Suku Bunga Negatif Jepang

Jepang Terapkan Suku Bunga Negatif, Indonesia Bagaimana?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
24 January 2018 16:44
Indonesia perlu mendorong konsumsi sekaligus investasi masyarakat secara simultan
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman
Jakarta, CNBC Indonesia - Jepang, Swiss, Denmark, dan Swedia merupakan negara-negara yang saat ini menerapkan kebijakan suku bunga acuan negatif. Langkah ini ditempuh untuk menggenjot konsumsi masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi.

Bagaimana dengan Indonesia?

Saat ini suku bunga acuan yang digunakan bank sentral adalah Bank
Indonesia (BI) 7-day reverse repo rate. Suku bunga ini mulai diterapkan pada Agustus 2016 untuk menggantikan BI Rate yang berjangka waktu 12 bulan.

Sejak diperkenalkan, BI 7-day repo rate bergerak cenderung menurun. Kini posisi suku bunga acuan adalah 4,25%, bertahan sejak September 2017.
Sumber: Bank Indonesia (BI)Foto: Tim Riset CNBC Indonesia/ Hidayat Setiaji
Sumber: Bank Indonesia (BI)
Bank sentral menilai suku bunga acuan 4,25% sudah sejalan dengan tujuan menjaga stabilitas dan mendukung pemulihan ekonomi. Kebijakan BI tetap netral dan peluang untuk pelonggaran moneter semakin menipis.


Menerapkan suku bunga negatif mustahil bagi Indonesia. Tidak seperti Jepang dan negara lainnya, Indonesia masih harus bergelut dengan inflasi. Suku bunga digunakan sebagai salah satu instrumen untuk menjaga inflasi, khususnya inflasi inti.

BI memang harus cermat. Di satu sisi Indonesia perlu menjaga inflasi tetapi di sisi lain suku bunga juga menjadi alat untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Perlu keseimbangan untuk menjaga dua kepentingan nasional ini.

Di Jepang, Swedia, Denmark, atau Swiss, bank sentral memberikan disinsentif kepada masyarakat untuk menabung atau berinvestasi dengan suku bunga negatif. Tujuannya adalah mendorong konsumsi masyarakat.

Negara-negara ini bisa memilih antara konsumsi dengan menabung (saving) atau investasi dan dapat mendorong salah satu di antaranya sementara mengorbankan yang lain. Namun, Indonesia tidak memiliki kemewahan untuk memilih.

Indonesia butuh konsumsi masyarakat, tetapi juga butuh dana mereka untuk diinvestasikan.

Meski masih tumbuh, harus diakui bahwa konsumsi masyarakat di Indonesia melambat. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga kini di bawah level 5%, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya.

Konsumsi rumah tangga mengambil porsi lebih dari separuh pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia sehingga pergerakannya sangat memengaruhi pertumbuhan ekonomi negara.
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)Foto: Tim Riset CNBC Indonesia/ Hidayat Setiaji
Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)
Oleh karena itu, pemerintah dan BI pun melakukan berbagai upaya untuk mendorong konsumsi masyarakat. Misalnya, pada 2016 pemerintah menaikkan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) dari Rp 36 juta/tahun menjadi Rp 54 juta/ tahun. Setahun sebelumnya PTKP juga sempat dinaikkan dari Rp 24,3 juta/ tahun.

Ketika PTKP naik, masyarakat akan menerima penghasilan lebih banyak karena potongan pajaknya berkurang. Dengan begitu konsumsi diharapkan meningkat.

BI juga melakukan langkah mendorong konsumsi dengan menerapkan kebijakan loan to value (LTV) atau rasio uang muka kredit perumahan. Awalnya, uang muka yang harus dibayar konsumen untuk rumah pertama adalah 20% namun kemudian diturunkan menjadi 15%.

Namun di lain pihak, negara juga membutuhkan investasi masyarakat. Rasio kepemilikan rekening bank di Indonesia masih cukup rendah.

Global Financial Inclusion Index yang dirilis Bank Dunia menyebutkan, hanya 36% penduduk berusia 15 tahun ke atas yang memiliki rekening di bank. Sementara jumlah investor di pasar modal hanya 1,12 juta dari populasi yang mencapai 261,1 juta jiwa, hanya 0,4%.

Ini menyebabkan Indonesia masih membutuhkan dana asing karena investasi di dalam negeri belum cukup untuk membiayai ekonomi dan pembangunan. Misalnya, di pasar Surat Berharga Negara, per 23 Januari 2018 investor asing memegang Rp 880,2 triliun atau mencapai 41,1%.

Sebagai perbandingan, porsi investor asing di pasar obligasi negara Jepang hanya 11%.

Indonesia memang berada di persimpangan jalan. Mendorong konsumsi dan investasi masyarakat bukan sebuah pilihan, melainkan harus berjalan simultan.

Tim Riset CNBC Indonesia


(prm/prm) Next Article Bank Sentral Jepang Pertahankan Suku Bunga Negatif

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular