
Kenaikan Harga Minyak yang Curi Perhatian Awal Tahun
Houtmand P Saragih, CNBC Indonesia
09 January 2018 08:14

- Konflik Iran picu kenaikan harga minyak dunia
- Kineraja emiten sektor migas mulai terdampak dari kenaikan harga minyak
- Namun ada yang meragukan rally minyak berlangsung pajang, periode koreksi akan terhaji jika krisis Iran selesai.
Jakarta, CNBC Indonesia – Kenaikan harga minyak dunia kembali menjadi perhatian setelah tercatat meningkat 3,02% menjadi US$ 61,44 per barel dari US$ 59,64 per barel sejak Krisis Iran (27 Desember 2017) hingga penutupan perdagangan akhir pekan lalu. Peningkatan harga tersebut merupakan respons para spekulan menyikapi Krisis Iran yang merupakan salah satu penghasil minyak terbesar dunia.
Iran merupakan salah satu produsen minyak terbesar yang tergabung dalam Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) dengan jumlah produksi hampir 4 juta barel per hari. Sebelum Krisis Iran memuncak, harga minyak memang sudah terlebih dulu berada dalam tren naik, merespons wacana perpanjangan pemangkasan produksi OPEC sampai dengan akhir 2018. Pada November 2017 wacana yang sama sudah disampaikan anggota OPEC.
Krisis di Iran memucak setelah sekitar 10 ribu rakyatnya melakukan unjuk rasa dan demontrasi pada 28 Desember 2017. Rakyat Iran marah karena kenaikan harga kebutuhan sehari-hari dan pemerintah menyampaikan rencana menaikkan harga bahan bakar minyak.
Selain itu, para demonstran juga mempertanyakan kebijakan luar negeri Iran di Timur Tengah seperti bantuan keuangan bagi Palestina dan Hezbollah, sebuah partai politik yang juga merupakan kelompok militan yang berbasis di Lebanon.
Aksi demonstrasi pada mulanya berawal di Mashhad, kota terbesar kedua di Iran, sebelum kemudian menyebar ke Tehran yang merupakan ibu kota. Demonstrasi kali ini merupakan yang terbesar yang pernah terjadi di Iran sejak tahun 2009.
Kalangan analis pasar saham menilai tren kenaikan harga minyak hanya bersifat sementara karena pemicunya bukan permintaan (demand) riil. Para spekulan minyak cenderung memanfaatkan kekhawatiran kondisi geopolitik Timur Tengah, khususnya Iran, yang saat ini sedang memanas.
Head of Research Koneksi Capital Alfred Nainggolan menjelaskan sentimen kenaikan harga minyak tersebut akan ditransmisikan investor ke harga saham dari emiten yang kegiatan usahanya di sektor minyak dan gas bumi. Ada kemungkinan harga saham-saham dari subsektor migas menguat dalam jangka pendek, apalagi secara valuasi harga saham-saham dari subsektor tersebut sudah relatif murah.
"Makanya untuk jangka pendek [kinerja saham migas] banyak bergantung pada kenaikan harga spot [minyak]. Investor medium dan long term akan melihat kepada harga kontrak [emiten], biasanya dipubilkasi emitennya. Seharusnya kenaikan harga minyak sekarang sedang naik, dan akan koreksi dalam jangka pendek, seharusnya tidak akan berpengaruh signifikan,” jelas Alfred.
Namun, tambah Alfred, harga saham emiten migas berpotensi menguat signifikan jika harga minyak menembus level US$80 hingga $90 per barel. Alfred memprediksikan harga minyak dunia tahun ini berada pada kisaran $60 – $70 per barel.
"Kalau kenaikan di atas itu, bisa ada reaksi berlebihan [over reaction] dari para pelaku pasar saham,” kata Alfred.
Kinerja Meningkat
Kenaikan harga minyak tersebut rupanya sudah berdampak pada perbaikan kinerja PT Medco Energi Internasional Tbl (MEDC). Dalam laporannya disampaikan, perseroan membukukan laba bersih sebesar $164,3 juta (Rp 2,2 triliun) pada kuartal III-2017, meningkat signifikan dibanding rugi bersih yang dialami perseroan senilai $149,61 juta atau setara Rp 2 triliun.
