Negara Ini Jadi Magnet IPO, Serap Dana Hingga Rp 304,45 Triliun
Jakarta, CNBC Indonesia — Hong Kong menjadi salah satu destinasi Initial Public Offering (IPO) terbesar di tahun ini. Adapun dana IPO yang terhimpun mencapai US$18,2 miliar atau sekitar Rp 304,45 triliun (kurs Rp 16.370) hingga Oktober 2025.
Kenaikan tajam saham-saham Hong Kong juga mendorong optimisme pelaku pasar, di mana Hang Seng Index melonjak lebih dari 28% sejak awal tahun. Kinerja tersebut jauh melampaui indeks S&P 500 yang hanya tumbuh kurang dari 13% pada periode yang sama.
Melansir CNBC.com, perusahaan private equity global kini mulai kembali melirik China setelah beberapa tahun bersikap hati-hati. Valuasi aset yang lebih rendah dan harapan pulihnya kepercayaan konsumen domestik menjadi daya tarik utama bagi investor ke ekonomi terbesar kedua di dunia tersebut.
Scott Chen, Managing Partner L Catterton, menilai sektor konsumsi di China menawarkan peluang untuk memperoleh pertumbuhan dengan harga yang relatif murah. Ia menyebut pesatnya perkembangan merek lokal dan tingginya tabungan rumah tangga sebagai faktor pendorong.
Chen menambahkan bahwa kondisi terburuk bagi ekonomi konsumen China tampaknya telah berlalu dan tingkat optimisme perlahan meningkat. Ia memperkirakan masyarakat akan semakin memilih produk dari merek-merek dalam negeri.
Pandangan serupa disampaikan Nikhil Srivastava, Partner dan Co-Head Private Equity di PAG, yang menyebut aset China kini semakin kompetitif karena banyak pemain global mengurangi eksposurnya. Dengan persaingan yang lebih rendah, investor memiliki kesempatan membeli aset unggulan dengan harga yang lebih menarik.
Menurut Srivastava, aset konsumsi domestik berkualitas tinggi kini dapat dibeli dengan valuasi yang relatif rendah. Ia mengatakan perubahan sikap investor global terjadi setelah bertahun-tahun menghindari China.
Tim Huang, Partner di Lexington Partners, menilai perubahan sentimen yang drastis tersebut tidak sepenuhnya mencerminkan kondisi sebenarnya. Ia menekankan bahwa peluang investasi di China masih menjanjikan bagi investor yang konsisten dan berorientasi jangka panjang.
Di sisi lain, distribusi keuntungan kepada investor dinilai membantu meredam kekhawatiran di tengah sulitnya melakukan exit. Srivastava menyampaikan bahwa imbal hasil tunai 15-20% "bahkan tanpa pertumbuhan" sudah cukup memberi ruang bagi investor untuk tetap menunggu momentum yang tepat.
Meski begitu, kebangkitan aktivitas IPO di Hong Kong sangat penting bagi manajer dana private equity yang fokus pada China, terutama setelah kesulitan exit sejak 2021.
Dengan aktivitas merger dan akuisisi yang belum pulih dan ketatnya regulasi IPO di dalam negeri, Hong Kong menjadi salah satu pintu keluar paling memungkinkan.
Namun, sejumlah ahli mengingatkan bahwa antrean panjang pipeline IPO berpotensi menghambat rencana keluar investor. Per akhir Oktober, lebih dari 300 pengajuan masih dalam proses peninjauan, jauh lebih banyak dibanding kurang dari 70 aplikasi pada periode yang sama tahun lalu.
Ketua China Securities Regulatory Commission, Wu Qing, bulan lalu kembali menegaskan komitmen regulator untuk mempercepat proses bagi perusahaan China yang ingin melantai di luar negeri. Ia juga menekankan penguatan hubungan keuangan antara daratan China dan Hong Kong sebagai prioritas.
Srivastava menutup dengan optimisme bahwa pemulihan pasar Hong Kong akan membuka peluang exit yang lebih besar bagi private equity. Ia memperkirakan hal ini pada akhirnya akan meningkatkan potensi imbal hasil bagi para investor.
(mkh/mkh)