hasil analisa tentang seberapa besar dampak kebijakan itu terhadap Indonesia.
Pertama, mari kita lihat pasar baja di dunia.
Produksi baja mentah 2017 meningkat hampir di semua region, kecuali di Commonwealth of Independent States atau persemakmuran Rusia yang relatif stabil.
Di Asia, produksi baja mentah pada 2017 tercatat sebesar 1,16 miliar ton, di mana sebanyak 831,7 juta ton sendiri hanya berasal dari China.
Artinya, China menjadi produsen terbesar baja di dunia hingga menguasai 49,2% pangsa pasar.
![]() |
Selain China, beberapa produsen baja mentah utama lainnya di Asia di antara lain Jepang, Korea Selatan, dan India.
Pada tahun 2017, produksi baja mentah di masing-masing negara tersebut adalah sebagai berikut: Jepang tercatat 104,7 juta ton (-0,1% year on year), India sebesar 101,4 juta ton (+6,2% YoY), dan Korea Selatan dengan 71,1 juta ton (+3,7% YoY).
Sementara itu, di region Uni Eropa, produksi baja mentah tercatat sebesar 168,7 juta ton, mengalami peningkatan 4,1% dari tahun sebelumnya.
Negara-negara yang berkontribusi bagi produksi baja mentah di region Uni Eropa, antara lain Italia (24 juta ton) dan Spanyol (14,5 juta ton).
Adapun di negara-negara persemakmuran Rusia, produksi baja mentah tercatat flat di angka 102,1 juta ton pada 2017. Produksi di Rusia sendiri tercatat meningkat 1,3% YoY ke 71,3 juta ton tahun lalu, namun produsen baja mentah utama lainnya di region ini, yakni Ukraina, mengalami pelemahan produksi hingga 6,4% menjadi 22,7 juta ton pada periode yang sama.
Beralih ke benua Amerika, Amerika Serikat tercatat sebagai produsen terbesar baja di kawasan ini. Volume produksi baja AS mencapai 81,6 juta ton atau naik 4% YoY dan membuat Negeri Paman Sam itu menjadi negara penghasil baja terbesar keempat.
Melihat posisi AS itu, pantas saja Presiden Donald Trump merasa percaya diri dengan kemampuan produksi dalam negerinya, meskipun jumlah tersebut masih jauh di bawah China.
![]() |
Lalu, dimana posisi Indonesia?
Berdasarkan Steel Statistical Yearbook 2017 yang dipublikasikan oleh World Steel Association, produksi Indonesia pada tahun 2016 tercatat hanya sebesar 4,75 juta ton, melemah 2,22% dari tahun sebelumnya.
Jumlah tersebut jauh di bawah kebutuhan konsumsi domestik baja mentah (15,21 juta ton) dan produk baja jadi (12,67 juta ton) pada periode yang sama. Jumlah kebutuhan tersebut meningkat cukup signifikan dari tahun sebelumya menyusul masifnya proyek pembangunan infrastruktur.
![]() |
Mengingat defisit yang cukup besar antara produksi dan kebutuhan, maka Indonesia secara rutin mengimpor baja khususnya dari China yang sangat dominan di industri ini.
Tercatat, Indonesia mengimpor produk baja (semi-finished dan finished) sebanyak 12,57 juta ton pada 2016, meningkat 10,7% dari tahun 2015.
![]() |
Meski mengalami defisit poduksi baja, nyatanya Indonesia mampu mencatatkan ekspor yang cukup konsisten di komoditas ini, walau jumlahnya kalah jauh dari yang diimpor.
Pada 2016, ekspor produk baja (semi-finished dan finished) Indonesia tercatat sebesar 1,6 juta ton, menurun 20,17% dari tahun sebelumya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor komoditas besi/baja ke AS hanya sebesar 72.876,43 ton sepanjang tahun 2017 atau hanya 1,8% dari total ekspor besi/baja.
Jumlah tersebut juga masih jauh lebih kecil dibandingkan sekitar 4,4 juta ton ekspor baja Kanada ke AS. Sebagai catatan, 16% produk baja di AS diimpor dari Kanada, yang menjadikan Kanada sebagai pemasok terbesar baja ke AS.
![]() |
Dibandingkan dengan dua negara eksportir baja utama ke AS lainnya, seperti Brazil dan Korea Selatan, jumlah ekspor baja Indonesia ke AS juga relatif sangat kecil. Ekspor baja Brazil dan Korea Selatan pada tahun 2017, masing-masing mencapai 3,6 juta ton dan 2,7 juta ton.
Hal itu menjadikan kebijakan Trump untuk menaikkan tarif impor baja menjadi relatif kurang signifikan kepada Indonesia, dibandingkan negara-negara lain yang merupakan mitra dagang AS di komoditas baja.
Meski demikian, lembaga riset Wood Mackenzie, berpendapat bawa kebijakan tarif baja Trump tidak akan memecahkan masalah fundamental dari tingginya harga baja di AS, yang akhirnya memaksa konsumen akhir baja kesulitan mencari baja murah.
Keinginan Trump untuk melindungi karyawan di sektor industri baja, akan terkompensasi oleh lebih banyaknya karyawan yang akan kehilangan pekerjaan di industri pengguna bahan baku baja, seperti industri manufaktur mobil.
(ray/ray) Next Article Kadin: Trump Kenakan Bea Masuk, Negara Produsen Baja Incar RI
Most Popular