Kinerja positif yang dibukukan perseroan ditopang peningkatan jumlah produksi perseroan yang meningkat 38,3% menjadi 88,3 MBOEPD pada kuartal III-2017 dari 63,9 MBOEPD pada periode yang sama 2016. Hal didorong oleh beroperasinya Blok B South Natuna yang diakuisisi perseroan pada kuartal IV-2016. Kenaikan jumlah produksi dan harga jual minyak mendorong peningkatan pendapatan sebesar 52,6% menjadi $597,5 juta (Rp 8 triliun) sejak Januari – September 2017 dari $391,4 juta (Rp 5,2 triliun).
Bisa Memburuk
Namun demikian, harga minyak berpotensi terus naik jika krisis Iran berlangsung dalam jangka waktu yang lama, sehingga pada akhirnya dapat menganggu produksi minyak.
Pemerintah Iran sudah membatalkan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan memperbesar bantuan sosial bagi warga miskin. Namun, aksi demonstrasi tak berhenti, yang menunjukkan kondisi perekonomian di Iran yang semakin memburuk.
Memang, usai dicabutnya mayoritas sanksi ekonomi bagi Iran pada awal 2016, kondisi ekonomi masih sangat jauh dari kategori baik. Bayangkan saja, tingkat pengangguran per kuartal II-2017 berada pada level 12,6%, jauh lebih tinggi dibandingkan pada kuartal IV-2015 sebelum sanksi dicabut yang berada di level 10,7%.
Belum akan adanya solusi dari masalah-masalah ekonomi serta perubahan kebijakan luar negeri dalam waktu dekat dapat membuat demonstrasi ini berlangsung dalam waktu yang panjang, sama seperti yang terjadi pada tahun 2009 ketika ketidakpuasan atas hasil pemilihan presiden pada saat itu berbuntut kepada demonstrasi yang terjadi selama tujuh bulan lamanya.
Situasi juga diperparah oleh pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bahwa sanksi bagi Iran, termasuk di dalamnya larangan ekspor minyak, dapat diberlakukan kembali, seiring dengan tuduhan keterlibatan Iran dalam pembiayaan aksi terorisme.
Jika sanksi diberlakukan kembali, maka pasokan minyak dunia akan menurun di tengah-tengah pemulihan ekonomi global; hal ini lagi-lagi berpotensi mendorong harga minyak naik.
Dalam jangka pendek, badai salju yang menerpa AS juga berpotensi meningkatkan permintaan minyak mentah.
Bahkan, The Blackstone Group L.P, sebuah manajer investasi asal AS dengan dana kelolaan senilai $387 miliar, memasukkan kemungkinan harga minyak menembus $80 per barel sebagai salah satu dari 10 kejutan yang mungkin terjadi pada tahun ini.
Iran merupakan salah satu produsen minyak terbesar yang tergabung dalam Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (Organization of the Petroleum Exporting Countries/OPEC) dengan jumlah produksi hampir 4 juta barel per hari. Sebelum Krisis Iran memuncak, harga minyak memang sudah terlebih dulu berada dalam tren naik, merespons wacana perpanjangan pemangkasan produksi OPEC sampai dengan akhir 2018. Pada November 2017 wacana yang sama sudah disampaikan anggota OPEC.
Krisis di Iran memucak setelah sekitar 10 ribu rakyatnya melakukan unjuk rasa dan demontrasi pada 28 Desember 2017. Rakyat Iran marah karena kenaikan harga kebutuhan sehari-hari dan pemerintah menyampaikan rencana menaikkan harga bahan bakar minyak.
Selain itu, para demonstran juga mempertanyakan kebijakan luar negeri Iran di Timur Tengah seperti bantuan keuangan bagi Palestina dan Hezbollah, sebuah partai politik yang juga merupakan kelompok militan yang berbasis di Lebanon.
Kalangan analis pasar saham menilai tren kenaikan harga minyak hanya bersifat sementara karena pemicunya bukan permintaan (demand) riil. Para spekulan minyak cenderung memanfaatkan kekhawatiran kondisi geopolitik Timur Tengah, khususnya Iran, yang saat ini sedang memanas.
Head of Research Koneksi Capital Alfred Nainggolan menjelaskan sentimen kenaikan harga minyak tersebut akan ditransmisikan investor ke harga saham dari emiten yang kegiatan usahanya di sektor minyak dan gas bumi. Ada kemungkinan harga saham-saham dari subsektor migas menguat dalam jangka pendek, apalagi secara valuasi harga saham-saham dari subsektor tersebut sudah relatif murah.
