
Menanti Insentif Mobil Listrik di Tanah Air

Kehadiran langsung Menteri ESDM ke Yogyakarta sekaligus menandakan keseriusan pemerintah untuk mengembangkan mobil listrik di Indonesia.
Beberapa waktu lalu, otoritas fiskal juga telah memberikan lampu hijau bagi pengembangan mobil listrik. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan sedang mempertimbangkan beberapa opsi untuk mendorong investasi melalui penggunaan instrumen APBN.
Pengembangan mobil listrik di Indonesia sendiri sebenarnya sudah mendapatkan dorongan kuat dari Presiden Joko Widodo. Kepala Negara Republik Indonesia tersebut telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) No. 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (RUEN).
Pada Lampiran I Perpres tersebut, disampaikan bahwa untuk mencapai sasaran pemenuhan kebutuhan energi final sektor transportasi pada tahun 2025 dan 2050, diperlukan pengembangan kendaraan bertenaga listrik pada tahun 2025 sebesar 2.200 unit untuk roda 4 dan 2,1 juta untuk kendaraan roda 2.
Sebagai tambahan, perpres 22/2017 juga secara tegas menginstruksikan penyusunan kebijakan insentif fiskal yang mampu mendorong sasaran tersebut.
Insentif fiskal sendiri menjadi faktor penting untuk mendorong pengembangan mobil listrik di Indonesia. Pasalnya, dari segi konsumen, harga mobil listrik masih relatif lebih mahal dibandingkan mobil konvensional. Hal itu disebabkan karena digunakannya teknologi baterai penyimpan energi listrik yang harganya sangat tinggi.
Sementara itu, dari sisi produsen, investasi teknologi mobil listrik di Indonesia akan sangat berisiko tanpa adanya regulasi yang kuat terkait insentif fiskal dari pemerintah.
Selain biaya investasi yang akan menguras kas, kesiapan infrastruktur serta potensi sepinya pasar "mobil setrum" masih menjadi kekhawatiran tersendiri bagi investor.
Menanggapi Perpres tentang Program Percepatan Kendaraan Bermotor Listrik untuk Transportasi Jalan yang masih digodog oleh pemerintah, tim riset CNBC Indonesia mengulas perkembangan mobil listrik di dunia serta bagaimana negara-negara di dunia beramai-ramai menerapkan insentif fiskal untuk mendorong implementasi dari mobil listrik. Secara umum, mobil listrik di dunia diklasifikasikan berdasarkan seberapa banyak sumber listrik yang digunakan kendaraan itu sebagai energi. Terkait hal itu, maka mobil listrik di bagi menjadi tiga tipe yakni:
Hybrid Electric Vehicle (HEV)
Mobil ini menggunakan listrik maupun BBM. Energi listrik ditimbulkan oleh sistem pengereman mobil untuk mengisi ulang baterai. HEVs dinyalakan menggunakan motor listrik, kemudian mesin bertenaga BBM bekerja saat kecepatan mulai dinaikkan.
Plug-in Hybrid Electric Vehicles (PHEVs)
Tidak jauh berbeda, mobil ini juga menggunakan listrik dan BBM. Hanya saja PHEVs dapat mengisi ulang baterai melalui outlet isi ulang elektrik eksternal, selain melalui sistem pengereman.
Battery Electric Vehicle (BEVs)
Seluruh tenaga mobil ini menggunakan listrik.
Berikut ilustrasi dari ketiga tipe mobil tersebut:
![]() |
Mengutip International Energy Agency (IEA), jumlah penjualan mobil listrik mencetak rekor tertinggi, dengan lebih dari 750.000 mobil terjual secara global pada tahun 2016. Namun demikian, pertumbuhan penjualan tahun 2016 menunjukkan perlambatan sebesar 40% dibandingkan tahun sebelumnya.
China tercatat sebagai negara yang paling banyak menjual mobil listrik pada tahun 2016, dengan volume penjualan mobil listrik nyaris mencapai 350.000 unit. Pencapaian tersebut jauh mengungguli Amerika Serikat di posisi ke-2 (sekitar 160.000 unit) dan Norwegia di posisi ke-3 (50.000 unit). Secara global, 95% dari penjualan mobil listrik berlokasi hanya di 10 negara, yakni China, Amerika Serikat, Jepang, Kanada, Norwegia, Inggris Raya, Perancis, Jerman, Belanda, dan Swedia.
![]() |
Meskipun duduk di posisi ke-3 negara yang menjual mobil listrik terbanyak pada tahun 2016, Norwegia mampu mencatatkan pertumbuhan penjualan sebesar 164% secara tahunan, khusus untuk mobil listrik jenis PHEV. Di bawah Norwegia, Kanada menguntit ketat dengan membukukan pertumbuhan penjualan tahunan sebesar 147% year on year (YoY) juga untuk jenis mobil yang sama. Di sisi lain, Belanda mengalami perlambatan pertumbuhan tahunan tersesar, yakni sebesar 50% untuk jenis mobil PHEV. Secara umum, pada tahun 2016, penjualan mobil listrik jenis BEV masih unggul tipis dari penjualan mobil listrik jenis PHEV.
Penjualan dari mobil listrik yang positif di berbagai penjuru dunia diyakini dipengaruhi kuat oleh adanya insentif fiskal yang disediakan pemerintah di masing-masing negara.
Insentif yang ditujukan untuk konsumen mobil menjadi sangat penting untuk mereduksi jarak biaya pembelian antara mobil listrik dan mobil konvensional.
