
Milenial & Gen Z Akui Aktivitas Sosialnya Bikin Dompet Boncos

Jakarta, CNBC Indonesia - Seorang wanita berusia bernama Emmy (31 tahun) yang tinggal di Los Angeles telah terjerat dalam utang kartu kredit, hingga gali lubang tutup lubang, kemudian mengoptimalkan kartunya lagi. Hal ini telah terjadi sejak ia berusia 18 tahun.
Emmy yang menggunakan nama samaran daring untuk melindungi privasinya, mulai membagikan kisah utangnya di TikTok pada bulan Maret 2025. Kala itu, total utang ia tanggung mencapai lebih dari US$ 28.000.
"Saya tahu ini salah saya. Saya selalu menjadi teman yang berkata, 'Sukses,' atau 'Oh, jangan khawatir, saya bisa' atau 'Bayar saja saya lain kali,'" katanya kepada CNBC Make It, dikutip Minggu (10/8/2025).
Emmy tidak sendirian. Hampir 60% milenial dan Gen Z mengatakan tujuan keuangan mereka telah terdampak oleh pengeluaran sosial, menurut survei baru dari Ally Bank.
Kepala Kesejahteraan Finansial di Ally Bank, Jack Howard mengatakan, menghabiskan uang bersama teman-teman tidak selalu buruk. Faktanya, setiap orang akan mendapatkan hasil terbaik dari kesejahteraannya dengan menghabiskan uang tersebut.
"Tapi kemudian kita mendapat masalah, karena kita menemukan bahwa 42% orang menghabiskan uang secara berlebihan," kata dia, mengutip survei tersebut yang menemukan bahwa 42% milenial dan Gen Z melaporkan pengeluaran berlebihan pada anggaran sosial mereka beberapa bulan dalam setahun.
Pengeluaran Terus Bertambah
Orang dewasa Amerika Serikat (AS) tampaknya memprioritaskan waktu bersosialisasi dengan 69% responden survei mengatakan mereka mencoba untuk terhubung dengan teman-teman mereka secara langsung setidaknya sekali seminggu. Secara rata-rata mereka menghabiskan US$ 250 per bulan untuk kegiatan sosial, menurut temuan Ally.
Namun begitu, hanya sedikit orang dewasa yang tampaknya menganggarkan pengeluaran sosial dengan benar. Hanya 18% Gen Z dan milenial yang mengatakan mereka memiliki anggaran yang ketat untuk kegiatan bersama teman-teman, berdasarkan temuan Ally.
"Anda harus memasukkannya ke dalam anggaran Anda. Saya rasa banyak orang tidak menyadari bahwa minum koktail bersama teman-teman perempuan saya hari ini, makan siang di siang hari ini, lalu saya pergi ke DoorDash dengan pasangan saya di hari lain, semua pengeluaran itu menumpuk," ungkap Howard.
Maka dari itu, Howard menyarankan agar masyarakat memandang uang sebagai alat untuk meningkatkan nilai-nilai dan pengalamannya.
Howard juga menuturkan pentingnya memikirkan nilai-nilai pada diri sendiri secara mendalam dan apakah nilai-nilai tersebut tercermin dalam pengeluaran. Jika aktivitas mahal seperti makan malam di luar atau bepergian dengan teman-teman begitu penting, orang tersebut mungkin harus mengurangi pengeluaran di area lain dalam hidup sehingga ia dapat memprioritaskannya.
Selain melakukan penyesuaian anggaran agar memungkinkan lebih banyak pengeluaran sosial, Howard juga merekomendasikan untuk mencari aktivitas murah atau gratis bersama teman-teman Anda, sesuatu yang menurut Ally hanya diprioritaskan oleh 23% milenial dan Gen Z.
"Yang benar-benar Anda inginkan adalah pengalamannya. Yang benar-benar Anda inginkan adalah waktu bersama teman Anda," kata Howard.
Howard pun berpendapat, setiap orang perlu benar-benar kembali ke dasar pemahaman bahwa persahabatan ini dibutuhkan untuk meningkatkan kesejahteraan masing-masing. "Tetapi kita tidak ingin menghabiskan uang secara berlebihan hingga kita mengalami masalah keuangan," terang dia.
Kembali ke kasus Emmy, ia sedang berusaha menyesuaikan bahasa dengan teman-temannya untuk menyarankan tempat nongkrong gratis atau lebih murah. Sebab, Emmy sedang fokus melunasi utang kartu kreditnya.
Namun, Emmy sulit untuk melakukan perubahan karena ia begitu nyaman menghabiskan uang dengan teman-temannya, dan mereka tidak tahu seberapa besar utang yang dihadapinya.
"Saya bisa dengan yakin mengatakan bahwa mereka tidak akan menghakimi saya jika mereka tahu apa yang saya lakukan, tetapi saya masih [memiliki] rasa takut dianggap remeh oleh orang-orang yang kita sayangi," kata dia.
Menurut Howard, rasa malu seperti itu umum dan dapat berkontribusi pada pengeluaran berlebihan yang berkelanjutan. Ia menyarankan untuk mencoba mengidentifikasi dari mana perasaan itu berasal sehingga tiap individu dapat lebih memahami mengapa mereka cenderung mengatakan "ya" untuk hal-hal yang mungkin tidak mampu dibeli. Hal ini adalah pola pikir tentang uang yang sering kali berasal dari cara setiap orang dibesarkan atau sesuatu yang terjadi di masa kecilnya.
"Sampai Anda benar-benar menghubungkan masa lalu itu dengan masa kini, Anda cenderung melakukan hal-hal itu berulang-ulang, yang akan terlihat tidak hanya dalam cara Anda membelanjakan uang untuk diri sendiri, tetapi juga dalam cara Anda membelanjakan uang dalam hubungan dengan teman dan keluarga," ungkap Howard.
Lantas, Howard menyarankan, jika sedang kesulitan menemukan cara mengelola keuangan dengan lebih baik, pertimbangkan untuk bekerja sama dengan profesional seperti perencana keuangan bersertifikat atau terapis keuangan yang dapat memberikan panduan untuk situasi spesifik individu.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