"Makanya untuk jangka pendek [kinerja saham migas] banyak bergantung pada kenaikan harga spot [minyak]. Investor medium dan long term akan melihat kepada harga kontrak [emiten], biasanya dipubilkasi emitennya. Seharusnya kenaikan harga minyak sekarang sedang naik, dan akan koreksi dalam jangka pendek, seharusnya tidak akan berpengaruh signifikan,” jelas Alfred.
Namun, tambah Alfred, harga saham emiten migas berpotensi menguat signifikan jika harga minyak menembus level US$80 hingga $90 per barel. Alfred memprediksikan harga minyak dunia tahun ini berada pada kisaran $60 – $70 per barel.
"Kalau kenaikan di atas itu, bisa ada reaksi berlebihan [over reaction] dari para pelaku pasar saham,” kata Alfred.
Kinerja Meningkat
Kenaikan harga minyak tersebut rupanya sudah berdampak pada perbaikan kinerja PT Medco Energi Internasional Tbl (MEDC). Dalam laporannya disampaikan, perseroan membukukan laba bersih sebesar $164,3 juta (Rp 2,2 triliun) pada kuartal III-2017, meningkat signifikan dibanding rugi bersih yang dialami perseroan senilai $149,61 juta atau setara Rp 2 triliun.
Kinerja positif yang dibukukan perseroan ditopang peningkatan jumlah produksi perseroan yang meningkat 38,3% menjadi 88,3 MBOEPD pada kuartal III-2017 dari 63,9 MBOEPD pada periode yang sama 2016. Hal didorong oleh beroperasinya Blok B South Natuna yang diakuisisi perseroan pada kuartal IV-2016. Kenaikan jumlah produksi dan harga jual minyak mendorong peningkatan pendapatan sebesar 52,6% menjadi $597,5 juta (Rp 8 triliun) sejak Januari – September 2017 dari $391,4 juta (Rp 5,2 triliun).
Bisa Memburuk
Namun demikian, harga minyak berpotensi terus naik jika krisis Iran berlangsung dalam jangka waktu yang lama, sehingga pada akhirnya dapat menganggu produksi minyak.
Pemerintah Iran sudah membatalkan rencana kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) dan memperbesar bantuan sosial bagi warga miskin. Namun, aksi demonstrasi tak berhenti, yang menunjukkan kondisi perekonomian di Iran yang semakin memburuk.
Memang, usai dicabutnya mayoritas sanksi ekonomi bagi Iran pada awal 2016, kondisi ekonomi masih sangat jauh dari kategori baik. Bayangkan saja, tingkat pengangguran per kuartal II-2017 berada pada level 12,6%, jauh lebih tinggi dibandingkan pada kuartal IV-2015 sebelum sanksi dicabut yang berada di level 10,7%.
Belum akan adanya solusi dari masalah-masalah ekonomi serta perubahan kebijakan luar negeri dalam waktu dekat dapat membuat demonstrasi ini berlangsung dalam waktu yang panjang, sama seperti yang terjadi pada tahun 2009 ketika ketidakpuasan atas hasil pemilihan presiden pada saat itu berbuntut kepada demonstrasi yang terjadi selama tujuh bulan lamanya.
Situasi juga diperparah oleh pernyataan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump bahwa sanksi bagi Iran, termasuk di dalamnya larangan ekspor minyak, dapat diberlakukan kembali, seiring dengan tuduhan keterlibatan Iran dalam pembiayaan aksi terorisme.
Jika sanksi diberlakukan kembali, maka pasokan minyak dunia akan menurun di tengah-tengah pemulihan ekonomi global; hal ini lagi-lagi berpotensi mendorong harga minyak naik.
Dalam jangka pendek, badai salju yang menerpa AS juga berpotensi meningkatkan permintaan minyak mentah.
Bahkan, The Blackstone Group L.P, sebuah manajer investasi asal AS dengan dana kelolaan senilai $387 miliar, memasukkan kemungkinan harga minyak menembus $80 per barel sebagai salah satu dari 10 kejutan yang mungkin terjadi pada tahun ini.
(hps) Next Article Anomali Harga BBM dan Minyak Dunia
Most Popular