Berikut negara-negara yang memberikan insentif untuk pengembangan mobil:
1. China
China menyediakan insentif finansial maupun insentif non-finansial untuk pengadopsian mobil listrik pada tahun 2016. China membebaskan pajak pembelian dan cukai, yang bernilai CNY 35.000-CNY 60.000 (sekitar US$ 5.000 – US$ 8.500). Kota-kota besar di China juga memberikan peringanan aturan yang membatasi akses jalan bagi plat nomor mobil tertentu, khusus untuk mobil listrik.
2. Norwegia
Norwegia membebaskan konsumen mobil listrik untuk membayar pajak pembelian, dengan nilai mencapai NOK 100.000 (US$ 11.600). Jumlah tersebut tercatat menjadi nilai insentif terbesar yang mampu diberikan pemerintah, dibandingkan dengan insentif di negara lain. Sementara itu, khusus untuk jenis BEV, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 25% saat pembelian juga dibebaskan. Tidak cukup dengan insentif finansial, Norwegia juga memberikan keringanan tarif tol dan kapal feri khusus untuk mobil listrik.
3. Jepang
Skema subsidi baru diterapakan pada tahun 2016, yang memberikan subsidi secara progresif semakin tinggi, seiring dengan semakin tingginya kapasitas listrik pada mobil listrik, dengan jumlah maksimum subsidi sebesar JPY 850.000 (US$ 7.700). Untuk merek Nissan Leaf dengan kapasitas baterai 30 kWh, subsidi untuk pembelian mobil berada di level JPY 330.000 (US$ 3.000). Dampak dari kebijakan tersebut, penjualan BEV (secara umum memiliki baterai yang lebih besar dibandingkan PHEV) meningkat hampir 50% pada tahun 2016. Sementara itu, penjualan PHEV menurun 34% pada periode yang sama.
4. Belanda
Belanda memiliki skema pajak berbasiskan emisi karbon dioksida (CO2), dengan tingkatan pajak akan meningkat secara gradual hingga tahun 2020. Kendaraan dengan emisi CO2 sebesar nol, seperti BEV, akan dibebaskan dari pajak pendaftaran mobil baru/registrasi. Kebijakan tersebut berpengaruh cukup signifikan pada mobil listrik jenis PHEV, yang akan terkena pajak sebesar EUR 6 per gram CO2/km pada 2016, dan meningkat menjadi EUR 20 per gram CO2/km pada 2017. Hal ini berdampak pada anjloknya penjualan PHEV, dari rekor tertinggi 10% dari total penjualan mobil pada 2015, menjadi hanya sebesar 5% di 2016
5. Thailand
Pemerintah Negeri Gajah Putih juga memberikan insentif fiskal kepada kendaraan listrik. Tarif pajak untuk kendaraan listrik hanya dikenakan 10%, sementara kendaraan berbahan bakar fosil wajib membayar 22-50%.
Selain itu, Thailand juga memberikan pembebasan PPh badan selama 8 tahun bagi investor yang ingin mengembangkan mobil listrik jenis BEV, dan selama 3 tahun bagi investor yang ingin mengembangkan PHEV. Perusahaan dapat memperpanjang pembebasan PPh tersebut hingga 10 tahun dan 6 tahun secara berturut-turut, apabila mereka mampu memproduksi komponen kunci bagi pengembangan mobil listrik di dalam negeri, misalnya baterai.
Tidak cukup dengan itu, mesin yang dibutuhkan untuk memproduksi mobil listrik dibebaskan dari pungutan tarif impor. Pada 2016, jumlah kendaraan elektrik di Thailand adalah sekitar 60.000 unit. Kementerian Energi Thailand menargetkan jumlah ini bisa meningkat menjadi 1,2 juta unit pada 2036.
6. Sri Lanka
Siapa yang menyangka bahwa negara ini sangat maju dalam mendukung pengembangan mobil listrik. Senada dengan Thailand, Sri Lanka pun memberikan insentif pajak untuk mobil listrik dengan hanya membayar 25% sementara kendaraan jenis lain bisa mencapai 200%.
Hal yang menarik di Sri Lanka adalah dari angka penjualan mobil domestik yang sekitar 37 ribu, hampir separuhnya adalah mobil hybrid ramah lingkungan. Negara otomotif raksasa seperti Jepang pun mulai melirik Srilanka sebagai pasar potensial.
7. Denmark
Denmark menginisiasi pemberlakuan pajak bagi mobil listrik pada 2016, setelah bertahun-tahun sebelumya membebaskan kewajiban pajak registrasi secara penuh. Mulai 2016, mobil listrik dikenakan pajak 20% dari total pajak normal yang mesti dibayarkan bagi penjualan mobil konvensional. Tingkat pajak ini akan terus bertambah hingga 2022, dimana mobil listrik akan dikenakan pajak secara penuh. Alhasil, penjualan mobil listrik listrik di Denmark anjlok hingga 71% untuk mobil listrik jenis BEV.
Melihat ulasan di atas, dapat diindikasikan bahwa insentif yang disediakan pemerintah ternyata berkorelasi kuat dengan pergerakan pasar mobil listrik. Namun demikian, penulis juga menyadari bahwa masih ada faktor lain yang perlu diperhatikan pemerintah untuk mengembangkan mobil listrik di Indonesia, misalnya penyediaan infrastruktur pendukung seperti stasiun isi ulang listrik. **
(ray/ray) Next Article DP Kredit Mobil-Motor Listrik Bisa 0%, Apa Konsumen Happy?